Dilema PPDB: Antara Pemerataan dan Ambisi Orang Tua

Praktisi Pendidikan Sukabumi, Sri Sumarni, MSi
Sri Sumarni, MSi (Praktisi Pendidikan/Dosen IMWI/Redaktur Radar Sukabumi)

Oleh: SRI SUMARNI, MSi
(Praktisi/Dosen IMWI/Redaktur Radar Sukabumi)

Banyak cara dilakukan oleh orang tua demi anak-anaknya, dari yang mempersiapkan masa depan dengan sebaik-baiknya dengan harapan kelak anak tersebut mampu menjadi kebanggan keluarga.

Bacaan Lainnya

Namun yang disayangkan, terkadang jalan di tempuh melenceng dari koridor yang ada, sehingga yang terjadi justru sebaliknya. Jangankan menuai harapan, yang terjadi justru masa depan anak diambang ketidak pastian.

Fenomena yang hari ini masih menjadi banyak perdebatan banyak pihak adalah Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang dilaksanakan secara online.

PPDB online merupakan sistem layanan online yang disediakan, dalam rangka memudahkan proses pendaftaran masuk sekolah bagi peserta didik baru. Fenomena masalah PPDB online ini muncul dan banyak menuai kontroversi adalah PPDB sistem zonasi.

PPDB sistem zonasi ini dilaksanakan sesuai dengan Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 yang menyatakan bahwa sekolah menerima calon siswa atau peserta didik yang berdomisili di radius zona terdekat dengan sekolah tersebut.

Sebagaimana disampaikan oleh Muhadjir Effendy saat masih menjabat sebagai Mendikbud menyampaikan, sistem zonasi ini merupakan upaya pemerintah dalam hal pemerataan kualitas pendidikan di berbagai penjuru daerah di Indonesia.

Selain itu, para calon siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata dalam hal akademik, akan menyebar dan tidak berkumpul di beberapa sekolah yang sering disebut masyarakat sebagai sekolah-sekolah unggulan di daerah tersebut. Harapannya adalah semua sekolah harus jadi sekolah favorit.

Idealitas akan PPDB sistem zonasi dari pelaksanaan pertama kali tahun 2017,sebenarnya sudah menuai kontroversi di masyarakat. Terutama jika dilihat dari wilayah domisili peserta didik yang sebenarnya.

Tidak sedikit upaya orang tua untuk memaksakan anaknya masuk dalam suatu sekolah yang dianggap favorit, meskipun jika dilihat dari zona wilayah sudah tidak memungkinkan atau jarak tempat tinggal dengan sekolah tersebut di luar kewilayahannya.

Fenomena PPDB sistem zonasi dengan menghalalkan segala macam cara, terutama dengan pembuatan Kartu Keluarga (KK) yang tidak sesuai dengan tempat domisili sangat mendominasi. Tentu ini sangat mengkhawatirkan semangat pemerataan pendidikan dan semangat semua sekolah favorit sirna dan mencederai pendidikan nasional.

Realitas Lapangan Praktik PPDB Jalur Zonasi

PPDB sebenarnya bukan hanya sistem atau jalur zonasi saja, melainkan ada jalur afirmasi dan jalur prestasi. Jika tahun-tahun sebelumnya banyak dipergunjingkan adalah jalur afirmasi, yaitu di mana jalur ini dikhususkan bagi peserta didik yang berasal dari keluarga kurang mampu yang tentu saja dibuktikan dengan adanya surat keterangan dari instansi pemerintahan yang sah, berupa surat keterangan tidak mampu.

Nah disinipun banyak ditemukan peserta didik yang berlatar belakang dari keluarga mampu memaksanakan diri mencari surat keterangan tidak mampu dari kantor kelurahan atau desa setempat.

Tahun ini 2023, yang mencuat dan banyak perhatian dari masyarakat terutama orang tua peserta didik adalah tidak sedikit yang memaksakan diri mendaftarkan anaknya melalui sistem zonasi, namun bukan dari wilayah domisili terdekat dengan sekolah.

Berbagai cara dilakukan supaya anaknya bisa diterima masuk sekolah yang diinginkan, yaitu dengan memalsukan atau membuat KK dengan menggunakan alamat yang dekat dengan sekolah tersebut.

Di Sukabumi sendiri, kasus demikian juga muncul terutama untuk jenjang SMA, yaitu sekitar 33 peserta didik harus mengubur impiannya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Kebanyakan sebagaimana diberitakan di beberapa media online dan cetak berhubungan dengan masalah kartu keluarga (KK). KK dianggap bermasalah, mulai dari pembuatannya yang belum genap mencapai 1 tahun, antara domisi dengan KK berbeda.

Dari berbagai kejanggalan ini, tentu saja yang dirugikan sebenarnya peserta didik sendiri yang terkadang hal ini tidak disadari para orang tua.

Memang sudah betul, pasti setiap orang tua menginginkan anaknya belajar di tempat yang mereka anggap paling baik dan terkadang memaksakan kehendak pada anak untuk mengikuti keinginannya. Tentu saja secara psikologi hal semacam ini tidak baik bagi perkembangan anak. Kasihan anak yang harus menanggung beban hanya untuk mengikuti keinginan orang tuanya.

Jika dirunut lebih jauh dan seandainya untuk mencari pembenaran, siapakah yang paling bertanggung jawab dan siapakah yang pantas untuk disalahkan? Begitu kira-kira pertanyaaan akan sengkarutnya persoalan PPDB, meskipun sudah lebih dari lima tahun berjalan. Setiap tahun banyak menjadi sorotan ya sebenarnya di sekitar itu-itu saja.

Salah atau benar, sebenarnya bukan hal yang urgent lagi kalau pembenaran sepihak dan mencari-cari kesalahan siapa, karena yang paling urgent saat ini adalah bagaimana semua komponen yang terlibat baik langsung atau tak langsung mau membenahi dan menutupi kelemahan yang ada.

Pemerintah dalam hal ini penanggung jawab pelaksanaan maupun instansi lain terkait harus serius berbenah demi perbaikan, terutama kualitas pendidikan menuju Indonesia Emas 2045.

Begitu juga dengan masyarakat juga harus mempunyai kesadaran bahwa memaksakan dengan berbagai cara itu tindakan yang keliru dan melanggar aturan yang ada. Semua pihak harus mampu berbenah diri dan mempunyai persamaan persepsi bahwa kualitas pendidikan dapat tercapai jika mampu bekerja sama dan gotong royong.

Untuk itu perlu ada beberapa langkah yang harus dilakukan supaya tragedi PPDB jalur zonasi tidak terulang lagi di masa yang akan datang, seperti:

1. Perlu dilakukannya sosialisasi aturan dan tata cara PPDB secara masih sampai ke tataran masyarakat yang paling bawah.

2. Pemerintah daerah dalam hal ini dinas pendidikan daerah selaku pelaksana PPDB perlu membuat aturan yang jelas bagaimana mekanisme pelaksanaan PPDB, baik jalur afirmasi, jalur prestasi, dan maupun jalur zonasi.

3. Perlu adanya perimbangan sarana dan prasarana bagi sekolah negeri, hal ini untuk menghapus stigma sekolah favorit dan non favorit.

4. Jumlah sekolah, khususnya sekolah negeri yang tidak berimbang antar jenjang. Di mana dari SD dan SMP lebih banyak jika dibandingkan dengan SMA/SMK Negeri. Akibat dari ketidak berimbangan ini, menyebabkan daya tampung sekolah di jenjang atas tidak memenuhi lulusan jenjang di tingkat SMP.

5. Perlu diperketat kembali administrasi kependudukan. Mungkin hal ini juga dilematis kalau masyarakat mau mengurus data kependudukannya. Tapi memang hal ini perlu selain untuk lebih tertib data kependudukan juga untuk mengantisipasi terjadinya penyalahgunaan, seperti dalam PPDB seeprti sekarang ini.

6. Perlu adanya sanksi yang jelas bagi siapapun yang berusaha untuk bermain curang dalam pelaksanaan PPDB. (*)

Pos terkait