Nelayan Palabuhanratu: Berlayar Jauh dari Kesejahteraan

BERLAYAR : Seorang nelayan Palabuhanratu pada saat keluar dari Dermaga PLTU Palabuhanratu untuk pergi melaut di teluk Palabuhanratu.(foto Handi Radar Sukabumi)
BERLAYAR : Seorang nelayan Palabuhanratu pada saat keluar dari Dermaga PLTU Palabuhanratu untuk pergi melaut di teluk Palabuhanratu.(foto Handi Radar Sukabumi)

SUKABUMI — Sesosok pria terlihat telaten memperbaiki jaring yang rusak. Wajahnya termakan usia, rambutnya pun sebagian sudah memutih. Namun, ini tidak memudarkan ketekunannya menganyam jaring yang rapuh. Pria bersorot mata tajam yang tahun ini berusia 65 tahun, akrab dipanggil Abah Rita oleh penduduk setempat.  

Abah, nelayan Kampung Cemara Baru RT (04/32) Kelurahan Palabuhanratu Kecamatan Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Ia sudah menjadi nelayan sejak 1978. Di Kampung Cemara Baru, hampir seluruh warganya berprofesi sebagai nelayan. 

Bacaan Lainnya

Kampung Cemara Baru sendiri merupakan kampung baru Abah Rita, setelah Kampung Cemara lama diterjang banjir rob, 26 Januari 2012 lalu. Sejak itu, hampir sebagian besar nelayan direlokasi ke Kampung Cemara Baru.

Sehari-hari Abah Rita melaut seorang diri. Perahu congkreng khas Palabuhanratu yang berukuran panjang 9 meter dengan lebar 1,5 meter menjadi andalan untuk menafkahi keluarganya yang berjumlah tiga orang, yakni istri dan satu cucunya.

Dalam sepekan, Abah Rita melaut tiga sampai empat kali, kecuali bila ada gelombang tinggi atau cuaca buruk. Sekali melaut, Abah Rita kini hanya mendapatkan Rp 500.000. Dipotong biaya BBM dan perbekalan selama melaut, bapak empat anak ini hanya membawa uang ke rumah  Rp 200.000. Itupun, jika mendapatkan hasil tangkapan ikan.

Situasi melaut saat ini, jauh berbeda saat awal menjadi nelayan di Palabuhanratu. “Namanya juga ikhtiar, kalau dapat banyak juga bingung menjualnya. Karena ketika ikan banyak harga suka murah. Sama aja bohong, tapi ketika tidak  turun ke laut pun keluarga tidak makan,” jelasnya.  

Perahu Abah Rita sendiri, hanya mampu berlayar sejauh lima kilometer atau sekitar 3 mil dari daratan. Di Palabuhanratu sendiri, perahu kecil seperti milik Abah Rita tersisa sekitar 100 perahu saja yang masih beroperasi. Itupun, sebagian kerap karam saat diterjang gelombang pasang.

TELATEN : Abah Rita nelayan Kampung Cemara Baru RT (04/32) Kelurahan Palabuhanratu Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi saat memperbaiki jaring yang rusak.
TELATEN : Abah Rita nelayan Kampung Cemara Baru RT (04/32) Kelurahan Palabuhanratu Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi saat memperbaiki jaring yang rusak.

Abah Rita sudah mencecap asam garam kehidupan Samudra Hindia selama 50 tahun melaut. Ilmu melaut didapatkan dari ayahnya saat hijrah dari Cirebon ke Palabuhanratu. Kini, ilmunya diwariskan ke putra satu-satunya yang mengikuti jejak sebagai nelayan, namun menetap di Ujung Genteng. Masih di Sukabumi. 

“Saya lahir di Cirebon. Saya diajak orang tua pindah ke Palabuhanratu di umur 2 tahun sekitar tahun 1965. Sejak umur 15 tahun saya sudah melaut  membantu orang tua di sini,” cetus Abah Rita.

Hingga saat ini, masih banyak saudaranya di Cirebon. Tapi Abah Rita memilih menetap di Palabuhanratu, sebuah kecamatan di Sukabumi, Jawa Barat. Meski pernah kembali ke Cirebon, Abah Rita tidak  betah dan kembali menjadi nelayan di Palabuhanratu, lantaran di Cirebon susah mencari pekerjaan. 

BERJEJER : Perahu milik nelayan Palabuhanratu saat bersandar di dekat dermaga PLTU Palabuhanratu.
BERJEJER : Perahu milik nelayan Palabuhanratu saat bersandar di dekat dermaga PLTU Palabuhanratu.

Sekitar tahun 1980-an nelayan di Palabuhanratu masih sedikit. Hanya hitungan jari. Sekarang sudah ribuan. Data Badan Pusat Statistik tahun 2022 jumlah nelayan 1.789 orang. Jumlah ini jauh merosot dibanding data nelayan pada 2021, sebanyak 2.493 orang atau bila dibandingkan jumlah nelayan pada tahun 2020 yaitu 2.314 orang. 

Kini, nelayan melaut tak ingat waktu. Semua jenis perahu turun ke laut silih berganti. Ini belum menghitung, pagang perahu penangkap ikan yang terbuat dari bambu yang ditambatkan di tengah laut dengan drum dan jangkar. 

“Dulu melimpah (tangkapannya). Sekarang kan nelayannya banyak. Siang dan malam terus ada. Semua ingin dapat. (Dulu) Tidak ada pagang di tengah laut. Sekarang banyak. Belum lagi kapal besar yang menggunakan alat tangkap jaring bolga. Itu sangat merugikan,” jelas Abah Rita.

“Kalau kapal besar sudah beroperasi di 10 mil dari daratan, otomatis ikan tidak mau ke pinggir. Habis dikeruk sama kapal-kapal besar yang  menggunakan alat tangkap jaring bolga, sehingga ikannya terbatas,” tambahnya. 

Bolga merupakan alat tangkap ikan yang merupakan modifikasi dari purse seine dengan mata jaring yang dikenal sebagai jaring teri atau knotless. Bolga sangat merugikan nelayan tradisional, lantaran menjaring semua ikan besar hingga kecil. Alhasil nelayan tradisional yang hanya melaut di lokasi dangkal dengan alat rumpon dirugikan, karena ikan habis terkeruk semua. 

Perahu dengan alat tangkap Bolga beroperasi siang dan malam, di sekitar 40 mil dari lepas pantai. Pulang ke darat biasanya 2 sampai 3 bulan  sekali. Adanya kapal besar tersebut membuat ikan susah masuk ke teluk Palabuhanratu. Perahu-perahu seperti milik Abah Rita kalah dengan perahu besar yang beroperasi di tengah. Sependek ingatan Abah, bolga hadir sekitar tahun 2015. Baik yang dimiliki nelayan lokal maupun  pendatang. 

Selain bolga, nelayan Palabuhanratu juga menggunakan ragam perahu lain, seperti longline, congkreng serta payang -perahu nelayan tradisional Melayu.

Nelayan kian terjepit, lantaran Laut Palabuhanratu kini kian tercemar. Mulai dari sampah hingga limbah PLTU. Sejak PLTU Pelabuhan Ratu beroperasi pada 2011, kapal tongkang pengangkut batubara lalu lalang. PLTU milik PLN yang merupakan tulang punggung pasokan listrik di wilayah bagian selatan Pulau Jawa ini, membutuhkan pasokan batubara sebanyak 4,5 juta ton per tahun.

BEROPERASI : PLTU Palabuhanratu berkapasitas 3 x 350 Megawatt (MW) yang dibangun sebagai penopang program pembangunan dan pengembangan pasokan listrik 10 ribu MW.
BEROPERASI : PLTU Palabuhanratu berkapasitas 3 x 350 Megawatt (MW) yang dibangun sebagai penopang program pembangunan dan pengembangan pasokan listrik 10 ribu MW.

Bijih batubara yang jatuh ke laut membuat ikan menjauh. Tidak sedikit jaring-jaring nelayan rusak terdampak perahu tongkang yang melintas. Dulu,  sebelum ada aktivitas PLTU masih ditemukan udang rebon di sekitaran teluk Palabuhanratu. Sekarang tidak lagi.

“Jelas terpengaruh dengan adanya PLTU. Tapi, banyaknya nelayan dengan kapal besar juga persoalan  lain,” jelas Abah Rita.

BERJEJER : Perahu nelayan Palabuhanratu bersandar di dekat dermaga PLTU Palabuhanratu.
BERJEJER : Perahu nelayan Palabuhanratu bersandar di dekat dermaga PLTU Palabuhanratu.

Berbeda dengan Rita, Wargi (72) tak lagi bisa melaut. Dua belas tahun sudah, kedua kakinya tak lagi mampu menopang badannya.  “Kata dokter itu penyakitnya rematik basah. Tapi, awalnya memang terjatuh di kapal saat di dermaga. Kemudian dipijat hingga akhirnya mengalami  kelumpuhan,” jelas Sartimah, istri Wargi. 

Saat ditemui Radar Sukabumi, bau tak sedap tercium dari tubuh Wargi. Sejak lumpuh, praktis semua aktivitas dilakukan di atas kasur -termasuk untuk buang air besar dan kecil.  Ada luka terbuka di pinggul, akibat lama berbaring. 

Dua tahun terakhir, Wargi tak lagi dibawa berobat. Alasan keluarga: tidak ada kemajuan. Walau berobat dengan BPJS, ongkos ke dokter tetap memberatkan. Sekali ke dokter, butuh Rp 100.000. Apalagi, untuk hidup sehari-hari, keduanya hanya mengandalkan pemberian kelima anaknya. 

MANDI KERING : Sartimah (70) sedang mengurus Wargi (72) nelayan yang lumpuh akibat kecelakaan di laut Palabuhanratu. 
MANDI KERING : Sartimah (70) sedang mengurus Wargi (72) nelayan yang lumpuh akibat kecelakaan di laut Palabuhanratu.

“Anak yang tiga, dari suami sebelumnya itu lulus sekolah semua sampai SMA. Kalau dua lagi hasil perkawinan dengan pak Wargi tidak lulus sekolah, hanya sampai SMP karena  keterbatasan ekonomi jadi nelayan, ” ungkap perempuan asli Indramayu ini.   

Dua anak Sartimah dan Wargi, mengikuti jejak ayahnya menjadi nelayan. Begitupun mulanya salah satu cucu Wargi. “Cucu saya dulu seorang nelayan, tetapi saat ini memilih jadi ojek online, karena dari penghasilan sangat menjanjikan sekali,” jelas Sartimah soal cucu yang tinggal bersama mereka. 

Masih dari kampung Cemara Baru, Tarmidzi (58) setia menjadi nelayan. Walau, ia harus berjibaku menjadi ibu sekaligus ayah bagi putra bungsunya. Berbeda dengan teman sebayanya, Suwandi (18) putra Tarmidzi, sehari-hari hanya bisa berdiam di rumah petak 5 meter kali 6 meter. “Kata dokter, penyakit saraf. Sering kejang-kejang dan menangis. Tiap bulan sekali awalnya dibawa ke dokter. Tapi sekarang tidak lagi. Ibunya meninggal setelah melahirkan Suwandi ini,” terangnya. 

“Anak saya tiga, satu Suwandi, dua lagi sama-sama nelayan. Suwandi ini anak bungsu. Kalau ke laut Suwandi dijaga kakaknya,” terang Tarmidzi pria kelahiran Indramayu yang sudah puluhan tahun tinggal di Palabuhanratu. 

MEMPERBAIKI JARING :  Tarmidzi (58) Nelayan Palabuhanratu tengah memperbaiki jaring.
MEMPERBAIKI JARING :  Tarmidzi (58) Nelayan Palabuhanratu tengah memperbaiki jaring.

TANGKAPAN IKAN TERUS BERKURANG

Bertahun menjadi nelayan, tak membuat penghidupan Rita, Wargi dan Tarmidzi membaik. Tandim Pohang, tokoh nelayan Palabuhanratu mengakui tangkapan ikan terus menurun. Kondisi ini dirasakan sejak tahun 2000. Bahkan, ketika pada 2023 nelayan banyak mendapat tangkapan, harga justru anjlok. Ikan lisong, dari harga Rp 50.000, dihargai tengkulak Rp 5.000 per kilonya saat tangkapan berlimpah.  

DIPINDAHKAN : Tembang, salah tangkapan utama nelayan di laut Palabuhanratu.
DIPINDAHKAN : Tembang, salah tangkapan utama nelayan di laut Palabuhanratu.

Sementara, sebelumnya ikan justru sulit didapat. Persisnya mulai 2015. Tandim menyebut, tangkapan ikan makin seret, akibat lingkungan yang tercemar dan banyaknya nelayan yang menggunakan alat tangkap bolga. Situasi saat ini, jauh bila dibandingkan dengan berlimpahnya ikan di teluk Palabuhanratu pada 1993 hingga tahun 2000-an. 

“Tangkapan ikan semakin menjauh. Dulu nelayan (mencari) ikan hanya cukup dua sampai tiga mil sudah dapat. Sekarang harus puluhan mil baru mendapatkan ikan, tidak ada lagi ikan di pinggir. Ikan semakin menjauh dari teluk Palabuhanratu,” jelas Tandim yang sudah menjadi nelayan selama 35 tahun.  Ia belajar langsung dari ayahnya, sejak masih duduk di kelas 1 SD.

Tandim mengenang saat dirinya remaja, amat mudah menemukan udang rebon di Pantai Palabuhanratu. Namun saat ini sudah sulit didapat.  Pria tiga anak ini menyebut, sejumlah perubahan Teluk Palabuhanratu. Mulai dari limbah pabrik, hingga aktivitas PLTU yang mencemari perairan. Belum lagi BBM yang mahal dan ketersediaannya yang tak selalu mudah didapat. 

“Beli keluar harus pakai barcode. Sekarang soal BBM juga benar-benar menjadi masalah. Susahnya mendapatkan BBM (menimbulkan) pertanyaan, kemana BBM untuk nelayan kecil sementara nelayan besar aman-aman saja,” tanyanya. Ini masih ditambah, besarnya ketergantungan nelayan pada tengkulak. 

MENJAJAKAN : Pedagang menjajakan ikan di wilayah Dermaga Palabuhanratu.
MENJAJAKAN : Pedagang menjajakan ikan di wilayah Dermaga Palabuhanratu.

“Ke depan saya ingin cold storage untuk para nelayan kecil seperti kami. Di saat banyak ikan, kami tidak perlu menjual dengan murah. Nah ketika harga mulai stabil kita bisa menjualnya dengan harga pantas, sehingga pendapatan nelayan dan ekonomi nelayan tidak terus seperti ini,” tegasnya.

Situasi ini, membuat nelayan rata-rata tidak memiliki tabungan. Akibatnya ketika musim paceklik, mereka terlilit hutang. “Mau tidak mau hutang pinjam dulu ke warung untuk resiko ketika hasil tangkapan zong atau tidak ada. Kalau hasil tangkapan ada bisa melunasi hutang.  Itu membuat ekonomi merosot. Karena nelayan tidak mendapatkan hasil itu sering sekali. Jika sudah begitu harus pinjam ke orang,” jelasnya. 

DIPINDAHKAN : Salah seorang pegawai pada saat memindahkan ikan Tembang untuk diangkut ke tempat pengasinan. 
DIPINDAHKAN : Salah seorang pegawai pada saat memindahkan ikan Tembang untuk diangkut ke tempat pengasinan.

Jika dibiarkan terus begini, Tandim khawatir banyak nelayan beralih penghidupan. “Dari 50 kapal yang sama seperti saya, sekarang hanya tersisa 4 kapal. Itu pertanda  ada sirkulasi ekonomi yang salah,” terangnya. Selain itu, nelayan yang dikenal vokal ini berharap, pemerintah bisa lebih tegas mengatur penggunaan alat tangkap bolga. 

Ketua RW Kampung Nelayan Cemara Baru ini berkisah, kebanyakan warganya terbelit kemiskinan.  “Jadi nelayan hari ini itu seperti berjudi. Kita pasang dulu, hasilnya nggak tau menang atau kalah. Kita juga berangkat kadang-kadang BBM dan modalnya hasil pinjaman dari tengkulak atau bos. Kalau hasil tangkapan ada hutang bisa dibayar, jika tidak maka hutang tidak bisa dibayar, ” bebernya. Tandim tentu tak ingin, putra keduanya yang kini mengikuti jejaknya menjadi nelayan sambil menamatkan pendidikan di SMK Pelayaran, bernasib sama seperti dirinya dan teman-teman nelayan: terbelit kemiskinan. 

BANTUAN PEMERINTAH

Sependek ingatan Tandim, bantuan pemerintah juga jarang didapat. “Dulu awal-awal PLTU Palabuhanratu dibangun sejak 2008 dan beroperasi pada tahun 2014 ada tuh bantuan jaring kepada nelayan. Sejak tahun 2011 hingga 2013 sudah tidak ada lagi. Alasanya sudah ke HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia). Faktanya tidak sampai ke kami,” jelasnya.  

MEMBERESKAN :  Tandim bersama anak buahnya, merapikan jaring sebelum berangkat melaut.
MEMBERESKAN :  Tandim bersama anak buahnya, merapikan jaring sebelum berangkat melaut.

Sementara itu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat Wahyudin Iwang menyebutkan turunnya jumlah nelayan saat ini akibat krisis iklim. “Dulu ikan di pesisir saja melimpah, setelah ada PLTU itu sekarang menangkap ikan sampai ke Cianjur, hingga Banten. Itu yang kami terima laporan di masyarakat saat melakukan advokasi,” jelas Kang Iwang, begitu ia biasa disapa. 

Aktivitas kapal tongkang PLTU, juga mempengaruhi lingkungan. “Limbah air panas yang dikeluarkan dari batubara PLTU itu, juga jelas mempengaruhi ekosistem masyarakat. Tangkapan ikan yang susah juga membuat hilangnya habitat laut. Saya sudah mendapatkan laporan dari beberapa tahun lalu, selain sulitnya mencari ikan, kondisi lingkungannya pun tercemar,“ tegasnya. 

LINGKUNGAN YANG RUSAK PENGARUHI TANGKAPAN 

Situasi yang menimpa nelayan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, juga terjadi pada nelayan di Indramayu, Jawa Barat. Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Jawa Barat Makrus menjelaskan industri petrokimia Balongan Indramayu yang membuang limbahnya ke laut, mempengaruhi tangkapan ikan dan rebon. Situasi serupa juga dikeluhkan nelayan Muara Gembong Bekasi. 

“Kondisi nelayan sekarang kurang bagus, terutama nelayan tradisional. Kalau nelayan dengan mesin besar aman karena mereka bisa jauh, kalau nelayan tradisional ya susah menjangkau karena keterbatasan perahu, “ jelas Makrus. Dirinya berharap, pemerintah bisa menertibkan industri ataupun PLTU agar tidak mencemari lautan. 

Tangkapan ikan nelayan, amat bergantung pada lingkungannya.  “Jangan sampai sungai dijadikan tempat pembuangan limbah seperti di Muara Gembong, Bekasi sungainya hitam. Ketika masuk ke tambak bisa mempengaruhi ekosistem di tambak itu sendiri”.  Makrus menyadari, kondisi saat ini dipengaruhi perubahan iklim, namun ia dan teman-teman tidak tahu bagaimana menghadapinya. Mereka berharap, pemerintah memberi jalan keluar.  

PENGGARAMAN: Seorang pekerja mengasinkan ikan laut hasil tangkapan nelayan Palabuhanratu.
PENGGARAMAN: Seorang pekerja mengasinkan ikan laut hasil tangkapan nelayan Palabuhanratu.
MENAWAR: Warga mencoba menawar ikan Tembang hasil tangkapan nelayan Palabuhanratu.
MENAWAR: Warga mencoba menawar ikan Tembang hasil tangkapan nelayan Palabuhanratu.

SOLUSI PALSU ENERGI KOTOR 

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung Heri Pramono menyatakan, pihaknya mendengar keluhan nelayan Palabuhanratu, soal tangkapan yang kian jauh menurun. Saat ini, LBH Bandung masih menghimpun catatan lapangan dari warga. LBH Bandung melihat ada masalah lingkungan dan sosial setelah hadirnya PLTU Palabuhanratu. 

Rencana pemerintah mempensiunkan PLTU Palabuhanratu pada 2035, menurut Heri, adalah solusi palsu dari pemerintah. “Kalau kami melihatnya dari perpindahan skema dari sebelumnya pembakaran full batubara sekarang pembakaran dua jenis bahan bakar berbeda secara bersamaan itu merupakan solusi palsu. Harusnya kan pensiun, ini (skema co-firing biomasa) jadi alasan untuk bertahan saja,” jelas Heri Pramono.

Skema ini, justru menjadi masalah baru. Pertama polusinya tetap. Kemudian, muncul masalah hutan tanaman energi terkait perhutanan yang bisa dieksploitasi dan ini bisa berbenturan dengan agraria. “Kami melihatnya pemerintah seakan maju mundur, Jokowi mengharapkan penurun emisi, kalau pengurangan emisi dengan menggunakan bahan baku batubara tetap bahan kotor,” tambahnya.

Jangan sampai kisah nelayan Palabuhanratu berakhir pahit: terjepit lingkungan yang kian tercemar dan terus menempatkan mereka pada lilitan kemiskinan struktural. (hnd)

*Artikel ini adalah bagian dari fellowship program For the People

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *