Koperasi: Format Ideal Membangun Ekonomi Warga Sukabumi

kang-warsa

Oleh Kang Warsa dan Thommy Ardhian

Tak dapat dimungkiri, perekonomian menjadi tulang punggung kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejarah telah membuktikan, ekonomi menjadi roda penggerak kehidupan sejak manusia membangun masyarakat komunal di era revolusi agrikultur pada 13.000 tahun lalu. Pada era ini, manusia sudah tidak terlalu bergantung kepada ketersediaan pasokan dari alam secara langsung.

Bacaan Lainnya

Manusia memerlukan tindakan yang menghubungkan dirinya dengan alam dalam bentuk pengelolaan. Untuk mendapatkan sumber makanan, manusia yang sebelumnya harus berburu dan meramu, berpindah-pindah tempat dari satu lahan ke lahan lainnya, di era revolusi pertanian manusia dipaksa untuk menetap di satu kawasan dan mengoptimalkan sumber daya dirinya untuk menghasilkan sumber makanan melalui proses domestikasi.

Pertumbuhan populasi berbanding lurus dengan semakin banyaknya lahan baru pertanian berdampak pada cara baru berpikir manusia untuk melakukan mobilisasi sumber makanan dari satu tempat ke tempat lainnya. Sumber pangan yang didomestikasi pun menjadi lebih beragam karena manusia tidak mungkin dapat memenuhi seluruh kebutuhan untuk komunitas dirinya sendiri. Jenis kebutuhan lain yang tidak dapat dipenuhi oleh satu komunitas dapat diperoleh dari komunitas lainnya melalui proses barter.

Barter menjadi tidak relevan ketika dilakukan oleh individu dalam jumlah banyak dan berbagai jenis sumber daya alam serta berbagai kebutuhan manusia terhadap hasil produksi semakin meningkat. Kesepakatan baru diciptakan oleh manusia dengan menciptakan satu alat tukar yang dapat mewakili seluruh komunitas. Sejarah manusia mulai mengenal uang, sebagai hasil kesepakatan bersama, dan memiliki nilai sebanding dengan barang yang akan ditukar.

Seiring berjalannya waktu, manusia mulai menggunakan barang-barang tertentu yang memiliki nilai intrinsik atau nilai guna tinggi sebagai alat tukar. Contohnya adalah emas, perak, gandum, hewan ternak, atau kulit binatang yang digunakan sebagai bentuk awal uang.

Nilai yang tercantum pada logam atau kertas yang kita lihat seperti sekarang sebetulnya tidak ditentukan oleh bahan dan nilai nominalnya melainkan oleh kesepakatan yang dibangun oleh manusia sendiri. Nominal sebesar apapun tidak akan berlaku ketika manusia memasuki satu kawasan yang merusak kesepakatan terhadap uang. Manusia tidak memerlukan uang sebesar apapun ketika berada di dalam hutan. Dia hanya memerlukan sumber pangan dan mengambilnya langsung dari alam untuk menghilangkan rasa lapar.

Uang menjadi ukuran penting bagi individu. Seseorang yang memiliki banyak uang sama artinya dia akan mampu membeli berbagai kebutuhan hingga membeli keinginan bagi dirinya sendiri. Sejak era revolusi pertanian sampai masa penggunaan uang sebagai alat tukar telah membangun corak sosial baru dan stratifikasi lapisan masyarakat, antara pemilik lahan yang luas dengan para penggarap lahan, antara para tuan tanah dengan jelata yang hanya dapat memanfaatkan sumber daya alam atau menghasilkan uang dengan konversi tenaga mereka. Jelata akan mendapatkan konversi dari tenaga yang dikeluarkan dengan uang yang diterima dari para tuan tanah. Kesejahteraan dalam hal ini hanya dimiliki oleh sebagian kecil manusia, feodalisme mengakar.

Dunia lama telah memposisikan para pemilik modal dan pemilik akses sumber daya menjadi lebih memiliki keleluasaan tidak sekadar mengeruk sumber daya alam juga menihilkan kelompok rentan terhadap kesejahteraan. Ketimpangan sosial di Eropa dari  abad 5 hingga 15 telah memaksa para cerdik pandai untuk mengalihkan citra sosial yang keji ke cara lebih beradab atau memindahkan kekejian dari satu kawasan ke kawasan lain. Misalnya, orang-orang Eropa daripada mengeruk habis sumber daya alam Eropa dan memarjinalkan sesame bangsanya lebih baik berpindah ke tempat lain. Reconquista dan penjelajahan dilakukan oleh orang-orang Eropa, tujuannya untuk membangun kesejahteraan komunitas mereka dengan mengambil kesejahteraan dari bangsa lain.

Situasi Sukabumi di masa lalu, setelah bangsa Eropa yang diwakili oleh Belanda mulai menempati wilayah ini dapat menjadi barometer bagaimana kemaruknya bangsa lain mengeksploitasi sumber daya alam dan SDM untuk kesejahteraan bangsa mereka sendiri. Sebelum kedatangan Belanda, orang-orang Sukabumi masih menggunakan pendekatan konvensional dalam bertransaksi. Kedatangan Belanda telah mengubah pandangan baru, kepemilikan menjadi modal sosial bagi masyarakat dan pemilik lahan paling luas dikelompokkan ke dalam kelas sosial tertinggi. Padahal, pada sistem sosial sebelumnya, para pemilik lahan dan kekayaan ini ditempatkan pada sistem sosial ketiga karena kemelekatan mereka dengan materi masih tinggi.

Cengkeraman ekonomi kapitalis kuno di Sukabumi terus berlanjut sepanjang sejarah kolonial. Tidak jauh dengan situasi yang terjadi di Eropa, kaum terdidik Sukabumi sebagai pribumi tentu tidak ingin melihat warga Sukabumi sendiri terjebak pada ketidaksejahteraan dan kemiskinan. Setelah Belanda menerapkan politik etis atau balas budi, salah seorang ajengan dari Sukabumi, K.H Ahmad Sanusi menggagas sistem perekonomian yang berpihak kepada umat. Ajengan yang telah dianugerahi gelar pahlawan nasional pada tahun 2022 ini mengemukakan sistem permodalan yang harus dikelola bersama-sama dalam bentuk iuran atau urunan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *