Nestapa Nelayan Palabuhanratu, Dibayangi Limbah Emisi PLTU

GOTONG ROYONG : Sejumlah nelayan di Desa Cipatuguran Kecamatan Palabuhanratu saat bergotong ronyong menyandarkan perahu usai melaut. (Foto : Radar Sukabumi)

SUKABUMI — Sekira Pukul 14:30 WIB, Rendi (17) bersama ayahnya Hermanto (42) bergegas keluar rumahnya yang berada di Desa Cipatuguran Kecamatan Palabuhanratu. Dengan membawa beberapa persediaan yang disiapkan istrinya Jamilah (40), keduanya siap dengan keperluan di laut selama satu sampai dua hari. 

Rendi terlihat buru-buru sambil menenteng tas kecil dan alat tangkap ikan hasil perbaikan semalam. Rendi dan ayahnya menuju Dermaga Palabuhanratu I di Kelurahan/Kecamatan Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi dengan menggunakan motor.

Bacaan Lainnya

Jaraknya sekitar 1 Kilo Meter (KM). Saat itu, orang-orang terlihat sibuk dengan menyiapkan berbagai bekal untuk melaut. Rendi yang belakangan diketahui putus sekolah hanya sampai SMP sigap membantu ayahnya.

Sosok anak tertua dari tiga bersaudara memang sudah memantapkan diri untuk menjadi nelayan. Percis seperti ayahnya yang menjadi Nelayan sejak umur 10 tahun atau kelas V SD.  

Perahu Congkreng berbagai aneka berjejer. Di sebuah perahu kecil bermesin tempel itu, Rendi langsung menyodorkan jeriken kecil ke mulut tangki mesin perahunya. Aktivitas ini rutin dilakukan sebelum melaut.

“Untuk bekal kami persiapkan selama dua hari. Itu tergantung hasil tangkapan, kalau tangkapan sudah menutupi modal solar (BBM) kadang satu hari juga sudah bisa ke Dermaga. Tapi kalau belum dapat ikan, maka bisa sampai dua atau bahkan tiga hari dilaut, “jelas Hermanto Rabu 25 Oktober 2023.

“Kalau sekarang melaut memang harus jauh ke laut lepas. Sampai ke Ujung Genteng bahkan sampai ke Pantai Binuangeun Banten. Ikannya susah, semenjak ada PLTU di Palabuhanratu. Untung sekarang bukan musim angin Barat, jadi laut sedikit tenang, “tambanya.

Dalam kesempatan itu, saya diberi waktu untuk mengikuti aktivitas Hermanto dan Rendi ditengah laut Samudra Hindia. Saya Dipersilahkan naik perahu yang berukuran dengan lebar 1,5 meter dan panjang 11,7 meter. 

Tanpa pikir panjang karena harus berkejaran dengan waktu saya naik ke perahu senilai Rp45 juta Milik bosnya Hermanto. Tidak lama kemudian Hermanto dibantu Rendi menghidupkan mesin perahunya. Bunyinya membuat cukup keras.

Perahu kecil bermesin tempel merayap pelan mengikuti arus pesisir meninggalkan dermaga Palabuhanratu, menuju ke arah lautan. Suara deru mesin perahu congkreng yang kencang itu membuat saya mengajak bercerita selama dalam perjalanan sekitar tiga hingga empat jam.  

PERGI MELAUT : Nelayan di Desa Cipatuguran Kecamatan Palabuhanratu saat pergi melaut. (Foto : Radar Sukabumi)
PERGI MELAUT : Nelayan di Desa Cipatuguran Kecamatan Palabuhanratu saat pergi melaut. (Foto : Radar Sukabumi)

Perlahan-lahan langit mulai gelap. Bintang-bintang mulai muncul, angin dingin mulai terasa. Lampu-lampu perahu nelayan mulai terlihat. Saat ini, perahu Hermanto dan Rendi bersama krunya tidak terlalu jauh melaut. 

“Kami sekarang sengaja tidak terlalu jauh. Kami menemukan titik ikan yang lumayan di aplikasi Handphone Fishing Points, “jelasnya.

Perahu yang dikemudikan Hermanto sampai pada titik yang dituju, tempat ia  menebar jaring. Ia mematikan mesin, lalu membuang jangkar. Seketika jaring sepanjang sekitar 500 meter ditebar sambil berharap hari itu akan peroleh rejeki banyak. Harapan ia panjatkan agar ikan-ikan bisa terperangkap di dalam jaringnya.

“Biasanya melaut sampai jauh, tapi sekarang dekat-dekat saja. Tadi lihat Fishing Points ada ikan di lokasi ini. Malam ini kita mencoba menangkap ikan Layur dan ikan teri, “jelasnya. 

Setelah menebar jaring dan kail pancingan ikan. Kami membuka bekal untuk dimakan. Sambil menunggu jaring penuh sama ikan, dan kail pancingan dimakan ikan-ikan saya mengajak bercerita.

Hermato mengaku bukan asli warga Palabuhanratu, tapi lahir di Palabuhanratu. Ayahnya adalah warga Cirebon sementara ibunya dari jawa. Sejak kecil dirinya sudah diajarkan oleh orang tuanya ilmu nelayan.

“Kan saya sudah cerita tadi, saya dari SD kelas V (lima) sudah jadi nelayan, sekarang umur 42 tahun masih jadi nelayan. Memang dulu penghasilan cukup meningkat, sekarang agak kurang seperti dulu, “jelasnya.

“Baru sekarang nih ada ikan layur lagi di Palabuhanratu, dulu dua tiga tahun jarang ditemukan. Kemarin-kemarin untuk mencari ikan ini harus ke laut binuangeun Banten, ikan-ikan jarang masuk ke teluk Palabuharatu. Posisinya di luar terus,”  terangnya.

Saat ini penghasilan tangkapan ikan memang sedang baik. Karena sedang musim selatan. Namun ketika musim barat nelayan manapun akan kesulitan. Nelayan harus berkejaran dengan waktu karena gelombang yang cukup tinggi.

Tak jarang ketika gelombang tinggi datang, perahu nelayan bisa terbalik dan tenggelam kemudian terdampar, bahkan menewaskan nelayan. “Kemarin teman saya perahunya terbalik dan tenggelam, syukur perahunya tidak rusak dan bisa direlokasi dan dibawa pulang kembali ke Palabuhanratu, “terangnya.

Tanpa ditanya, kemudian sosok Hermanto yang akan memiliki anak keempat tersebut bercerita cuaca tidak menentu dan cemaran batu bara untuk bahan bakar PLTU mempersulit dirinya mencari ikan. Bahkan dirinya juga mengulang cerita ketika anaknya Rendi memutuskan untuk berhenti sekolah pada tingkatan SMP.

“Memang saya bertanya ke anak saya (Rendi red). Kalau mau lanjut sekolah hayu sampai kuliah juga hayu, biar saya mati-matian bekerja di jadi nelayan. Tapi Rendi memutuskan untuk jadi nelayan,” cetusnya.  

Saat ditanya soal PLTU Jawa Barat 2 Pelabuhan Ratu yang akan dipensiunkan, Hermanto mengaku senang. Pasalnya akibat adanya PLTU tersebut sedikit banyak mempengaruhi kondisi tangkapan ikan. Hal tersebut tentu berimbas kepada ekonomi para nelayan akibat hasil tangkapannya kembang kempis.

Menurutnya, sejak adanya PLTU tersebut ikan-ikan semakin sulit, apalagi disaat kapal tongkang pengangkut PLTU tumpah kelaut, hal itu berdampak kepada kondisi lingkungan di dalam air.

 

“Kalau (Batubara red) Tumpah, dampaknya air jadi panas. Ikan menjauh. Kalau tidak salah sudah ada tiga kali kejadian kapal tongkang tersebut tumpah. Bahkan ada yang sampai terseret ombak ke pinggir pantai. Warga sering memungut batubara di bibir pantai, katanya kalau sudah kena air laut batubaranya jadi jelek, “terangnya.

Selain itu juga, Kapal tongkang pengangkut batubara sering merusak jaring-jaring nelayan. Tak ayal, jika jaring nelayan sering mengalami kerusakan.

“Ya kalau ketahuan, langsung kita kejar, saya sering mengurusi itu. Teman saya kemarin terseret kapal Tongkang, minta ganti. Katanya harus langsung ke Agen, dan syukur bisa diganti. Itu kalau ketahuan langsung, kalau tidak ya rusak mau minta ganti ke siapa,” jelasnya.

Bahkan berdasarkan pengakuan Hermanto, terdapat anak tetangganya yang mengalami gizi buruk atau stunting. “Kalau bicara yang stunting atau gizi buruk, tetangga saya ada anaknya yang tidak bisa jalan kaki, kondisi ekonominya terpuruk setelah istrinya meninggal,” cetusnya.

“Jadi Tarmizi itu punya perahu sendiri, sekarang sudah hancur. Dan sekarang anaknya juga lumpuh tidak bisa berjalan. Sekarang hidupnya hanya berdua sama anaknya,” tambahnya sambil melihat ke arah pancingan ikan. 

Dirinya juga bercerita, sebetulnya sudah jenuh dengan aktivitas nelayan yang sudah ditekuni puluhan tahun, apalagi ketika hasil tangkapan ikan tidak sebanding dengan modal saat melaut.

“Kalau ditanya bosan ya bosan, pengen berhenti melaut. Pengen istirahat sudah cape, pengen kerja di darat. Tapi kalau berhenti kerja apa, saya harus menafkahi ketiga anak saya, apalagi istri saya sedang mengandung yang anak keempat,” terangnya. 

Saat ditanya soal kondisi penambahan nelayan dirinya menjelaskan, kalau dihitung dari dulu memang jumlah nelayan sekarang banyak, namun ada penurunan memang di awal awal Covid-19 kemarin. Memang, jumlah nelayan sukabumi pernah mencapai puncaknya, namun saat ini jumlahnya menurun seiring dengan hasil tangkapan yang berkurang. 

“Kalau kapal itu ada yang punya sendiri ada yang punya orang. Ada juga yang bawa perahu milik sendiri. Kalau saya ini kan ikut sama orang yang punya kapal. Intinya ikut bosnya,” jelasnya.

“Kalau ingin punya kapal sendiri modalnya cukup lumayan. Di angka Rp70 Juta, kalau perahunya cuma Rp25 juta mesin 30 jutaan sama alat tangkap ya sekitar Rp70 juta,” terangnya. 

MENJEMUR IKAN : Salah seorang nelayan Desa Cipatuguran Kecamatan Palabuhanratu saat menjemur ikan hasil tangkapan.
MENJEMUR IKAN : Salah seorang nelayan Desa Cipatuguran Kecamatan Palabuhanratu saat menjemur ikan hasil tangkapan.

Dirinya berharap, tentu dengan adanya agenda pensiun dini PLTU sedikitnya membuat lega para nelayan. Mulai dari kecemasan dari tumpahan batubara hingga kecemasan jaring terseret kapal tongkang bisa hilang. 

“Ya harapan saya mah, melaut itu tidak usah jauh-jauh. Jadi bisa setiap hari pulang. Tapi kemarin kemarin kami melautnya hingga Pantai Ujung Genteng dan Binuangeun Banten,” jelasnya.

“Sekali nelayan kadang menghasilkan uang Rp1 juta bahkan lebih, itu dibagi sama nelayan lain. Dipotong buat BBM solar. Makanya kalau belum nutup solar kami kadang dua atau tiga hari di laut. Kalau rezeki lagi baik satu hari, kalau buruk ya bisa lama, karena kalau pulang pun rugi BBM,” tandasnya.

Memang situasinya kini memprihatinkan. Keberadaan Nelayan terus-menerus terancam oleh krisis iklim. Aktivitas kesehariannya yang bertumpu pada hasil laut kini menghadapi berbagai tantangan dan ancaman.

Menurut data dari badan pusat statistik (BPS) Kabupaten Sukabumi yang menyebutkan bahwa kondisi perekonomian nelayan di Kabupaten Sukabumi semakin tidak menentu.

Hal tersebut terlihat dari jumlah kapal nelayan yang beroperasi. Data BPS yang dikumpulkan dari sumber Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu tercatat pada tahun 2012 jumlah perahu nelayan sekitar 903 perahu yang terdiri dari 478 perahu motor tempel dan 425 kapal motor, dengan jumlah nelayan 5.112 nelayan.

Sumber : BPS Kabupaten Sukabumi
Sumber : BPS Kabupaten Sukabumi

Jumlah tersebut dari tahun ketahun terus menurun. Data terakhir di tahun 2022 jumlah perahu Nelayan hanya 522 perahu yang terdiri dari 285 perahu tempel motor dan 237 kapal motor dengan jumlah nelayan 1.789 orang. Dengan data tersebut terlihat jumlah nelayan Palabuhanratu dari tahun ketahun semakin menyusut. 

Debu Bongkar Muat Batubara

Selain sulitnya mencari ikan di teluk Palabuhanratu, kehadiran PLTU ternyata menyebabkan masalah lain. Ya debu, dari hasil bongkaran batubara menjadi masalah lain di Desa Cipatuguran.

Rahmat Salah seorang nelayan yang berada di Kampung Rawa Kalong Desa Cipatuguran Kecamatan Palabuhanratu di dekat PLTU, menyebutkan debu-debu dari bongkar muat kapal tongkang sangat mengganggu. Berdasakan sumber dari PLTU setiap harinya PLTU setidaknya memerlukan 12 ribu ton batubara. Hasil bongkaran batubara berterbangan Partikel batubara terbawa angin ke perumahan penduduk yang terbawa angin.  

“Ya betul, debu dari bongkar muat itu partikelnya kecil. Anak-anak sering batuk, bahkan tidak sedikit anak-anak di Kampung mengidap beberapa penyakit seperti gatal-gatal, batuk hingga ispa, “singkatnya.

Keadaan itu juga dibenarkan oleh Kepala Sekolah SDN Cipatuguran Nana Yunarni yang mengatakan bahwa debu-debu dari hasil bongkar muat Batubara sangat mengganggu aktivitas sekolah. 

Dalam waktu kurang 3 jam debu-debu hitam menempel di beberapa kaca, tembok hingga lantai sekolah. Kesehatan anak-anak di SDN Cipatuguran selalu saja ada yang sakit. 

“Sejak Juli hingga September, 272 anak-anak terserang batuk, gatal-gatal, demam hingga sesak napas. Yang terasa disini memang seperti itu, anak-anak melalui keluhan orang tuanya sering memberi alasan seperti itu,” terangnya.

“Debunya halus, kalau terhirup sama anak-anak pasti sakit. Tapi, itu terjadi saat bongkar muat batubara saja kalau pas anginnya mengarah ke pemukiman penduduk,” terangnya.

Menurutnya, untuk antisipasi jika anak sudah sakit maka akan dibawa ke Puskesmas terdekat di Kecamatan Simpenan. Kondisi tersebut juga diamini oleh penjaga sekolah Suhendi yang menambahkan bahwa debu yang diduga dari bongkar muat batubara menyebar ke wilayahnya, buktinya ada di genteng sekolah, kaca, dan lantai.

“Debu memang banyak waktu bapak nyapu pada nempel tidak begitu tebal, tapi suka batuk juga sampai penyakit gatal-gatal,” tutupnya.

Berdasarkan data dari Puskesmas Simpenan, tren kesehatan di Kecamatan Palabuhanratu terutama di Desa Cipatuguran terdapat peningkatan penyakit diantaranya ISPA atau Infeksi Saluran pernapasan. Data dari Januari hingga Juni ada sekitar 2.200 orang mengalami penyakit ISPA.

Cucu Mintardi, Kabid Pencegahan Penyakit pada Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi mengatakan, memang tren masyarakat yang mengalami ISPA di wilayah tersebut cukup tinggi. 

“Untuk data Agutus 2023 saja jumlahnya ada 135 kasus ISPA, ada penyakit lainnya. Tapi memang ISPA ini ada di urutan pertama, “terangnya.

Menanggapi hal tersebut, Endro Pradana Staf Lingkungan PLTU Palabuhanratu membantah bahwa PLTU menjadi penyebab penyakit ISPA di masyarakat, pasalnya emisi yang dihasilkan PLTU Palabuhanratu sudah sesuai standar baku mutu yang ditentukan KLHK Nomor 5 tahun 2019. Dan setiap tiga bulan data tersebut dikirimkan ke KLHK. 

“Kami monitoring setiap tiga bulan sekali terkait limbah emisi, jadi menurut saya tidak ada korelasi dengan lingkungan atau penyakit ISPA di masyarakat. Itu tidak pas lah,” timpalnya.

Salah satu ibu Nelayan pada Saat Merapihkan Tangkapan Ikan

“PLTU pernah melakukan kajian soal hal itu didaerah lain, dan hasilnya sama dengan daerah lain penyakit ISPA ada, jadi kami keberatan jika penyakit ISPA di Desa Cipatuguran jadi tanggungjawab kami,” tandasnya. 

Hal yang sama dikatakan oleh Asmadi Manajer Administrasi PT PLN Indonesia Power yang menyebutkan, berdasarkan kajian penilaian penyakit ISPA yang terjadi di Desa Cipatuguran hampir sama dengan daerah lain trennya terus naik dan turun di waktu-waktu tertentu.

“Kami ramah lingkungan, kami juga sudah mempergunakan teknologi untuk menyaring partikel asap dari cerobong, dan itu sudah bekerja optimal dan tidak ada kendala. Intinya kami sudah sesuai aturan KLHK Nomor 5 tahun 2019 (tentang Tata Cara Penerapan Label Ramah Lingkungan Hidup untuk PBJ). Aktifitas asap normal saja,” tegasnya. 

Ekonomi Nelayan Buruh Semakin Rapuh

Secara umum nelayan pun dapat dibedakan kedudukannya berdasarkan tiga tingkatan atau stratifikasi yaitu nelayan juragan, nelayan tradisional, dan nelayan buruh.

Di dalam masyarakat nelayan Pelabuhanratu terdapat pengelompokan nelayan ke dalam beberapa kelompok yaitu nelayan juragan di Pelabuhanratu yaitu mereka pemilik modal dan yang memiliki kapal, yang kedua yaitu nelayan buruh yaitu para nelayan yang menangkap ikan menggunakan kapal para nelayan juragan dan yang terakhir yaitu nelayan tradisional yaitu para nelayan yang menggunakan alat tangkap sendiri tapi masih bersifat tradisional.

Selain pengelompokan masyarakat nelayan Pelabuhanratu berdasarkan modal dan alat tangkap, ada pula pengelompokan lain yaitu masyarakat nelayan penuh, masyarakat nelayan sambilan utama, dan masyarakat sambilan tambahan.

Namun ironisnya di tengah sumber daya alam khususnya dalam bidang perikanan melimpah, kehidupan ekonomi dari masyarakat nelayan di Pelabuhanratu ini pun masih terbilang berada di bawah garis kemiskinan khususnya bagi mereka para nelayan tradisional dan buruh. Misalnya pada masyarakat nelayan Indonesia pada umumnya, para nelayan hanya bisa memenuhi kebutuhan primer saja karena hasil tangkapan ikan yang mereka dapatkan masih sangat minim.

Adapun masalah yang dihadapi oleh nelayan diantaranya yaitu masalah struktural, berbagai faktor yang berkaitan dengan masalah struktural dalam masyarakat nelayan Pelabuhan Ratu yaitu berkaitan dengan keterbatasan modal usaha dan teknologi penangkapan ikan. 

Biasanya peralatan yang masih mereka gunakan pun masih sangat sederhana. Perahu yang digunakan untuk menangkap ikan pun masih tradisional, sehingga hasil tangkapan mereka pun masih sangat minim. 

Terlebih lagi para nelayan dihadapkan dengan masalah kenaikan BBM, sehingga penghasilan mereka pun tidak sebanding dengan kerja keras yang mereka lakukan.

Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), jumlah nelayan di Indonesia terus mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir sebagaimana dilaporkan oleh dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2021.

Pada tahun 2010 jumlah nelayan tercatat sebanyak 2,16 juta orang. Namun pada tahun 2019 lalu, jumlahnya tercatat hanya 1,83 juta orang. Dengan demikian, terdapat penurunan jumlah nelayan sebanyak 330.000 orang dalam sepanjang tahun 2010–2019.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Wahyudin Iwang menyebutkan Penurunan jumlah nelayan ini akibat krisis iklim. Salah satunya adalah efek luar biasa dari aktivitas PLTU bagi ekonomi nelayan Palabuhanratu. Berdasarkan hasil riset yang ia lakukan, dengan banyak nelayan yang menyampaikan semenjak adanya PLTU, tangkapan ikan mereka semakin menjauh. 

“Dulu ikan di pesisir saja melimpah, setelah ada PLTU itu sekarang menangkap ikan sampai ke Cianjur, hingga Banten. Itu yang kami terima laporan di masyarakat saat melakukan advokasi,” jelas orang yang akrab disapa kang Iwang

Menurutnya, aktivitas kapal tongkang PLTU tentu sangat mengganggu nelayan. Selain itu, tentu mempengaruhi ekosistem laut. Apalagi ada beberapa kejadian batubara yang tumpah. Tentu itu akan merusak ekosistem laut. 

“Terus limbah air panas yang dikeluarkan dari batubara PLTU itu juga jelas mempengaruhi ekosistem masyarakat. Tangkapan ikan yang susah juga membuat hilangnya habitat laut, “tegasnya. 

Hal tersebut tentu akan menjadi masalah bagi nelayan. Mata pencaharian semakin jauh, dan hasil tangkapan berkurang tentu mempengaruhi kondisi ekonomi para nelayan.

“Saya sudah mendapatkan laporan dari beberapa tahun lalu, selain sulitnya mencari ikan, kondisi lingkungannya pun tercemar. Tidak sedikit, masyarakat yang disana terserang penyakit ISPA, demam, gatal-gatal, dan batuk. Itu fakta berdasarkan data dari Puskesmas setempat,” terangnya.

“Kemarin saya baru mendengar penjelas PLN, bahwa mereka melakukan pemantauan secara real time 24 jam yang dilaporkan ke KLHK, tapi kita publik apalagi masyarakat tidak mengetahui hasil laporannya seperti apa, kami meminta terbuka untuk menyampaikan kualitas udara di sekitar PLTU tersebut, apakah sudah diatas baku mutu atau tidak” tandasnya.  

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *