Menelusuri Kampung Melayu Tersisa di Kuala Lumpur

FOTO: HILMI SETIAWAN/JAWA POS BERUMUR SATU ABAD LEBIH: Rumah Cikgu Amir di Kampung Bharu, Kuala Lumpur, yang berlatar belakang Menara Kembar Petronas.

Alasan warga Melayu membangun rumah panggung adalah menghindari hewan buas. Sejak berdiri, rumah tersebut sudah direnovasi lima kali. Menurut Safar, bagian lantai rumah Cikgu Amir sudah bukan papan kayu lagi. Melainkan telah menggunakan lantai beton dan dikeramik.

Pada hari-hari tertentu, misalnya akhir pekan, banyak wisatawan yang berkunjung. Untuk sekadar berfoto di pelataran rumah Cikgu Amir yang bisa menampung sampai 10 mobil. Sebab, rumah Cikgu Amir menjorok agak ke belakang.

Dari pelataran tersebut, dua kontras bisa disatukan: rumah panggung tradisional dan bangunan-bangunan modern bertingkat. Termasuk, Menara Kembar Petronas. ”Kalau lagi ramai, parkiran ini sampai penuh,” tuturnya.

Hamzah, pria 64 tahun yang sehari-hari berjualan koran persis di seberang rumah Cikgu Amir, mengenang, kampung-kampung Melayu tergusur sejak periode 1970-an. Itu seiring kian cepatnya derap pembangunan di negeri jiran Indonesia tersebut. ”Rumah saya tak jauh dari sini. Dekat Masjid Jami Kampung Bharu,” kata Hamzah, yang lahir dan besar di kawasan tersebut.

Eksistensi Kampung Bharu sebagai kampung khas Melayu juga entah bakal bertahan berapa lama. Saat Jawa Pos berbincang dengan Hamzah, bunyi pukulan palu dari proyek gedung bertingkat Legasi Kampong Bharu terus bersahutan. Seolah mengirim pesan kepada warga kampung, ”Kalian korban berikutnya.”

Hamzah menceritakan, ada beberapa rumah adat Melayu yang dibiarkan begitu saja. Sementara itu, para pemiliknya pindah ke kawasan lain. ”Dulu minum air di masjid jamik itu masih terasa segar. Sekarang beda,” katanya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *