Rocky Gerung; Kitab Suci Adalah Fiksi

Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Ketua PGRI Kota Sukabumi)

Ini tulisan kedua Saya dalam “menyoal” sosok Rocky Gerung. Beliau adalah sosok yang ganteng, cerdas dan terlihat berada diatas pemikiran orang lain. Terutama dalam kajian filsafat. Saya termasuk penikmat filsafat. Dahulu Saya belajar memahami pemikiran Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara. Kini ada sosok baru Rocky Gerung. Kebetulan keduanya beragama Nasrani.

Bacaan Lainnya

Satu “lompatan” pemikiran yang sangat menyengat pekan ini adalah terkait kitab suci. Kitab suci yang ada di negara kita terdiri dari Al Qur’an (Islam), Al Kitab (Katolik dan Protestan), Tripitaka (Hindu), Weda (Budha) dan kitab suci agama lainnya. Rocky Gerung menyebut kitab suci adalah fiksi. Ini satu “lompatan” pemikiran filsafat yang menuai kontroversi.

Rocky Gerung saat ini adalah icon cendikiawan filsafat yang digandrungi publik dan terutama para mahasiswa. Penampilannya yang santai namun memukau dan mendalam terkait filsafat dan politik. Ia sering menyentil, menyengat dan mengkritisi berbagai dinamika saat ini. Politisi, Presiden dan sejumlah lembaga layanan publik mendapatkan kritik pedasnya.

Pada politisi Ia menyentil bahwa mereka saat pencalegan bagai pengemis, meminta-minta suara namun saat sudah dilantik bagai dewa dan raja. Saat sudah terpilih terbalik rakyat seolah menjadi pengemis. Mereka lebih berdaulat padahal rakyat yang punya kedaulatan. Presiden dianggapnya “lebay” terlalu responsip dengan sebuah kaos tagar ganti Presiden. Itu hanya kaos, kaos itu hanya fiksi menurutnya. Bukan fakta dan tidak perlu ditanggapi dengan berlebihan. Kaos #gantiPresiden hanyalah fiksi menurutnya.

Saat ini kritik pedas Rocky Gerung diduga “menabrak” kitab suci. Awalnya Ia mengkritisi dinamika politik yang merusak makna fiksi. Fiksi baginya adalah hal yang baik. Imajinatif dan menyimpan pengharapan yang akan diwujudkan dan menjanjikan perbaikan. Beda dengan fiktif. Fiktif itu sebuah khayalan. Fiksi bagi Rocky Gerung adalah sebuah pengharapan yang baik.

Saat Rocky Gerung mengatakan bahwa kitab suci adalah fiksi. Ini menuai kontroversi pemikiran. Tentu saja kita yang bukan ahli filsafat agak ngeri mendengarnya. Ini identik dengan menganggap kitab suci itu sebuah imajinasi, pengharapan, kompensasi dan idealitas yang akan dituju. Rocky Gerung dengan tegas menjelaskan kitab suci adalah sebuah fiksi. Kita sebagai orang awam dan publik pada umumnya mendefinisikan fiksi sebagai cerita kahayal.

Ungkapan Rocky Gerung yang menyatakan “Kitab Suci Adalah Fiksi” akan dipersepsi publik sama saja dengan mengatakan Al Quran, Al Kitab, Tripitaka dan Weda adalah sebuah cerita khayal. Semuanya imajinatif dan bukan fakta. Publik pun bisa memiliki perspektif bahwa apa yang disampaikan para pendeta, ulama, kiyai, semisal Aa Gym, UAS dan Arifin Ilham sama saja dengan menjelaskan terkait fiksi. Mereka menjadi fisksiawan bukan agamawan.

Ini akan menjadi menarik didiskusiakan. Realitasnya dalam kitab suci banyak fakta. Kitab suci banyak kisah sejarah didalamnya. Al Quran saja kandungan kisah sejarah yang faktual tertuliskan lebih banyak. Termasuk kitab suci yang lain. Rocky Gerung lupa diri. Ia tidak mengerti lebih dalam bahwa dalam kitab suci banyak fakta tidak hanya “fiksi” dalam perspektifnya. Saya guru sejarah dan menyukai filsafat. Rocky Gerung adalah dosen filsafat. Ia mungkin kurang mendalami sejarah.

Bila Rocky Gerung mengeneralisir atau memukul bulat semua kitab suci adalah fiksi, ini tidaklah tepat. Terlalu filsafatis namun tidak historistis. Sejarah itu menolak fiksi. Menolak gosip. Menolak imajinasi bahkan menolak hal-hal ghoib. Sejarah itu mesti rasional, empirik dan berbasis fakta. Nah dalam kitab suci itu banyak fakta sejarah. Bila Rocky Gerung menganggap kitab suci adalah fiksi maka kisah sejarah yang terkait dalam kitab suci dianggap fiksi atau imajinasi. Ini jelas tidak tepat.

Rocky Gerung menyatakan “Kitab Suci Fiksi” dalam acara Indonesian Lawyers Club (ILC) TVOne bertajuk ‘Jokowi Prabowo Berbalas Pantun’, Selasa malam, 10 April 2018. Bagi Saya kitab suci bukanlah fiksi. Hal yang beraroma fiksi justru lebih banyak pada dinamika politik. Politisi bahkan pengamat politik sekaliber Rocky Gerung bisa berargumen beraroma fiksi. Kitab suci jangan diidentifikasi sebagai kitab fiksi. Ia kitab suci. Ia suci dan disucikan.

Bahkan dalam kajian ilmu sosial. Segala sesuatu yang disucikan masyarakat dan sudah menjadi budaya jangan diganggu. Apalagi kitab suci. Nabi Muhammad saja dahulu sangat menghargai keberadaan batu yang sangat disembah kafir Quraisy, yakni batu hajar aswad. Ia sangat hati-hati. Hajar aswad adalah batu kehormatan para kafir Quraisi saat itu. Batu dan air saat itu sangat disembah. Nabi Muhammad sangat memahami itu.

Dalam ilmu sejarah bahkan ada etika kesejarahan. Apa itu etika kesejarahan? Bila sejarawan menemukan fakta sejarah yang ternyata akan mengganggu keyakinan beragama maka sebaiknya “disembunyikan” saja. Hanya untuk kalangan akademisi sejarah atau para sejarawan saja. Sebuah fakta sejarah yang benar dan teruji bila akan mengganggu keyakinan umat beragama sebaiknya disembunyikan. Ini etika. Bila kebenaran sebuah fakta akan menuai kemudahratan sebaiknya disimpan saja.

Rocky Gerung sebaiknya berpikir, bila dalam kitab suci semua agama terdapat kisah sastra. Terdapat artikulasi yang fiksional, jangan pukul rata bahwa kitab suci adalah fiksi. Kitab suci itu disucikan semua penganut agama. Pepatah bijak mengatakan, “Seorang berteriak benar diantara ribuan orang yang menolak kebenaran akan sangat berbahaya. Seorang berteriak salah diantara ribuan orang yang menganggapnya benar juga sama bahayanya.”

Rocky Gerung adalah pribadi pembelajar. Ia adalah sosok yang jujur dan baik. Namun pembelajar, pribadi baik dan cerdas saja tidak cukup dalam memahami perspektif dan keyakinan beragama publik. Saat ini Rocky Gerung diadukan oleh dua orang ke pihak yang berwajib. Negeri ini selalu main adukan. Ini sebenarnya kurang baik. Biarlah kebodohan Rocky Gerung menjadi pembelajaran bagi dirinya tanpa harus dipenjara karena Ia seorang pembelajar. Ahok, Rocky Gerung dan sejumlah orang cerdas sebaiknya tidak menjadi korban main adu.

Saling adu pada hakektnya bukan karena kesalahannya melainkan karena politik. Politik dan politisasi karena dua kekuatan saling berhadapan. Cukuplah Ahok yang jadi korban politik dan politisasi agama. Kecuali, korupsi, kriminal dan kejahatan lainnya yang dilakukan para pejabat layak dipolisikan. Hal berbau perspektif, artikulasi dan filsafat sebaiknya cukup “tabayun” saja. Mari kita hargai pemikiran berbeda jangan dieksekusi. Mari kita eksekusi para koruptor dan pelaku hoaxs saja.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *