“Kami ingin mendorong kawan-kawan untuk lebih kuat di literasi,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala SLB Branjangan Bintoro, Wahyono mengapresiasi hadirnya Pojok Braille di Museum Huruf. Ini bisa membuat anak-anak penyandang tunanetra merasa diterima di masyarakat, serta menambah wawasan mereka.
Pihaknya kerap mengajak anak-anak melakukan kunjungan ke tempat-tempat umum seperti museum, dengan tujuan untuk mengenal lingkungan sekitar mereka. Ini bisa membuat mereka cepat beradaptasi apabila berada di tempat umum.
“Kalau dia masuk ke sini otomatis bisa membaca dan melihat-lihat, serta belajar seperti orang normal,” tandasnya.
Museum yang dibuka pada pertengahan Agustus lalu ini memang sedikit ‘tersembunyi’. Jika dilihat dari luar, lokasi ini sama sekali tidak mencerminkan sebuah bangunan bersejarah, apalagi sebagai sebuah museum. Justru tempat yang berada di Jalan Bengawan Solo ini lebih dikenal sebagai tempat nongkrong anak-anak muda.
Pemahaman mengenai aksara Nusantara ini juga menjadi salah satu program pengelola museum. Ade ingin mengajak generasi penerus untuk bisa membuka jendela melalui penulisan aksara. Banyak orang Indonesia yang tidak mengetahui aksara apa saja yang ada di Indonesia.