Journalis Journey Solidarity Overland Trip 5, Menembus Baduy Jero Jelang ‘Puasa’ Kawalu (1)

Journalis Journey Solidarity
Manager EO Radar Sukabumi, Vega Sumka Yudha (kanan) foto bersama sebelum menjelajahi perjalanan menuju Baduy dalam.

Uji Kekuatan Fisik yang Terobati Gurihnya ‘Kadu’ Baduy

Sekian bulan tertunda, Journalis Journey Solidarity (JJS) mengawali trip awal tahun ini dengan sensasi berbeda. Jika biasanya tim berpetualang dengan menjajal kekuatan kendaraan 4×4, perjalanan kali ini justru menjajal fisik masing-masing menembus eksotisnya belantara Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten.

VEGA SUKMA YUDHA, Banten

Bacaan Lainnya

PERJALANAN Trip JJS yang masuk trip kelima memang sengaja dibuat beda. Dari awal tahun kami sudah sepakat untuk mencoba menguji fisik berjalan kaki mengetes mental untuk mengeskplore kawasan Pegunungan Kendeng.

Tujuh jurnalis yang menjadi tim inti JJS memang bukan seluruhnya orang yang biasa berolahraga rutin. Namun, dari akhir tahun 2022 lalu, tawaran panen durian menuju perkampungan Baduy Jero di kawasan pegunungan itu menjadi salah satu magnet kami untuk berangkat.

Segala bekal persiapan pribadi memang jauh hari sudah diumumkan Road Captain kami Rizki Gustana. Mulai membawa ransel, jas hujan sampai senter. Tadinya, perjalanan ini akan kami mulai sejak Jum’at siang di penghujung akhir Januari lalu. Namun karena sebagian dari kami masih bertugas liputan, maka jam pemberangkatan terpaksa kami geser ke malam.

Basecamp JJS berada di Lantai I Graha Pena Radar Sukabumi. Dari ba’da Isya, empat kendaraan kami sudah mulai loading di halaman parkir. Hujan gerimis yang tak berhenti sedari sore tak menyurutkan kami untuk gass. Kami pun sepakat menempuh perjalanan via Bogor. Masuk tol Bocimi Jagorawi, kendaraan kami seperti punya pengalaman baru, meluncur di atas mulusnya jalan tol, hehehe.

Keluar dari Bogor Outer Ring Road (BORR), kami tiba di daerah Leuwiliang menjelang jam 00.00 WIB. Menepi untuk mengisi perut yang mulai ‘koplo’ kami menepi di warung uduk legendaris di sana. Tepat di pertigaan Kecamatan Nanggung, warung itu buka hampir 24 jam. Selesai makan kami kembali memacu empat kendaraan yang ikut dalam JJS trip 5 ini.

Asyik memacu kendaraan di sekitar kawasan hutan Mancang, mobil Toyota Hilux besutan Rangga Harya Wirabumi yang menjadi penyapu rombongan mengalami trouble. Setelah diperiksa, shockbreaker kiri depan tak bisa menopang lagi bobot kendaraan bongsor itu, patah, sampai body kendaraan miring ke kiri. Perjalanan yang semula dijadwalkan tiba pukul 03.00 WIB akhirnya molor.

Tak ada bengkel las di jam-jam dinihari untuk recovery darurat. Kendaraan kami memilih kompak melaju pelan-pelan karena permukaan jalan itu tak bagus-bagus amat.

Sabtu pagi, kru sudah tiba Terminal Cijahe. Salah satu titik menuju Baduy Luar dan Baduy Dalam alias Baduy Jero. Di tempat itu, kami memilih beristirahat sebisanya. Perjalanan hampir semalaman benar-benar membuat mata tak bisa ditoleransi lagi untuk sejenak tidur.

Di sana pula, sebetulnya kru sudah disambut oleh enam orang warga asli Baduy Jero. Mereka siap menjadi pemandu sekaligus porter bekal logistik kami. Mereka adalah Sanip (40), Sarip (47), Sarmin (24), Aja (40), Asma (12), dan Arda (10).

Semuanya masih kerabat. Usai sarapan, kru berbincang bersama keenam guide mengenai rute perjalanan yang akan ditempuh. Setelah melengkapi persiapan dan perbekalan, akhirnya pukul 09.00 WIB kru memulai perjalanan dengan berjalan kaki. Semua kendaraan kami diparkir di areal terminal.

Sekitar 100 meteran dari terminal itu, kami disambut pintu masuk menuju kawasan Baduy Jero yang di dalamnya terdiri dari tiga kampung yakni Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik. Di ujung jembatan ada semacam pos pemeriksaan dan ada juga penjual cinderamata khas Baduy.

Saya dan rombongan memilih jalur kiri menuju kawasan Cibeo. Jika ke kanan, rute itu menuju Cikeusik yang sebetulnya berjarak lebih dekat ketimbang dua kampung lainnya.

Kami memulai perjalanan ini dengan semangat 45. Meski hujan rintik-rintik kami sepertinya percaya diri saja dengan kekuatan fisik masing-masing.

Hingga 30 menit berjalan, kami mulai merasakan ada letih yang tak bisa ditahan. Basah air hujan membuat jalan yang didominasi tanah liat dan batu itu membuat kami harus ekstra hati-hati. Di beberapa bagian malah berlumpur dan menyulitkan jika tak mau terperosok.

Tiba di sebuah jembatan bambu yang berdiri kokoh di Sungai Ciujung, kami tak lagi boleh berfoto-foto ria. Jembatan itu menjadi batas adat perkampungan Baduy Luar dan Jero. Semua piranti alat elektronik kami simpan baik-baik di ransel yang kami bawa. Perjalanan menguras fisik sebetulnya baru dimulai setelah jembatan itu.

Tanjakan terjal memaksa kami harus mengatur napas dan langkah. Beberapa pria dewasa warga Baduy Jero kami temui sedang bersih-bersih di sepanjang jalan. Mereka umumnya memakai pakaian putih hitam atau hitam-hitam dengan ikat kepala putih. “Kami mah rutin bersih-bersih jalan,” kata Sanip yang menemani saya berjalan kaki.

Pos terkait