Mendadak Takwa

Oleh: Handi Salam
*Redaktur di Radar Sukabumi

   SETIAP malam, saya selalu gusar soal iman saya yang kadang naik dan turun. Saat kesusahan dalam menjalani kehidupan saya selalu berdoa kepada Tuhan dengan rasa percaya diri, namun ketika saya bahagia terkadang lupa. Hari ini saya percaya, Tuhan terlalu baik pada saya, besok malah sebaliknya.  Sebagai orang yang penuh dosa, saya selalu berfikir bagaimana saya selalu dekat dengan Tuhan hingga kematian datang menghampiri.

Bacaan Lainnya

Saya rasa pencarian soal Tuhan tidak akan pernah berhenti selama kita hidup didunia ini. Faktanya, ketika saya melakukan dosa, secara tidak langsung saya tidak percaya ada Tuhan yang mengawasi, namun baru setelah terkena musibah baru sadar bahwa Tuhan selalu ada.

Bicara soal keyakinan akan keberadaan Tuhan, saat ini banyak sekali orang yang ‘hijrah’. Tampak nyata, kemanapun kita melangkah terlihat dari banyaknya perempuan yang menutup auratnya. Istilah ‘hijrah’ makin populer dengan banyaknya selebritis, baik pria atau perempuan yang mencari kedamaian melalui agamanya.

Akses untuk memperdalam ilmu agama ‘jaman now’ juga sangat mudah. Selain dari televisi, dengan modal kuota internet yang cukup, dengan gadget, kita tinggal berselancar melalui youtube, facebook, instagram dan media sosial lainnya. Namun, anehnya kemudahan mendapatkan ilmu agama hanya melalui internet yang satu arah, bukan membuat kita tambah pinter, tapi malah bikin keblinger.

Karena komunikasi satu arah, malah jadi bikin orang salah arti. Banyak yang menelan mentah-mentah syiar di internet, tanpa mencernanya dengan baik. Alhasil, semakin pintar tapi berbanding terbalik sama tindakannya yang semakin jauh dari agama.

Saya kadang rindu, jaman dulu untuk mendapatkan ilmu soal agama, harus datang ke tempat ibadah dan mendatangi ustadz, disitu saya bisa interaksi dengan ustadz akan banyak hal. Namun sekarang cukup dengan menggunakan kouta data dimana saja bisa mendengarkan dan menerima ilmu soal agama. Dalam hati saya bertanya, kenapa kondisi ini terjadi, apa penyebabnya.

Minggu lalu tepatnya Hari Selasa (27/3) saya mendapatkan pesan dari teman saya yang berada di Jakarta, bukan karena ingin sebetulnya mengirimkan pesan pada saya, namun karena artikel yang dikirimkan kepadanya membuat tangannya gatal untuk membalas pesan pada saya. Dalam pesannya Bianca (sebutan teman saya red) mengatakan bahwa orang saat ini seakan paling pintar kalau membahas agama, namun nol besar dari segi tindakan yang bersifat pembuktian dari agama.

Gagasan-gagasan soal agama setiap harinya bermunculan di dunia Maya, dibagikan oleh sejumlah orang-orang yang mendadak takwa, namun pembuktian soal gagasan jauh dari kata nyata. Peringatan soal untuk tidak melakukan Korupsi, semakin di ingatkan semakin subur yang melakukannya, sama contohnya dengan gagasan agama yang terus di dakwahkan oleh ustadz ternyata tak membuat orang sadar tetang bagaimana cara beragama yang baik dalam kehidupan, yang terjadi malah terbawa hujatan saling sindir, menyakiti, saling membenci hingga menjatuhkan.

Krisis soal kepercayaan kepada orang mulai turun, saya sendiri juga begitu. Dalam semua agama, saya yakin bahwa tindakan merugikan orang banyak, menyakiti dan menipu serta berbohong adalah dosa. Namun faktanya tindakan itu mau tidak mau adalah santapan sehari-hari. Dan lucunya, meski tau soal dosa tetap saja suka melakukan.

Entah lingkaran setan yang terlalu kuat atau mungkin agama hanya sebatas gagasan dan pengakuan tanpa harus dibuktikan dengan sikap dan tindakan. Tak heran muncullah golongan yang saya bisa katakan ‘Mendadak Taqwa’, yang ingin keseimbangam dalam hidup, duniawi dan ragawi menjadikan agama sebagai topeng kesucian, membagi ilmu, semata-maya ingin di cap pintar, tapi tanpa disadari berlaku bertolak belakang dengan agama yang diyakininya.

Situasi ini tak ubahnya seperti dalam buku ‘Who Rules The Word?’ yang dikarang oleh Noam Chomsky yang menceritakan soal kebanggan negara adidaya Amerika Serikat (AS) yang maju. Dalam buku itu, Amerika selalu berteriak secara lantang soal kebebasan, Demokrasi dan Perdamaian Dunia. Namun apa yang dilakukan dengan kebijakannya kepada negara orang lain jauh sekali dari teriakan yang mereka serukan. Saya suka buku yang diterbitkan Bentang Pustaka tahun 2017 itu, karena penulisnya memasukan banyak jurnal, penelitian, surat kabar dan wawancara dari dua cendikiawan yang pro dan kontra sehingga dapat melihat dua sisi berbeda.

Selain itu, penulis menyampaikan pesan secara seimbang dan mendasar. Berbeda dengan artikel di Internet, dengan sikap para pengelolanya menyangka pembacanya adalah sekumpulan orang bodoh yang tak sanggup mencerna berita-berita yang kompleks, tanpa meninjau penyebabnya. Berita soal kebenaran semakin keras dilontarkan yang hanya berujung hardikan antar kelompok. Hidup rukun damai akibat iman menurut agamanya masing-masing sebetulnya sudah cukup tanpa adanya aturan yang disahkan lagi oleh wakil rakyat, namun faktanya aturan agama tidak cukup.

Saya sebagai penulis yang slebor, melihat sebagian orang saat ini termasuk saya sendiri masih jauh dari apa yang diperintahkan agama. Semakin diketahui soal aturan agama semakin jauh pula cara hidupnya, saat ini gagasanlah yang diutamakan bukan tindakan bagaimana beragama dengan baik itu.  Pada Akhirnya saya berharap orang tidak hanya pintar dalam memunculkan gagasan baik itu di Media Sosial (medsos) atau dalam kehidupan sehari-hari, namun lebih dari itu dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari yang berprilaku santun dengan sesama manusia.

Karena pada dasarnya keimanan seseorang yang beragama bukan hanya dari perkataan saja tapi tindakannya. Orang-orang bisa saja mengaku iman, tapi tindakan tidak bisa membohongi sebuah keimanan manusia. Jangan sampai menunggu seperti nasib Maria Zaitun yang ada dalam Puisi WS Rendra yang berjudul Nyanyian Angsa, baru kita sadar akan kesalahan.

Sebuah keimanan dan ketakwaan tidak akan hadir secara tiba-tiba seperti orang-orang yang mendadak takwa di media sosial, tapi memerlukan proses panjang dan bahkan pahit untuk mencapainya, jika tidak mampu menggali dari dalam sendiri maka harus dicari diluar dengan cara mendatangangi orang yang lebih tau bukan hanya melihat dan mendengar di Internet saja tak cukup, karena jika otak kita tak cukup kuat bisa saja tersesat dijalan yang belum ada ujungnnya. (*/mommy)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *