Nasib Pendidikan Anak-Anak Indonesia di Tengah Kebun Sawit Malaysia

Cerita di atas didapat Jawa Pos ketika Asrobudi sedang mendatangi Community Learning Center (CLC) Ribubonus. Letaknya di tengah-tengah ladang sawit di Ribubonus Estate, Telupid, Sandakan, Sabah, Malaysia. Ketika itu Asro sedang melakukan penelitian terkait pendidikan anak-anak pekerja migran Indonesia (PMI) di Sabah untuk keperluan studinya di Universitas Indonesia. Dan Jawa Pos mendapatkan kesempatan untuk ikut mendampingi.

Cerita si anak putus sekolah karena menikah di atas hanya satu di antara sekian kisah pilu tentang pendidikan anak-anak PMI di Malaysia. Data yang kami dapat dari Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK), pada 2018 ini ada setidaknya 819 anak lulusan SMP yang tak bisa melanjutkan studi ke jenjang SMK atau SMA. Kebanyakan berserah diri menjadi pekerja ladang seperti para orang tuanya. Tiap tahunnya hal itu selalu terjadi. Hanya angkanya yang berubah. Cenderung naik.

Dari penelitian yang kami lakukan selama di sana, banyak sekali faktor penyebab ketidakberdayaan anak-anak PMI dalam melanjutkan sekolah ke jenjang SMA sederajat. Saling bertautan. Mbulet. Anak-anak PMI di Sabah yang tak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA kebanyakan terganjal status dan regulasi. Ganjalan status dialami karena orang tua mereka yang datang ke Sabah secara ilegal. Mengapa masuk secara ilegal? Kebanyakan menjawab karena ketidaktahuan. Masuk secara ilegal juga dianggap tidak rumit. Hanya butuh keluar uang lebih untuk memanfaatkan jasa tekong.

Keimigrasian Malaysia sebenarnya telah mengatur bahwa tenaga kerja nonprofesional seperti pembantu rumah tangga, buruh konstruksi, pekerja pabrik, dan pekerja di perkebunan atau perladangan sawit tidak boleh menikah. Juga tidak boleh membawa serta keluarganya. Tapi, karena kontrak kerja yang panjang, rata-rata di atas lima tahun, banyak PMI yang membawa istri dan anaknya secara ilegal. Bahkan, ada yang melahirkan anak di Malaysia.

Kalaupun masuk Malaysia secara resmi pun, sebenarnya anak-anak PMI tak bisa mengenyam pendidikan di sekolah kebangsaan (sekolah negeri). Kebijakan itu diberlakukan jiran Indonesia tersebut karena menyangkut subsidi. Negeri penghasil cerita anak Upin dan Ipin itu hanya memberikan subsidi untuk pelajar berstatus warga negara Malaysia.

Jalan keluar terkait persoalan tersebut sudah dibuat sejak 2016, tapi faktanya tak benar-benar bisa keluar dari masalah. Saat itu pemerintah Malaysia dan Indonesia membuat kesepakatan tentang pendirian SIKK. Secara resmi SIKK beroperasi sejak 1 Desember 2008. Pada 22 Desember 2013 SIKK telah memiliki gedung sekolah sendiri.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *