63 Tahun UUPA 1960: Ketimpangan Penguasaan Tanah dan Konflik Agraria

Dr. Yana Fajar FY. Basori (Dosen Program Studi Adminustrasi Publik FIAH UMMI)
Dr. Yana Fajar FY. Basori (Dosen Program Studi Adminustrasi Publik FIAH UMMI)

Oleh : Dr. Yana Fajar FY. Basori
(Dosen Program Studi Adminustrasi Publik FIAH UMMI)

Percepatan Reforma Agraria Dipandu Hutang

Perkembangan masyarakat dan dinamika permasalahannya mendorong aksentuasi dari masalah agraria (agrarian questions) mengalami perubahan, baik isu akademik yang diangkat, kebijakan yang disarankan maupun dampak politik yang ditimbulkannya.

Tuma (1965) misalnya, menunjukan ‘reforma agraria’ (agrarian reform) dengan pengertian yang lebih luas meliputi land tenure reform dan land operation reform dari sekedar land reform yaitu ‘redistribusi tanah’.

Menurut Wiradi (1984), reforma agraria merujuk pada perubahan struktur agraria yang berkeadilan yang melampaui pengertian land reform. Reforma agraria sejati dicirikan pertama berdasarkan ‘tujuan’ yaitu menghilangkan atau sedikitnya mengurangi ketimpangan struktur/susunan pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan; kedua, ‘program’ reforma agraria adalah bukan ‘kerja rutin’; ketiga, tahapan awal pelaksanaannya bukan ‘sertifikasi’ tanah, yang justru merupakan tahap akhir, tetapi ‘registrasi’ untuk memperoleh gambaran tentang tingkat ketimpangan penguasaan lahan; dan keempat, tanah objek reforma agraria yang utama adalah ‘surplus land’, yaitu luasan tanah yang dipotong dari tanah yang luasnya melampaui batas maksimum yang ditetapkan UU.

Diundangkan pada 24 September 1960, UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau dikenal dengan UUPA menjadi penanda, yaitu: perombakan total dari sistem agraria kolonial Belanda, menyatukan dan menyederhanakan hukum pertanahan terutama yang didasarkan pada hukum adat,serta jaminan kepastian hukum mengenai hak atas tanah bagi rakyat.

Lebih  dari itu, UUPA tidak ditujukan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi, meskipun mempunyai dampak seperti itu. UUPA kemudian diikuti dengan Perpu No.56/Prp/1961, dikenal dengan UU Landreform, serta Undang Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) No. 2/1960 dan PERPRES No. 18/2018 tentang Reforma Agraria.

Praktik reforma agraria berdasarkan UUPA tahun 1962-1965 menunjukkan kesungguhan menyelesaikan mandat konstitusi. Selain bermuatan ideologi, alat reforma agraria dibentuk seperti Panitia Landreform, Pengadilan Landreform, Pendanaan Landreform, Panitia Pengukuran Desa. Pembahasan untuk pelaksanaannya melibatkan ilmuwan untuk memperoleh dukungan teoritik.

Orde Baru perlahan meminggirkan UUPA dengan mengabaikan ketentuan yang tidak sejalan dengan kepentingan Orde Baru, menghapus ketentuan alat perlengkapan reforma agraria, selain menghidupkan stigma komunis bagi pejuang reforma agraria.

Politik agraria ‘tanah untuk rakyat’ (land for the people), dan‘tanah untuk penggarap’ (land to the tiller) yang dijalankan melalui land reform, berubah menjadi sekedar perbaikan administrasi pertanahan dan rutinitas pekerjaan administratif, pemetaan dan pendaftaran sertifikasi tanah, serta memberi jalan bagi kemudahan pengalihan hak atas tanah.

Secara bersamaan legislasi sektoral atas ekstraksi sumberdaya alam mengeluarkan areal tanah yang termasuk dalam kawasan hutan dari ketentuan UUPA sekitar 70% dari total daratan Indonesia.

UUPA 1960 dibajak oleh Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK 1967) danUndang-Undang Penanaman Modal (1967) yang memfasilitasi pemberian ijin usaha pertambangan. Dengan konfigurasi politik-ekonomi seperti itu prinsip’hak menguasai negara’ (HMN) ditafsir-praktekkan sebagai ‘hak memiliki negara’ atau dengan sebutan ‘tanah negara’ dengan maksud ‘hak milik negara’.

UUPK 1967 persis mencerminkan prinsip ‘domein verklaring’ sebagaimana regulasi kolonial tentang Undang-Undang Kehutanan 1927 dan Peraturan Kehutanan 1932. Era demokrasi pasca reformasi, reforma agraria didorong menjadi proyek strategis nasional (PSN) dengan pinjaman Bank Dunia (2015) sebesar 200 Juta Dolar AS untuk ‘mempercepat reforma agraria’ dengan komponen terbesar legalisasi aset tanah dan sertifikasi.

Dalam kedudukan Bank Dunia yang bukan sekedar lembaga keuangan biasa, melainkan lembaga keuangan yang membiayai kegiatan pembangunan dengan disain, formula serta target capaian pembangunan yang ditetapkan oleh Bank Dunia.

Bertujuan mengurangi kemiskinan, juga mendorong pertumbuhan ekonomi dengan memberi kemudahan investasi dalam persoalan tanah dan pengadaan tanah. ‘Mempercepat reforma agraria’, menurut Bachriadi (2019) harus dibaca tidak lagi sebagai program yang menyasar konsentrasi penguasaan tanah, tetapi memperbesar jalan bagi investasi swasta, menghindarkan investasi berhubungan dengan masyarakat yang mempertahankan tanahnya, serta menjadikan tanah sebagai komoditas yang dapat menggerakkan perekonomian perbankan.

Cara pandang yang sepenuhnya berbeda dengan konstitusi dan komunitas petani dan masyarakat adat yang menyuarakan reforma
agraria dijalankan dalam kerangka mengubah struktur penguasaan lahan yang timpang, mengurangi konsentrasi dan rekosentrasi penguasaan tanah, mendorong reforma agraria sebagai dasar pembangunan yang berkeadilan, serta diselesaikannya konflik-konflik agraria yang telah berlangsung sejak Orde Baru berkuasa, hingga hari ini di Rempang, Kepulauan Riau.

Ketimpangan Penguasaan Tanah

Berdasarkan data sensus pertanian pertama tahun 1963, pola penguasaan dan kepemilikan tanah pertanian sangat tidak merata. Rasio Gini (untuk menyatakan kecenderungan ketimpangan pendapatan kesejahteraan atau distribusi tanah) penguasaan tanah (sekitar 12,9 juta hektar lahan pertanian yang dikuasai oleh sekitar 12, 2 juta rumah tangga petani) adalah 0,55 yang berarti tingkat konsentrasi penguasaan tanah juga tinggi. Data sensus pertanian selanjutnya memperlihatkan Rasio Gini penguasaan tanah yang cenderung terus membesar kecuali tahun 1983.

Secara berurutan, 0,70 (1973), 0,64 (1983), 0,67 (1993), 0,72 (2003) dan 0,70 (2013). Amanat UU No. 56/1960 agar setiap keluarga petani memiliki tanah pertanian dengan luas minimum 2 hektar, hingga kini gagal diimplementasikan Pengolahan data BPS, SUTAS tahun 2018, menjelaskan stuktur kepemilikan tanah petani yang sangat timpang. Dari 27,7 juta rumah tangga usaha pertanian (RUTP). 89,1 persen diantaranya hanya memiliki tanah pertanian kurang dari 2 hektar.

Sedangkan prosentase RUTP dengan luas kepemilikan tanah < 0,5 yaitu sebesar 58,7 %; RUTP dengan luas tanah 0,5-1,9 Ha berjumlah 30,4 %; dan RUTP dengan luas tanah 2,0-4,9 Ha sebesar 9,2 %; dan RUTP dengan luas <5,0 Ha berjumlah 1,7 %. Fakta lain ketimpangan ditunjukkan oleh penguasaan tanah skala besar oleh perusahaan besar, swasta atau BUMN. Data yang diolah dari BPS dan Kementerian ESDM (2016) menjelaskan: 65 perusahaan migas menguasai 15,65 juta hektar; 43 perusahaan hutan alam menguasai 7,59 juta hektar; 24 perusahaan hutan tanaman industri menguasai 4,73 juta hektar; 15 perusahaan sawit menguasai 3,16 juta hektar; 20 perusahaan mineral menguasai 2,86 juta hektar dan 40 perusahaan batu bara menguasai 1,11 juta hektar tanah.

Dominasi RUTP yang memiliki luas tanah kurang dari 0,5 Ha, terkait erat ketimpangan kemakmuran keluarga petani terutama hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H ayat 1 UUD 1945). Hingga 2010, dari 61,2 juta rumah tangga, 44,0 % rumah tangga memiliki luas lantai tempat tinggal kurang dari 50 meter persegi. Pada saat yang sama, 2,3 persen rumah tangga memiliki lantai tempat tinggal lebih dari 200 meter persegi.

Ketimpangan tersebut merefleksikan ketimpangan pendapatan antar kelas sosial yang tinggi. Berdasarkan Gini Rasio distribusi kekayaan di berbagai Negara, Indonesia merupakan negara nomor enam di dunia yang kekayaannya paling tidak merata. Data Credit Suisse menunjukkan, empat milyader paling kaya di Indonesia memiliki kekayaan $ 25 miliar lebih banyak dari total kekayaan 100 juta penduduk miskin yang jika digabungkan hanya mencapai $ 24 miliar.

Orang paling kaya di Indonesia membutuhkan waktu 22 tahun untuk menghabiskan kekayaannya bila ia berbelanja
$ 1 juta per hari. Fakta dan data di atas menggambarkan tanah untuk kaum kapital bukan untuk kaum tani yang berakibat kesenjangan. Sebagian merupakan warisan kolonial, memburuk di era kemerdekaan oleh kapitalisme kroni. Politik ekonomi Indonesia yang bergantung pada ektrasi sumber daya alam dan pengejaran rente dari tanah, membuat akuisisi lahan skala luas oleh korporasi dan alih fungsi tanah pertanian secara massif untuk kepentingan residensial dan industri berjalan.

Berkelindan dengan regulasi yang mendorong praktek komodifikasi tanah yang diperdagangkan semata untuk mengejar keuntungan. Merujuk kemelut Rempang, doktrin kedaulatan rakyat yang menekankan pada hak rakyat untuk mengakses, menggunakan dan mengkontrol tanah untuk menopang kehidupan, menjadi ide yang asing dan sulit dipraktekkan.

Konflik Agraria

Politik agraria Orde Baru yang berlanjut hingga sekarang yaitu tidak menempatkan perombakan struktur pemilikan dan penguasaan tanah melalui reforma agraria, mengakibatkan ketimpangan agraria yang terus bertahan serta kemiskinan, selain memantik konflik agraria. Istilah konflik agraria mengecualikan masalah yang bersifat sengketa (dispute) dan perkara pertanahan biasa, seperti sengketa tanah individual, sengketa hak waris, sengketa tanah antar kelompok perusahaan, atau
antar instansi/lembaga pemerintah.

Konflik agraria dimaknai sebagai situasi agraria dimana terjadi pertentangan klaim hak atas tanah antara dua pihak atau lebih, dan/atau persoalan ketidakadilan agraria yang dialami masyarakat yang disebabkan oleh terbitnya kebijakan/keputusan pejabat publik (KPA, 2023). Catatan Tahunan KPA 2022 menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2020-2022 telah terjadi 660 letusan konflik
agraria pada lahan seluas 2,16 juta hektar. Sedikitnya 14 petani tewas dan 317 orang dipenjara hanya untuk mempertahankan tanahnya. Konflik agraria yang bersifat struktural tersebut merupakan manifestasi terjadinya perampasan tanah masyarakat
oleh badan usaha negara atau swasta, yang difasilitasi oleh instrumen hukum dan disetir oleh kaum kapital. Sebagai masalah struktural, konflik agraria mengakibatkan terancamnya dan/atau tersingkirnya hak-hak konstitusional masyarakat atas sumber-sumber agraria. Termasuk konflik agraria laten atau manifes akibat masih berlakunya sisa-sisa domein verklaring atas tanah dan hutan secara sepihak oleh Negara kolonial dan belum kunjung dipulihkan oleh negara pasca kemerdekaan.

Konflik agraria struktural dialami oleh kelompok petani, masyarakat adat, nelayan, masyarakat agraris dan masyarakat miskin di perkotaan, yang berhadaphadapan langsungdengan klaim-klaim izin dan hak atas tanah oleh kelompok badan usaha dan bisnis (perusahaan). Baik perusahaan milik negara atau pun swasta,serta dengan instansi pemerintahan/lembaga Negara. Konflik agraria juga menunjukkan adanya relasi kuasa yang timpang atas sumber-sumber agraria.

Hegemoni kapital yang diperlihatkan aparatus Negara melalui tindakan represif dilapangan juga ancaman verbal berkontribusi terhadap konflik yang tidak kunjung selesai, selain mempersulit relasi yang demokratis atas sumber-sumber agraria. Konflik yang
terjadi tidak lagi melibatkan antara sesama petani (petani miskin dan tak bertanah dengan petani kaya dan menguasai tanah luas), akan tetapi melibatkan petani yang  menguasai sebidang tanah atau komunitas masyarakat adat dengan badan-badan
usaha milik Negara atau badan-badan usaha milik swasta.

Sejak era Orde Baru konflik agraria lebih banyak disebabkan karena ekspansi perluasan modal untuk menguasai tanah skala luas yang secara hukum mendapatkan legitimasi dari kebijakan agraria yang bersifat eksploitatif dan sektoral, seperti kemelut Rempang
Kepulauan Riau sekarang.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *