Politik Islam Pasca Pemilu

Mohamad Fadhilah Zein Anggota Komisi Infokom MUI

Oleh : Mohamad Fadhilah Zein, Anggota Komisi Infokom MUI

Indonesia sudah 73 tahun merdeka. Sepanjang usia itu, dinamika sosial dan politik telah melahirkan banyak sekali tokoh-tokoh Islam. Kebanyakan dari tokoh-tokoh tersebut memiliki kendaraan berupa organisasi massa atau politik yang digunakan sebagai wahana menyampaikan ide, gagasan dan alat perjuangan.

Bacaan Lainnya

Ormas ini kemudian membesar dan berhasil melakukan kaderisasi secara massif.

Kader-kader ormas ini kemudian mewarnai perjalanan politik bangsa dan negara. Pergantian rezim kekuasaan turut mewarnai perjalanan ormas dan kemudian para tokoh Islam pun “bermain” mengikuti situasi dan kondisi yang dinamis.

Di antara mereka ada yang gigih mempertahankan prinsip walaupun berakhir tragis. Ada pula di antara mereka yang memilih bermain peran demi menyesuaikan diri dengan kondisi sosial dan politik.

Apapun pilihan kader, apakah teguh pada pendirian ataupun lincah bermain peran, mereka tetap berpegang pada prinsip Islam tidak bisa terpisahkan dari perjalanan bangsa dan negara. Meski gerakan sekularisme menguat beberapa dekade terakhir di Indonesia, namun gerakan politik Islam pun semakin mendapat tempat di masyarakat.

Deliar Noer sebagai salah satu tokoh dan rujukan gerakan politik Islam di Indonesia, memiliki pemikiran yang menarik tentang kepemimpinan di Tanah Air.

Menurutnya, kepemimpinan berkaitan dengan etika yang harus dijalankan dalam kehidupan manusia, termasuk juga dalam kehidupan politik. Penguasa dituntut untuk lebih dahulu memiliki keteladanan yang dapat dipertanggungjawabkan bagi rakyatnya.

Islam sebagai ajaran agama tidak hanya mengajarkan ritual peribadatan, namun juga memberi panduan dalam suatu tatanan etika politik, nilai-nilai kepemimpinan serta moralitas suatu bangsa. (Deliar Noer: 1985, 92).

Deliar Noer juga begitu menghormati sosok Muhammad Natsir dan Mohamad Hatta.

Sebagai tokoh yang hidup di tiga periode, yakni Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi membuat Deliar Noer ikut berperan dalam memikirkan bagaimana kondisi masyarakat Indonesia ke depannya.

Hal ini, membuat Deliar Noer mempunyai kedekatan dengan beberapa tokoh-tokoh nasional Indonesia, di antaranya dua tokoh di atas.

Kedekatan hubungan Deliar Noer dengan Bung Hatta telah mempengaruhi pemikirannya terhadap Deliar Noer, sehingga Deliar Noer mengetahui sosok proklamator itu yang dituangkan dalam sebuah buku “Mohammad Hatta: Biografi Politik”.

Sosok M. Hatta yang religius membuat Deliar Noer tertarik dengan gaya kepemimpinan Hatta dengan sikap, moral, serta integritas yang tinggi.

Deliar Noer merupakan seorang ilmuan yang cerdas. Kapasitas keilmuannya diakui di tingkat nasional dan Internasional. Di dalam negeri, Deliar Noer dikenal mempunyai kedekatan dengan tokoh pendiri bangsa ini.

Bukan M. Hatta saja, melainkan juga dekat dengan M. Natsir, Sjahrir, Soekarno bahkan juga Soeharto dan ratusan tokoh bangsa lainnya.

Narasi Dangkal dan Pragmatisme

Era sekarang ini, bisa dibilang kita kehilangan sosok tokoh politik Islam sekaliber Deliar Noer, Mohamad Hatta, Muhammad Natsir dan lainnya. Kita bisa melihat pada Pemilu 2019 di Tanah Air, betapa narasi yang disuguhkan tokoh-tokoh Islam begitu pragmatis dan dangkal.

Era sosial media melahirkan narasi-narasi tak bermutu, yang sebenarnya justru menjerumuskan umat. Mereka tidak mampu memberi gagasan dan pencerahan, karena umat disuguhi narasi pendek sekedar untuk kepentingan elektoral. Narasi yang diberikan kepada umat hanya sekedar “yang penting ramai” atau “yang penting jadi trending topic”.

Dalam ranah teori, tentunya nilai-nilai politik dalam Islam tidak sedangkal itu. Dia begitu adiluhung dan menjadi puncak harapan kesejahteraan kehidupan manusia di muka bumi.

Namun, pada kenyataannya, saat ini banyak politisi beragama Islam yang kemudian terseret kasus pidana. Jangankan untuk berbicara kesejahteraan umat, untuk keselamatan dirinya sendiri pun dia tidak mampu. Jika dahulu, tokoh-tokoh Islam dipenjara karena memegang prinsip kebenaran, kini banyak tokoh yang dibui karena kasus korupsi. Ironis tentunya.

Beda zaman, tentunya beda pula sosok politisi di Tanah Air. Tentu menjadi pertanyaan, bagaimana nasib politik Islam di Indonesia ke depannya? Di tengah “pertempuran” ideologis global yang didukung jaringan kuat dan dana raksasa.

Kita bisa meminjam pemikiran Thariq Ramadhan, cucu Hasan al Banna, tentang tiga hal penting dalam mempelajari ilmu politik Islam.

Menurutnya, pertama, umat harus mempelajari lagi makna pengkajian, pemahaman secara mendalam, dan bersama-sama memasuki persepsi yang dalam tentang kompleksitas pengaturan kehidupan manusia, dalam hal ini berkaitan tentang politik.

Kedua, jalan menuju pemikiran yang dalam dan tajam, tenang dan tanpa prasangka adalah dengan mendengarkan, belajar memahami kembali, mengakui bahwa kita sebenarnya bukan apa-apa dan kurang pengetahuan.

Menurut Thariq, musuh umat dewasa ini adalah prasangka, kurang informasi terhadap sejumlah budaya, realitas atau kejadian-kejadian.

Akibatnya, umat terombang-ambing dalam kesesatan informasi dan akhirnya mudah diadu domba. Informasi yang minim, dangkal bahkan misinformasi, memberi umat tentang ilusi ilmu pengetahuan.

Penjungkirbalikan tentang mana yang ilusi dan mana yang pengetahuan sudah terjadi saat ini, dan kebanyakan umat tidak sadar.

Ketiga, umat harus kembali pada esensi pesan Al Quran tentang cinta dan spiritualitas. Tujuannya adalah menghidupkan hubungan manusia dengan Tuhan secara permanen, diilhami oleh pengalaman zikir dan taqarrub.

Dari situ, umat akan terbangunkan dan tercerahkan secara spiritualitas dengan norma-norma moral sebagai tonggaknya. Hubungan vertikal (hablum minallah) yang baik akan melahirkan hubungan horisontal yang baik pula (hablum minan naas).

Belajar dari pemikiran di atas, tentunya organisasi Islam harus memiliki kader yang berkualitas demi memperjuangkan prinsip-prinsip yang telah dicontohkan para pendahulu.

Jika yang menjadi tujuannya adalah sekedar terpilih di pemilu lima tahunan, maka nasib politik Islam akan terjebak dalam lingkaran setan yang tak berkesudahan. Tidak akan muncul sosok-sosok yang berkualitas secara keilmuan dan tak akan mampu membawa umat kepada kebaikan hakiki.

Pragmatisme juga membuat organisasi politik harus menggadaikan prinsip karena ada anggapan, jika terlalu idealis maka tidak akan mendapatkan apa-apa.

Tentunya, ini menjadi pertanyaan kita semua, untuk apa berpolitik jika tidak ada idealisme di dalamnya. Apa yang hendak diperjuangkan? Apakah hanya untuk kepentingan dirinya dan organisasi politiknya?

Jika memang demikian, tentu Ini menjadi tragedi untuk kita semua, betapa kita benar-benar kehilangan tokoh Islam politik yang memiliki moral dan integritas. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *