Ketika ‘Metani’ Menjadi Budaya Organisasi, Apa Imbasnya Bagi Harmonisasi?

Sri Sumarni M.Si, Redaktur Radar Sukabumi, Praktisi Pendidikan Kota Sukabumi & Dosen IMWI
Sri Sumarni M.Si, Redaktur Radar Sukabumi, Praktisi Pendidikan Kota Sukabumi & Dosen IMWI.

Oleh: Sri Sumarni
(Redaktur Radar Sukabumi, Praktisi Pendidikan Sukabumi & Dosen IMWI)

Mendengar kata metani, pasti asing di telinga orang-orang Sunda, namun bagi orang Jawa mendengar metani langsung mucul dalam pikiran, yaitu mencari kutu rambut (tumo – Jawa). Ya, metani berasal dari kata bahasa Jawa, dalam Kamus Bahasa Jawa, metani berasal dari kata dasar petan, yaitu cari kutu rambut. Jadi metani adalah mencari kutu rambut.

Bacaan Lainnya

Kegiatan metani itu, kalau di Jawa biasanya dilakukan saat mereka senggang, tidak ada kerjaan, atau karena pekerjaan rumah sudah selesai. Sehingga, dari pada tidak ada kegiatan, mereka iseng-iseng berkumpul dan berbincang asik sambil mencari kutu temannya.

Dikarenakan mungkin terlalu asik mereka berbincang sambil mencari kutu rambut, terkadang muncul pembicaraan yang seharusnya tidak diperbincangkan, seperti menjelekkan orang lain, membicarakan aib orang lain, bergunjing banyak hal lainnya. Bahkan bagi yang sudah menjadi kebiasaan, terkadang keluarga sendiri menjadi bahan gunjingan. Akibatnya, jika hal ini berlangsung lama, maka yang muncul justru fitnah dan prasangka buruk kepada orang lain. Kalau sudah seperti itu, masyarakat pasti timbul keresahan dan saling curiga satu dengan yang lain.

Metani sebenarnya bukan hanya mengandung makna yang jelek, namun jika ditelaah lebih dalam, metani dapat menjadi alat kontrol sosial organisasi. Kenapa bisa? Penulis mencoba untuk mendalami kata metani dari sisi bagaimana jika suatu budaya metani ini sudah menjalar dalam tubuh organisasi.

Pasti kita mengetahui seberapa besar kutu yang ada di rambut kepala, sangat kecil, sangat susah dilihat dan dicari. Karena selain kecil, warnanya juga sama dengan warna rambut kepala, yaitu hitam. Saking kecilnya, jika dicari dengan serampangan tidak akan ketemu, dengan ketelitian, kesabaran, bahkan perlu skill tersendiri untuk dapat menemukan bahkan mengambil kutu dari sela-sela rambut kepala.

Lantas apa konteksnya jika dihubungkan dengan organisasi? Harus kita sepahamkan dulu bahwa organisasi itu bukan hanya sekadar simbol yang berupa tulisan susunan orang-orang dengan berbagai kedudukan. Namun lebih dari itu, meminjam istilah dari Koontz dan O’Donnel, memberikan pengertian dari organisasi itu adalah pembinaan hubungan wewenang dan dimaksudkan untuk mencapai koordinasi yang terstruktural, baik secara vertikal, maupun secara horizontal di antara posisi-posisi yang telah diserahi tugas-tugas khusus yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan perusahaan.

Jelas apa yang dikemukakan dengan organisasi diatas menunjukkan bahwa adanya suatu pembagian yang jelas antar wewenang antara satu dengan yang lain, sehingga kesinambungan dapat berjalan dengan baik dan benar sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.

Demikian juga dengan apa yang dikemukakan oleh Poerwadarminta, menegaskan bahwa organisasi adalah susunan dan aturan dari berbagai bagian (orang atau kelompok) sehingga menjadi satu kesatuan yang teratur dan tertata.

Janu Murdiyamoko & Citra Handayani, Pengertian organisasi adalah sebuah sistem sosial yang mempunyai identitas kolektif secara tegas, program kerja yang jelas, prosedur dan cara kerja, serta daftar anggota yang secara terperinci.

Oganisasi bukan hanya sekumpulan orang-orang semata, namun organisasi mempunyai identitas yang jelas, mempunyai dasar hukum, program yang jelas, maupun cara kerja yang jelas pula. Organisasi mempunyai tujuan yang pasti, sasaran yang tepat, serta mempunyai strategi dalam menggapai tujuannya. Kalau suatu perusahaan contohnya, didalamnya mempunyai banyak departemen atau susunan kepengurusan personalia yang jelas, siapa manajemen, dan siapa yang diatur. Keduanya harus mampu berjalan seiring dan seirama sesuai tupoksinya masing-masing.

Bagaimana Metani Berimplikasi pada Organisasi?

Keharmonisan banyak orang mengatakan kunci dari keberhasilan organisasi mencapai tujuan, meskipun juga masih banyak faktor lainnya yang mendukung keberhasilan organisasi tersebut. Ya, harmonis itu terjadinya suatu ikatan yang selaras antar anggota agar tujuan yang terkandung di dalamnya tercapai secara maksimal dan meminimalisir terjadinya kesalahpahaman fatal yang mungkin terjadi.

Harmonis tentu tidak menafikkan juga friksi dalam organisasi terjadi, karena apa? Bagaimanapun yang namanya kumpulan orang banyak, pasti juga mempunyai pemikiran yang beragam juga. Namun seni dalam mengendalikan dan meminimalisir serta seni mencari solusi itulah yang mengakibatkan nuasa harmonis mampu terbentuk.

Hubungan antar anggota organisasi yang terjalin dengan harmonis akan membuat tubuh kuat dari berbagai penyakit yang menerpa. Yang namanya organisasi harmonis tentu saja membuat nyaman para anggotanya, hubungan yang baik antar anggota akan menjadikan kerjasama yang baik pula.

Harmonisi ibarat suatu kawanan burung atau sekuadron tempur yang terbang dengan formasi V sempurna, supaya tidak saling tabrakan membutuhkan strategi yang jitu.

Dalam konteks organisasi, “harmonis merupakan fokus”, artinya dari atas sampai ke bawah segala sesuatu berhubungan seefektif dan seefisien mungkin, sehingga mendapat hasil maksimal dengan masukan sesedikit mungkin.

Nah sekarang, dengan berbagai pola kepemimpinan dan strategi dalam mengelola sumber daya manusia (SDM) dalam organisasi tersebut mempunyai berbagai konsekunsi antara berhasil atau gagal?. Berhasil berarti organisasi mampu berjalan dengan baik dan jika gagal maka semua akan mengalami kemunduran dan diambang kehancuran.

Disharmonisasi dalam tubuh organisasi terkadang muncul, akibat terabaikannya budaya organisasi yang kurang baik, salah satunya banyak anggota yang membicarakan sesuatu kebijakan di belakang, karena mungkin saja kurang berani untuk mengungkapkan atau memang sengaja kondisi yang diciptakan, sehingga budaya metani ini menjadi hal yang dianggap lumrah.

Kutu rambut dalam hal ini dianggap sebagai suatu perumpamaan yang bermakna kejelekan, kekurangan, kesalahan, maupun aib orang lain. Jadi konteks metani dalam hal ini adalah mencari-cari, mencari sesuatu yang seharusnya tidak perlu dicari, mencari sesuatu yang sulit dicari.

Bagi orang yang bijaksana dan mampu mengendalikan diri, mencari kesalahan orang lain merupakan suatu kegiatan yang tidak mudah dilaksanakan alias berat dan itu juga berlaku sebaliknya bisa juga sangat gampang dilakukan.

Dalam keadaan sadar atau tidak, terkadang energi habis untuk mencari-cari kesalahan orang lain dengan mengorbankan waktu yang seharusnya digunakan untuk mawas diri. Diri harus rela meninggalkan segala pekerjaan yang seharusnya lebih prioritas hanya untuk memenuhi keinginan pepetan.

Diri harus dengan tegar merasa bangga ketika mampu mengetahui kejelekan, kekurangan, dan aib orang lain. Bahkan, terkadang ada orang yang akan jauh merasa lebih bangga, puas, dan bahagia ketika mampu mengumbar aib orang lain demi kepentingannya sendiri.

Sifat metani jika dibiarkan berlama-lama akan berdampak buruk bagi kehidupan. Bahkan yang paling tragis kedepannya, petan mampu membawa pusaran lahirnya pertengkaran dan perselisihan yang menyebabkan ketidakharmonisan dalam hubungan bersosial, yang muncul saling mencurigai antar anggota organisasi.

Hal yang ditakutkan dari sifat petan adalah terjadinya pertumpahan darah. Tindakan petan yang tak terkendali akan menyebabkan fitnah berantai. Hal ini bisa saja terjadi karena orang yang suka petan akan merasa dirinya berhasil ketika orang lain terbawa dalam opini yang dibangun dan ditebarkannya.

Apabila orang lain turut serta membenci orang yang di petani, lalu mereka akan mendekat dan mengangkat derajat orang yang metani. Kepuasan batin seorang yang suka metani adalah ketika orang lain tergiring, patuh dan tunduk usai mengikuti pagelaran pertarungan wacana yang ditaburnya.

Jika hal demikian sudah membudaya dalam organiasi, berarti kondisi organisasi tersebut sedang tidak baik-baik saja, sebaliknya dalam kondisi kronis dan harus segera diopname supaya mampu ternetralisir atau paling tidak dapat dilokalisir dan tidak menjalar kemana-mana dan bahkan bisa penulis katakan jika memang jalan pintas yang diambil, yaitu dengan amputasi, maka harus dilakukan demi menyelamatkan gerbong organisasi yang lebih besar.

Namun ini tentu langkah ekstrim jika sudah tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh, selagi masih ada jalan yang lebih bijak, manusiawi tentu itulah jalan yang harus dipilih demi keberlangsungan organisasi.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *