Nasib Pendidikan Anak-Anak Indonesia di Tengah Kebun Sawit Malaysia

Delapan ratusan anak pekerja migran Indonesia di Malaysia tak bisa melanjutkan studi ke jenjang SMA. Wartawan Jawa Pos GUNAWAN SUTANTO ikut mendampingi Mayjen (TNI) Asrobudi yang meneliti akses pendidikan mereka di tengah perkebunan sawit Sabah.

GUNAWAN SUTANTO

KARDUS besar berisi buah tangan itu diangkat seorang pria dari bagasi mobil ke dalam kelas. Dengan cekatan Mayjen (TNI) Asrobudi meraih dan membuka lilitan selotipnya. “Siapa yang ranking I, II, dan III, angkat tangan. Bapak ada hadiah,” ujar Asrobudi.

Dengan malu-malu, seorang anak perempuan yang duduk di bangku depan angkat tangan. Lalu disusul seorang anak lelaki yang duduk di bangku paling belakang, yang berdiri sambil mengacungkan tangan. Mereka peringkat pertama dan kedua di kelas itu. Tapi, belum sempat keduanya maju, Asro -sapaan Asrobudi- rupanya tersadar. “Yang ranking ketiga mana?” tanya pengajar di Lemhannas itu.

Suasana kelas yang dihuni para remaja berusia 15-an tahun itu mendadak hening. Beberapa siswa saling memandang seolah sebagai tanda agar ada yang menjawab pertanyaan Asro. Tak lama kemudian, salah seorang anak menyeletuk, “Sudah tak sekolah, Pak, menikah.”

Mendengar jawaban itu, sontak Asro kaget. Seolah tak percaya. Mantan Dandim Surabaya Selatan tersebut menoleh ke kanan dan kiri mencari sosok Niasari, guru di kelas itu. Asro bertanya kepada Niasari apakah jawaban muridnya benar. Nia -sapaan Niasari- mengangguk dan menjawab persis yang dikatakan muridnya. Asro kembali terdiam. Wartawan koran ini yang ada di samping Asro melihat mata alumnus Akabri 1985 itu berkaca-kaca.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *