Guru Itu Hidupku!

Dudung Nurullah Koswara
Dudung Nurullah Koswara

Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Guru SMA Dan Ketua PB PGRI)

Kadang Saya berpikir agak lebay, adakah guru lebih bangga dari diriku sebagai guru? Rasanya Saya belum menemukan. Ahaa, sebuah kelebayan apa kesombongan? Namun faktanya, sampai saat ini Saya belum menemukan. Mungkin hanya Prof. Dr. Mohamad Surya yang Saya anggap saingan orang yang bangga menjadi guru.

Bacaan Lainnya

Bila ada guru tak bangga menjadi guru sungguh terlalu. Mengapa? Karena profesi guru adalah profesi yang sangat istimewa. Agar bijak Saya katakan profesi selain guru pun terhormat. Namun maaf, semua profesi terhormat itu terkait dengan guru. Tidak ada orang hebat hasil didikan kerbau atau ayam, semua jasa guru.

Mungkin kebanggaan Saya sebagai guru karena Saya sebelum dilahirkan sudah masuk ruang kelas. Orang Barat saat hamil mendengarkan musik klasik. Saya saat dikandung Ibu mendengarkan “musik” brisiknya anak kelas 1 SD. Saya keluarga guru, tak mungkin Saya tidak bangga sebagai guru.

Kakak terbesar Saya pensiunan kepala SD. Adik Saya guru TK. Saudara-saudara Saya banyak guru. Mulai dari guru TK sampai guru SMA. Guru adalah profesi yang Saya impikan sejak kecil. Kalau orang punya agama keturunan, maka Saya punya profesi karena keturunan. Saya turunan guru! Saya bangga menjadi guru!

Berbicara guru, sama dengan berbicara Ibuku, saudaraku, adiku. Bahkan Saya siang malam bertahun-tahun tidur bersama seorang guru. Bahkan Saya dan Istri Saya, seorang guru sering berdoa semoga anak pun menjadi guru. Walau pun tentu tak mudah dan tak bisa dipaksakan.

Kemana pun Saya pergi, ke dunia mana pun Saya bergerak, dan siapa pun yang Saya jumpai serasa mereka semua adalah muridku. Mengapa? Karena mereka pasti punya guru dan guru itu adalah bagian dari jiwa dan tubuhku. Makanya Saya tidak pernah merasa rendah diri bertemu dengan siapa pun, karena siapa pun adalah murid.

Teringat ucapan UAS, Ia mengatakan, “Dihadapan orangtua Sang Anak tidak pernah besar”. Ia akan tetap sebagai anak dan diperlaukan sebagai anak. Walau pun seorang anak sudah jadi Gubernur atau Presiden, Ia tetap anak. Tak pernah besar dihadapan orangtuanya. Orangtua masih lebih ingat memandikan saat bayi dibanding Ia kini menjadi seorang Pemimpin.

Begitu pun bagi Saya semua orang “tetap kecil” mengapa? Karena mereka, siapa pun adalah murid, dan guru tidak pernah merasa mereka sebagai orang lain. Melainkan tetap sebagai murid dan anak didik. Semua orang besar, orang kecil dalam status sosialnya bagi Saya tetap saja semuanya adalah murid. Perasaan Saya mewakili semua guru yang pernah menjadi guru-guru mereka.

Menjadi guru itu serasa menjadi raja. Walau pun sejumlah orang yang wawasan dan etikanya bermasalah kadang memperlakukan guru sebagai manusia biasa. Bahkan dalam sebuah iklan, sinetron dan film guru seolah tampil lugu, bego. Ini sebuah cerita film atau sinetron yang melecehkan guru. Mengapa melecehkan guru? Karena etika dan akalnya budinya rendah.

Wahyu pertama itu Surat al-Alaq ayat 1-5, merupakan wahyu istimewa pada Nabi Muhammad. Kisah Malaikat mengatakan iqra, baca! Perintah baca ini bila dikaitkan dengan dunia guru, persis ketika Sang Guru memerintahkan baca pada anak didiknya. Terutama saat anak didik mendapatkan pelajaran pertama membaca.

Malaikat mendekap Nabi Muhammad saat Ia tak bisa baca. Dekap lagi sampai tiga kali. Ini sama dengan sikap para guru yang bahkan dengan sabar berkali-kali mengajarkan membaca. Bila perlu Sang Guru mendekap muridnya agar bisa baca. Dekapan adalah motivasi dan penguatan. Itulah guru bagai Malaikat yang mengajarkan “membaca”.

Saya masih ingat, saat kelas 1 SD Saya paling kecil dan “anak bawang”. Saya tak bisa baca, Saya hanya pura-pura baca dengan memukulkan mistar kayu kuning pada board hitam berdebu kapur. Saya gak ngerti, apa tulisan di board itu. Kata guru, baca! Saya tak bisa baca! Baru kelas 2 SD Saya mulai lancar membaca. Terimakasih guru!

Sahabat guru dimana pun berada. Beruntungnya menjadi guru. Banggalah menjadi guru. Menjadi guru itu menjadi pribadi kaya raya. Mengapa kaya raya. Memang fakta. Ungkapan bijak mengatakan, “Harta yang paling berharga adalah keluarga” dan setiap anak didik adalah anak dan keluarga. Lebih bangga lagi menjadi guru bila banyak manfaat dan prestasi!. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *