Ketika ‘Cacat’ Etika Mengiringi Perjalanan Politik

Sri Sumarni, M.Si (Redaktur Radar Sukabumi, Dosen IMWI Indonesia dan Pemerhati Kebijakan Publik)
Sri Sumarni, M.Si (Redaktur Radar Sukabumi, Dosen IMWI Indonesia dan Pemerhati Kebijakan Publik)

Oleh: Sri Sumarni, M.Si
(Redaktur Radar Sukabumi, Dosen IMWI Indonesia dan Pemerhati Kebijakan Publik)

 

Bacaan Lainnya

Untuk menjadi seorang politikus itu harus terbebas dari salah, keliru, atau bahkan tidak boleh bertentangan sedikit saja dengan etika umum. Itulah ekspektasi orang banyak, ketika membicarakan politikus. Apalagi sekarang ini baru ramainya calon pejabat publik bertarung dalam ranah politik dalam kontestasi lima tahunan, yaitu Pemilu.

Bahkan banyak orang menginginkan politikus itu manusia yang sempurna, orang yang baik kepada siapapun tanpa terkecuali. Seorang politikus harus benar-benar mampu menjadi panutan orang lain. Meskipun sebenarnya ini juga bertentangan dengan keberadaan manusia yang sebagai tempat salah dan dosa. Politikus juga manusia yang terkadang mengalami ‘khilaf’ untuk menuruti kemauan pribadi, keluarga, atau kelompoknya.

Ya, politikus secara ideal memang diharuskan mampu menjadi impian dan ekspektasi (harapan,red) masyarakat luas yang keberadaannya bisa diandalkan ketika orang lain membutuhkan, terutama yang berkaitan dengan kepentingan bersama. Dengan kata lain, politikus itu jam kerjanya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, tetapi dibatasi oleh bagaimana penerimaan masyarakat terhadap pribadinya.

Lantas bagaimana dengan seorang politikus yang dalam perjalanannya, dari awal merintis karier sudah penuh dengan intrik dan kontroversi? Apakah seorang politikus tersebut layak untuk dijadikan sebagai panutan? Serta bagaimana dengan politikus yang sudah dianggap ‘cacat” politik oleh sebagaian masyarakat?

Berbagai pertanyaan pasti menggelanyut dalam otak kita sebagai anggota masyarakat yang melihat secara langsung intrik yang dilakukan sebagaian politikus tanah air ini.

Pandangan penulis, harusnya politikus tidak boleh ‘cacat’ etika, politikus harus bersih sebersih-bersihnya dari berbagai kepentingan, baik pribadi, keluarga maupun kelompoknya. Politikus yang sudah dianggap ‘cacat’ etika atau moral oleh masyarakat, pasti dia tidak akan mampu secara maksimal dalam menjalankan kewajibannya.

Apapun yang dilakukan akan banyak orang yang menyangsikan, meskipun dibalik semua itu mempunyai tujuan yang mulia.  Apalagi dalam setiap kontestasi lima tahunan, masyarakat sudah banyak disajikan berbagai tingkah polah politikus demi memuluskan tujuannya untuk menjadi seorang legislator maupun menjadi eksekutif.

Bahkan ironisnya ada yang menganggap semua ini hanya sebagai dagelan politik yang menjadi hiburan semata. Ada yang menganggap apa yang dilakukan oleh politkus itu memang sesuatu yang seharusnya dilakukan, karena memang konstitusi mengharuskan yang demikian.

Kita lihat saja bagaimana para politikus berapai-api mengumbar janji yang terkadang jauh panggang dari api. Itu artinya membuat janji tanpa mempertimbangkan aspek-aspek yang mendukungnya, sehingga yang terjadi pada akhirnya pepesan kosong.

Yang lebih tragis adalah apabila dalam awal perjalanannya sudah dianggap ‘cacat’ etika oleh sebagian masyarakat. Dalam perjalannya pasti akan sangat sulit, lantaran masyarakat sudah terlanjur kurang atau bahkan tidak respek dengan politikus tersebut.

Fenomena yang menarik di panggung kontestasi politik saat ini adalah ketika sang Mahkamah Konstitusi (MK) membuat gebrakan yang membuat polemik dan memunculkan adanya dinasti politik. MK memutuskan salah satu gugatan tentang batas usia capres dan cawapres.

Hingga pada akhirnya memuluskan putra mahkota untuk meniti karir hingga melenggang tanpa hambatan mengikuti jejak sang raja, meskipun harus meniti sedikit level di bawahnya dulu, namun yang pasti hanya menunggu waktu saja.

Nah, itulah yang menjadi pusat perhatian, meskipun dikatakan legal formalnya terpenuhi, namun oleh sebagian masyarakat menganggap sudah ‘cacat’ etika.

Lantas apa itu ‘cacat’ etika? Etika berkaitan dengan tindakan, sikap, atau perbuatan manusia yang dianggap benar. Kalau secara pengertian, etika adalah ilmu yang mempelajari baik dan buruknya, serta kewajiban, hak dan tanggungjawab, baik itu secara sosial pada setiap individu di dalam kehidupan bermasyarakat. Atau bisa juga dikatakan etika itu berhubungan langsung dengan akhlak individu terkait benar dan salah.

Etika adalah  ilmu pengetahuan yang mempelajari problema tingkah laku atau perbuatan individu (manusia). (Aristoteles). Sedangkan menurut Manner and Cutom merupakan pengkajian etika berkaitan dengan tata cara dan adat yang melekat dalam diri individu, serta terkait dengan baik dan buruknya tingkah laku, perbuatan, ataupun perilaku individu tersebut.

Dari sinilah kita memahami dan mulai ada titik terang ketikakan menjawab seribu pertanyaan yang muncul. Berat memang, jika seseorang sudah dikatan ‘cacat’ etika. Karena politikus itu syaratnya bsa mendapat legitimasi dari masyarakat, dapat dipercaya oleh masyarakat, menjadi contoh atas tingkah laku, kepribadian, komitmen dan konsistennya dalam meemgang prinsip.

Berbeda kalau dalam hiutngan sekian tahun saja, antara pernyataannya sudah berbeda dengan sekarang, apalagi pintu sudah dibuka demi menuju istana kekuasaan.

Susah untuk membayangkan bagaimana jadinya ketika seseorang yang dianggap ‘cacat’ etika akan memberikan contoh pada masyarakat. Apapun kebijakan yang dibuat pasti akan banyak mendapat penolakan, disebabkan sudah tidak adanya rasa percaya kepadanya. Justru yang terjadi mayarakat merasa tidak dipuaskan dan tentunya legitimasi hanya secara legal,namun kepuasan dan hati masyarakat hampa.

Jika demikian, upaya mewujudkan bangsa maju, bangsa besar harus tertunda, ekses yang muncul adalah apatisme masyarakat terhadap terobosan yang dilakukan. Apalah arti berkuasa namun mayarakat merasa tidak memiliki pimpinan. Masih untung, jika masyarakat tidak bertindak bar-bar, semau gue, atau semua terserah saya.

Tugas besar membawa gerbong besar bangsa menuju bangsa maju ini menjadi tanggungjawab semua pihak yang sesuai dengan kewajibannya masing-masing.

Secara umum di tahun politik ini semua lapisan stakeholder harus terlibat. Pemerintah menyediakan sarana dan prasarana secara lengkap, membuat aturan sesuai dengan koridor yang ada, mensosialisasikan menyeluruh tanpa pandang bulu, tidak ada pemihakan (netral) dan tidak ada istilah intervensi kesiapapun juga.

Masyarakat sebagai subyek dari kontestasi Februari dan Oktober 2024, justru penulis katakan sebagai penentu paling vital keberhasilan arah bangsa ini. Masyarakat harus mulai membuka kesadaran dan meningkatkan lagi insting politik untuk menentukan yang terbaik dari yang baik, supaya arah kapal besar ini berlabuh dengan benar dan tepat.

Siapapun yang terpilih nanti, jangan jadikan tradisi ganti pemimpin ganti kebijakan. Semua pemimpin itu hanya titipan masyarkat untuk menjadi nakhoda, bertugas membawa penumpang dengan selamat sampai tujuan.
(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *