Pendidikan Merdeka

kang-warsa

Oleh Kang Warsa

Revolusi kognitif atau pemikiran yang terjadi pada 70.000 tahun lalu telah menempatkan manusia pada piramida tertinggi dalam sistem kehidupan. Revolusi ini berlangsung sejalan dengan pertumbuhan sel-sel otak manusia dan sangat besar dipengaruhi oleh fase kehidupan berburu dan meramu.

Bacaan Lainnya

Asupan nutrisi yang dikonsumsi oleh manusia di masa berburu dan meramu diyakini telah memicu pertumbuhan sel-sel otak manusia. Dalam ilmu sejarah, revolusi kognitif ini telah memindahkan posisi manusia pada apa yang selama ini kita sebut “sapiens”, makhluk berakal.

Pandangan kaum evolusionis nampak tidak selalu sejalan dengan pandangan yang memegang teguh bahwa kehadiran manusia di Bumi bermula dari kejatuhan manusia dari Surga. Walakin, secara kontekstual, kedua pandangan ini dapat dipertemukan atau dikompromikan melalui satu kesepahaman: kehadiran manusia sebagai makhluk berakal di Bumi telah berlangsung melalui proses yang sulit dipahami oleh manusia sendiri.

Bahkan kedua kubu telah sampai pada kesimpulan pengakuan manusia sebagai makhluk cerdas menjadi kesepakatan bersama dan belum terbantahkan. Kedua kubu, antara kaum saintis dengan agamawan sepakat dalam menilai manusia sebagai makhluk mulia yang diberikan anugerah kecerdasan dan dibekali akal pikiran.

Kemunculan pandangan-pandangan tentang kehadiran manusia; sejak kapan manusia pertama menempati Bumi? Siapakah manusia pertama itu?

Bagaimana manusia tumbuh menjadi makhluk cerdas jika dibandingkan dengan makhluk lain di planet ini?

Membuktikan akal manusia lah yang dapat sampai pada pemikiran seperti ini. Di dunia binatang dan tumbuhan kemungkinan besar tidak akan pernah ada satwa dan tumbuhan yang mempertanyakan kehadiran dirinya sendiri. Di dunia manusia tidak demikian. Sudah sejak lama manusia mencari jati diri dengan mempertanyakan kehadiran dirinya di muka Bumi.

Khalifah di Muka Bumi

Kisah Nabi Adam sebagai manusia pertama dapat kita temui dalam kitab suci tiga agama besar; Yahudi, Kristen, dan Islam. Ketiga keyakinan ini memiliki pandangan serupa bahwa Adam diturunkan oleh Allah dari sorga ke Bumi setelah melakukan tindakan mendekati “pohon larangan”, sebagian penganut keyakinan menyebutnya dengan frasa “pohon pengetahuan”. Adam dipandang sebagai khalifah di muka Bumi.

Penerjemahan kata khalifah dari Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia  memiliki beragam penafsiran, sebagian pihak menyebutkan manusia sebagai perwakilan Tuhan yang memiliki kewajiban memakmurkan, menjaga, dan melestarikan Bumi. Dilihat dari akar katanya, khalifah memiliki arti makhluk baru atau makhluk yang dilahirkan ‘belakangan’. Kita harus mengakui secara jujur, makhluk lain lebih dulu menempati planet ini jika dibandingkan dengan manusia bersama peradaban yang menyertainya.

Kompromi yang tepat antara penganut teori evolusi dengan para penganut keyakinan (agama) dapat muncul ketika kita bersepakat kehadiran Adam di muka bumi sekitar 8.000-6.000 tahun lalu bersamaan dengan puncak revolusi pertanian.

Manusia mulai membangun komunitas yang saling berkoordinasi dan ditandai oleh kegiatan domestikasi tumbuhan serta binatang. Domestikasi tumbuhan dan binatang  ini berbanding lurus dengan kesadaran manusia untuk bertahan hidup dan tidak sepenuhnya bergantung kepada alam seperti di masa berburu dan meramu.

Dengan mendiami suatu tempat, membuka lahan pemukiman, dan beralih dari pola hidup nomaden menjadi pemilik suatu kawasan menjadi alasan manusia lebih leluasa dalam berpikir, merenung, dan mencari cara-cara baru dalam menghadapi kehidupan. Peralihan dari nomaden menjadi makhluk yang mampu melakukan koordinasi dengan sesamanya berdampak juga terhadap pertumbuhan populasi manusia dengan beragama ras dan etnis.

Selain dapat melakukan koordinasi, tabiat manusia yang diwariskan oleh leluhur mereka di masa berburu sering membangkitkan sifat agresif yang ada dalam diri manusia.

Era revolusi pertanian membawa manusia pada sikap sabar, memikirkan cara terbaik kapan masa untuk bercocok tanam dengan mengamati tarian alam (melihat pergerakan bintang dan iklim), hingga menghasilkan unsur-unsur kebudayaan tidak akan sanggup melawan komunitas manusia yang cenderung bersikap agresif.

Penyerangan dan perampasan dilakukan oleh komunitas lain terhadap komunitas pertanian dipandang sebagai cara sederhana dan mudah dalam mendapatkan sumber makanan.

Penyerangan dan agresi biasa terjadi dan dilakukan oleh komunitas yang menempati tempat beriklim ekstrim, minim dengan sumber daya alam, dan tidak berbudaya. Orang-orang Barat harus mengakui sejarah mereka merupakan tipikal komunitas agresif yang diwariskan oleh leluhur mereka secara genetika. Kita jarang sekali mendapatkan informasi agresi dilakukan oleh orang-orang dari wilayah yang telah mengembangkan sistem pertanian di daerah subur dan kaya  sumber daya alam terhadap wilayah lain yang gersang dan dingin.

Penemuan perkakas pertanian, tembikar, hunian, dan roda merupakan puncak revolusi pertanian. Kita dapat saja memandang penemuan-penemuan ini tidak sebanding dengan apa yang telah diproduksi oleh manusia modern. Walakin, penemuan barang-barang baru di era revolusi pertanian menjadi bukti kecerdasan manusia terus meningkat. Manusia menjadi lebih terdidik secara mandiri di masa revolusi pertanian ini . Sistem sosial dengan pranata kehidupan diciptakan oleh berbagai komunitas.

Sistem religi dan keyakinan pun diciptakan berdasarkan norma-norma dengan tujuan  menertibkan kehidupan. Ketergantungan terhadap alam telah ditinggalkan namun tidak berarti manusia benar-benar meninggalkan alam sepenuhnya. Mereka harus melakukan kolaborasi dengan alam alih-alih memeras apa yang disediakan oleh alam. Bentuk pemujaan terhadap alam bukan berarti manusia lebih rendah dari alam melainkan bentuk koordinasi nir-realita. Kita sering menemukan kehadiran tokoh spiritual yang dapat melakukan komunikasi dengan alam di masyarakat dulu.

Melalui komunikasi tersebut manusia seperti dapat merayu alam untuk memenuhi apa yang mereka inginkan. Musim kemarau panjang berlangsung di satu kawasan, terjadi kekeringan, dan lahan pertanian hancur, masyarakat memohon kepada tokoh spiritual untuk melakukan komunikasi dengan alam, apa yang diinginkan oleh alam agar hujan segera turun. Upaya-upaya manusia berkomunikasi dengan alam ini lambat laun melahirkan mitologi dan pada perkembangan selanjutnya berpengaruh besar terhadap kelahiran agama-agama yang kita saksikan sampai sekarang. Yuval Noah Harari menyebut hal ini sebagai fase penyatuan manusia melalui penciptaan fiksi dan mitos.

Selama puluhan ribu tahun lalu sampai fase penyatuan manusia melalui fiksi dan mitos, manusia dikendalikan sepenuhnya oleh alam, rasa takut saat mendengar suara guntur, mengendap-endap di belantara gelap di masa nomaden, dan sering mengalami kengerian saat bertemu dengan binatang buas. Manusia benar-benar dikendalikan oleh kondisi dan situasi alam. Pada masa penyatuan atau revolusi ketiga, manusia tetap tidak dapat merdeka dan lepas dari pengaruh alam yang dipindahkan dari realitas ke alam mitos. Jika sebelumnya manusia dicekam rasa takut oleh kehadiran badai, pada masa revolusi ketiga di era mitologi mereka dicekam rasa takut oleh amukan Poseidon, kebencian Hades, sikap sinis Loki, angkara Anggaraka (Mars), sikap iri Amun Ra, kedengkian Set, dan amukan Ahriman. Kengerian ini paling tidak dapat diatasi oleh manusia dengan memuja dewa-dewi yang memiliki sifat baik melalui persembahan.

Para nabi lahir di era revolusi ketiga, mereka mengajak manusia untuk menggunakan nalar dan akal sehat dalam mempersepsi fenomena alam. Semua nabi mengajak manusia kembali kepada sikap merdeka, itulah sebabnya sejak era Noah hingga Muhammad SAW kita mendapati kisah mereka mengajak manusia agar menjadi makhluk merdeka melalui pendidikan yang dilakukan di tempat-tempat sederhana.

Tahun 600 SM, Thales seorang filsuf Yunani memulai gerakan baru agar manusia (orang-orang Yunani Kuno) kembali pada kesadaran baru dan mencoba menerjemahkan alam secara logis. Pandangan Thales menyebutkan air sebagai prinsip dasar segala  sesuatu sebagai bentuk kemerdekaan dalam berpikir mendapatkan cibiran.

Thales tetap mengajak para pemuda Yunani Kuno melalui pendidikan yang memerdekakan mereka dari kungkungan mitologi. Dari pendidikan merdeka ini telah melahirkan para filsuf yang mulai berani mengemukakan hal yang berlawanan dengan mitologi.

Pos terkait