3 Tingkatan Orang Berpuasa Menurut Imam Al-Ghazali

KH Ridwan Subagja
Drs. KH. Ridwan Subagja Pengasuh Pondok Pesantren Al Fatonah

Assalamu’alaikum warahmutallahi wabarakaatuh…

Dibulan suci yang penuh berkah ini, Kewajiban umat muslim yang paling utama adalah kewajiban menjalankan puasa/saum. Sebagaimanna firman Allah dalam Al Qur’an dalam surat Al Baqarah:

Bacaan Lainnya

“Ya Ayyuhal ladzina amanu kutiba alaikumusiam kama kutiba alalladzina minqoblikum laalakum tatakun”

Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan pula puasa itu kepada umat-umat sebelum kalian. Dalam ayat ini selain menjelaskan tentang wajibnya berpuasa, diujung ayat menegaskan ending dari puasa yaitu “laalakum tatakun” agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.

Didalam bahasa arab kata “la’ala” ini mengandung makna Taroji sebab ada Littamani ada Littaroji. Littaroji ini artinya harapan yang besar yang kemungkinan akan terwujud, bisa diraih. Sedangkan Littamani yaitu harapan yang mustahil untuk diraih, angan-anagan sifatnya.

Sementara harapan agar kita menjadi menjadi taqwa dengan berpuasa, yaitu littaroji artinya besar kemungkinan kita menjadi orang yang mutaqqin dengan melaksanakan puasa.

Hanya saja pertanyaannya adalah puasa yang bagaimana sehingga akan melahirkan pada satu keakhiran yang sempurna, membuat orang yang bertaqwa.

Para ulama di dalan kitab duratunnasihin ditemukan ada 3 klasifikasi puasa agar menjadi gambaran derajat puasa kita sudah dimana. Pertama, ada yang disebut puasa Awwam artinya puasa setandar, puasa guyub, puasa mayoritas, puasa pada umumnya dan takarannya setandar sebatas bisa menahan lapar, dahaga sejak sahur sampai magrib itu termasuk puasa awwam.

Dan kalau standar ini kita pakai rasanya kita sudah lulus di setandar ini, kita hanya baru mampu mempuasakan perut, kita mempuasakan kerongkongan kita, mempuasakan alat kehormatan kita. Hanya sampai disitu.

Sementara untuk sampai pada derajat ketaqwaan yang ingin kita raih rasanya tidak berhenti di klasifikasi puasa awwam itu.

Kemudian ada derajat yang kedua namanya puasa khoas. Apa puasa khoas itu, pasa khos merupakan makna puasa yang agak sedikit meluas, yang dipuasakan itu bukan hanya sebatas perut, menahan diri dari rasa lapar, bukan hanya menahan kerongkongan dari dahaga, tetapi puasa khoas agak meningkat sedikit, seluruh panca indra kita seluruh alat-alat anggota badan kita, itu ikut menahan diri dari segala yang membatalkan puasa.

Jadi kalau perut hanya menahan lapar, kalau kerongkongan hanya menahan dahaga, maka puasa khoas bukan sebatas itu, tapi harus mampu menaha mata kita dari pandangan-pandangan yang diharamkan oleh agama, menahan telinga kita dari pendengaran-pendengaran yang dilarang oleh agama, menahan tangan kita, menahan kaki kita, bahkan menahan hati dan fikiran kita dari yang tidak diwajibkan oleh agama.

Nah, rasanya kita harus sedikit bergeser dari klasifikasi standar yang sangat standar hanya menahan lapar dan haus. Maka pada momentum Ramadan sekarang ini seyogianya kita harus berikhtiar maksimal untuk meninggikan derajat puasa kita dari puasa awwam ke puasa khoas, anggota panca indra kita diikutkan untuk berpuasa, mata kita tidak lagi jelalatan, kuping kita tidak asal mendengar kaki kita, tangan kita bahkan mungkin fikiran-fikiran dan hati-hati kita itu puasa khoas namanya.

Bahkan, pada tingkatan yang ketiga, ada klasifikasi puasa yang sangat paripurna, ideal dan memang untuk maqom kita, untuk posisi seperti kita ini sulit untuk sampai pada posisi ideal ini. Ini adalah kelasnya puasa para nabi para rosul dan para wali, yang dipuasakan bukan hanya perut, bukan hanya tenggorokan, yang dipuasakan bukan hanya panca indra saja tapi denyut nadi, kemudian juga fikiran-fikiran, hati ikut bertasbih, ikut berpuasa dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.

Nah, dari ketiga klasifikasi ini wajar kemudian kalau kita menyadari diri sendiri sudah sampai di level mana puasa kita, karena kita akan mengejar target akhir dari puasa tadi adalah “Laalakum Tataqun” bahwa puasa besar kemungkinan akan membuat posisi kita menjadi orang-orang yang bertaqwa.

Rasanya sulit kalau kita hanya mengharapkan puasa standar kemudian kita akan rubah posisi menjadi orang-orang yang bertaqwa. Oleh karena itulah hari ini kita sedikit nawaitu, bismillah untuk merubah puasa kita ini dari puasa yang awwam (puasa standar, puasa apa adanya) menjadi ke puasa.

Minimal adalah puasa khowas, puasa yang bukan hanya memuasakan dari menahan lapar dan haus kita tapi juga menahan seluruh panca indra kita dari perbuatan-perbuatan durhaka dan maksiat kepada Allah. Hanya saja kita perlu menggali lebih dalam kata “Tattawun” tadi, yang artinya (Bertaqwa) in,i sebetulnya apa batasan kriteria orang-orang yang bisa dikatakan Taqwa.

Karena, pertama, dengan taqwa itu sendiri sudah digaransi oleh Allah di dalam ayat “faqod faazal mutaqun” (berbahagialah orang-orang yang bertaqwa). Jadi orang yang berbahagia yaitu orang yg bergaransi yaitu orang yang bertaqwa.

Bahkan lebih detail dalam ayat lain dikatakan “wama yataqillaha yaj’allahu makhroja wayarzuqhu min haitsu layah tasib” kata Allah, Ma yataqillah, barang siapa yang bertaqwa kepada Allah dengan berpuasa salah satunya misal maka konsekuensi dari Allah kepada orang yang bertaqwa.

Pertama, Yajallahu makhroja, dia akan diberikan oleh Allah solusi hidup dari segala problematika, dari segala permasalahan, kebingungan, keruwetan, nsegala macam.

Maka orang yang bertaqwa dijamin oleh Allah “yaj’allahu makhroja” Allah akan memberi solusi dari berbagai masalah. Bahkan lebih jauh lagi “Wayarzuqhu min haitsu layahtasib” Allah akan berikan rezeki dari yang tidak terkalkulasi, dari yang tidak terduga, yang tidak pernah disangka-sangka.

Dengan bertaqwa paling tidak sudah berhasil meraih tiga keuntungan, kebahagiaan dalam gengagaman, rezeki yang tidak disangka akan didapat bahkan segala macam problematika dalam hidup, Allah akan berikan solusinya.

Untuk itu di bulan suci Ramadan yang sangat mubarakah ini, kita harus pstikan bahwa puasa kita ini betul-betul puasa yang berbobot sehingga dapat menggiring kita, dapat meluruskan kita, dapat mengeserkan kita dari orang yang mungkin dipandang kurang taqwa menuju betul-betul dipandang “la’alakum tatakun” jadi orang yang bertaqwa dengan melaksanakn puasa itu sendiri.

Tetap juga perlu dipahami bahwa puasa ini adalah ibadah mahdoh, ibadah yang kaitannya langsung kepada Allah. Sehingga di dalam salah satu hadits dikatakan bahwa puasa itu adalah urusan “ku”, kata Allah. “Karena urusanku, maka saya langsung yang akan bayar upah dari orang yang berpuasa”.

Yang punya otoritas menentukan bahwa kita puasa atau tidak jangankan orang yang jauh yang terdekat sekalipun baik bapaknya atau ibunya atau suaminya, atau istrinya tidak akan pernah punya keyakinan yang pasti bahwa dia berpuasa atau tidak, yang pasti tahu bahwa dia puasa atau tidaak hanya Allah SWT dan dirinya sendiri, makanya karna ini urusan Allah.

Allah langsung mengatakan “Waana Ajazi Bihi” (saya yang akan membayar upahnya dia langsung) ini belajar tentang kejujuran pada diri sendiri, karena puasa ini adalah urusan Allah dan Allah yang tahu rahasianya maka sebetulnya di dalam berpuasa ini kita mengajarkan diri kita untuk besikap jujur kepada diri kita sendiri orang tdk tahu bahwa kita berpuasa atau tidak, tidak serta merta orang yang gemuk ternyata dia tidak berpuasa lantas juga kita sebaliknya mengatakan orang yang kurus selalu berpuasa, tidak juga hanya Allah yang maha tahu.

Maka dalam berpuasa ini mengajarkan kejujuran, kedisiplinan ditengah kejujuran mulai pudar, kedisiplinan tidak lagi menjadi barang mahal, maka berpuasa paling tidak harus mendidik kita kejujuran, kedisiplinan dan tentu saja karena puasa ini adalah ibadah mahdoh kepada Allah setiap ibadah harus pakai ilmu maka dibulan suci Ramadan ini pun kita terus mencari ilmu jangan sampai puasa kita itu hanya sebatas mendapatkan haus dan dahaga saja. Itulah yang dikhawatirkan Rasulullah SAW dengan sabdanya “Kam Min So’imin laisa lahul jaza ila ju’u wal atos” (tidak sedikit Alias banyak orang-orang yang mengklaim, mengaku dirinya berpuasa) ternyata dia tdk mendapatkan apa-apa, boro-boro surga, pahala juga tidak jelas yang dia dapatkan hanyalah lapar dan dahaga, jangan sampai kita masuk pada kategori ini.

Salah satunya adalah bukan hanya urusan menahan lapar bukan hanya urusa naha haus tetapi perbuatan-perbuatan maksiat, perbuatan-perbuatan durhaka sekalipun secara fikhiyah tidak membatalkan puasa tetapi secara tasauf sebetulnya menghilangkan, menggerus pahala ganjaran puasa itu sendiri.

Makanya ada yang membatalkan puasa secara fiqhiyah ada juga secara Tasaufiyah, artinya pahalanya dia tidak dapat seperti orang-orang yang hanya menahan dahaga tetapi tdk menghindari perbuatan-perbuatan maksiat, berbuat durhaka, dia hanya akan mendapat laparnya saja, hanya akan dapat hausnya saja.

Oleh karena itu, sejatinya dan seharusnya berpuasa itu harus disertai dengan ilmu-ilmu berpuasa kaifiyat berpuasa karena segala macam ibadah tanpa didukung dengan ilmu yang memadai itu dikatakan dalam salah satu syair bahwa “faqulu man faqulu man bigoiri ilmi ya’malu, amaluhu mardidatun latuqbalu” (setiap orang yang beribadah tanpa memakai ilmu hanya spekulasi saja, maka amal ibadahnya itu akan ditolak alias tidak diterima).

Puasa kita janga sampai seperti yang digambarkan oleh rasulullah (banyak ngaku puasa tapi dia hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja) oleh karena itu pula berpuasa kali ini seyogianya kita ikhtiar maksimal untuk meningkatkan drajat kelasifikasi puasa kita dari yang dulu mungkin kita hanya sebatas puasa awam/puasa standar, puasa rata-rata, puasa apa adanya hanya sebatas menahan lapar dan haus sekurang-kurangnya kita meningkat satu level menjadi puasa khowas puasa yang spesifik puasa yang khusus yaitu bukan hanya menhan lapar dan dahaga tapi juga menahan seluruh panca indra kita dan perrbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.

Semoga dengan meningkatkan puasa kita dari awwam kepada khowas betul-betul sasaran berpuasa La’alakum Tataqun (menjadi orang-orang yang bertaqwa bisa kita terwujud pada diri kita menjadi orang-orang yang bertaqwa yang balasannya kita di garasnsi akan menjadi orang yang bahagia, juga akan dijadikan solusi dari segala masalah dan diberikan rezeki yang tidak kita duga dan tidak kita sangka-sangka. Mudah-mudahan puasa kita selama ini mendapatkan barakah dan rido Allah SWT sehingga betul-betul kita menjadi sosook yang Mutaqqin dimata Allah SWT.

Wallahul muafiq illa aqwammi thariq
Wassalamuaalikum. WRWB.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *