Warisan Budaya Tak Benda Bernama Galendo

Galeno
Lia memasukkan galendo ke dalam kemasan di rumahnya di Ciamis sebelum dikirim ke pemesan.

RADARSUKABUMI.com – Galendo kudapan khas Ciamis berbahan dasar kelapa. Namun, mencari galendo kini tak semudah dulu, termasuk di wilayah asalnya.

SAHRUL YUNIZAR, Ciamis

Bacaan Lainnya

SAMPAI dengan beberapa tahun lalu, masih banyak dijumpai produsen galendo di Kelurahan Cigembor, Kabupaten Ciamis. Lia, salah seorang pembuat, masih ingat betul kampungnya rutin mengadakan acara tahunan bertema galendo.

Dia dan pembuat galendo lainnya pawai keliling kampung sambil membawa aneka kreasi mereka. Tapi, sekarang, jangankan pawai, produsen galendo pun bisa dihitung jari. Di Cigembor, hanya Lia dan suaminya, Nana, yang masih memiliki pabrik kudapan tersebut.

Jawa Pos bertemu dengan Lia dan Nana pada Jumat pertengahan bulan (15/4) lalu. Kami singgah di sela-sela perjalanan menyusuri jalur mudik di selatan Jawa. ’’Dulu masih ada 17 pabrik di Cigembor, sekarang tinggal punya saya,’’ ungkap Lia menggunakan bahasa Sunda.

Cigembor merupakan sentra pembuatan galendo. Letaknya tidak jauh dari pusat Kota Ciamis, Jawa Barat. Awalnya masyarakat setempat membuat galendo untuk konsumsi pribadi. Tidak diproduksi massal apalagi dijual.

Alasannya sederhana, bahan baku galendo di Cigembor melimpah. Kelapa adalah bahan utamanya. Secara sederhana, galendo diolah dari kelapa yang tidak terlampau muda dan tidak terlalu tua.

Cara mengolahnya juga mudah. Setelah dikupas, kelapa diparut kemudian diperas sampai benar-benar kering. ”Dulu semua pakai tangan dan kaki, sekarang pakai mesin,” ucap Lia.

Lantaran rumah dan pabrik galendo milik Lia menjadi satu, kami bisa melihat langsung pabrik tersebut. Letaknya berada di bagian belakang rumah. Berdekatan dengan dapur milik Lia dan keluarganya. Di tempat pembuatan galendo itu, ada mesin parut kelapa, mesin pres, dan tungku.

Di samping tempat pengolahan galendo tersebut, Lia menyimpan stok kelapa. Saat kami datang, jumlah kelapa yang tersedia sangat banyak. Meluber sampai ke luar pabrik. ”Kebetulan lagi banyak memang kelapanya,” kata Lia.

Bersama suaminya, sudah lebih dari 25 tahun Lia memproduksi galendo. Keduanya memilih bertahan meski produsen galendo yang lain tumbang satu per satu.

Bukan karena galendo yang mereka buat bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah dalam jumlah banyak. Tapi, lebih karena penganan tersebut sudah jadi warisan turun-temurun.

Dari kakek-nenek sampai kedua orang tuanya. Galendo pula yang selama ini membantu menopang kebutuhan keluarganya.

Belum lama galendo dijadikan sebagai warisan budaya tak benda oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Namun, kabar itu tidak sampai ke telinga Lia. Yang dia tahu hanya membuat galendo setiap ada pesanan.

Ya, Lia tidak menjual galendo ke pasar. Dia juga tidak menitipkan galendo ke toko oleh-oleh di Ciamis. Cara jualan Lia benar-benar sederhana. Dia hanya menjual galendo kepada konsumen yang datang ke rumah. ”Sudah tahu semua kalau mau beli galendo ke sini,” imbuhnya.

Bukan jemawa, pola itu memang sudah lama dia terapkan dan dia pertahankan. Termasuk urusan merek, galendo buatan Lia tidak diberi label. Juga tidak dikreasikan dengan tambahan rasa tertentu. Lia mengakui ada produsen galendo lain yang sudah menambahkan aneka rasa. Misalnya galendo rasa cokelat. ”Di sini rasa aslinya saja,” ujarnya.

Hanya ada dua varian galendo yang dibuat dan dijual oleh Lia. Yang pertama galendo kering, yang kedua setengah kering. Galendo kering bisa bertahan sampai empat bulan tanpa lemari pendingin. Sementara yang setengah kering harus lebih cepat dikonsumsi. Kedua varian itu punya rasa yang mirip.

Bedanya hanya di tekstur. Galendo kering lebih crunchy, sementara yang setengah kering mirip dodol. Karena berbahan dasar kelapa, rasa kelapa pada galendo sangat kental. Murni. Apalagi galendo buatan Lia tidak dicampur rasa-rasa lain. Selama pandemi Covid-19, pesanan galendo yang datang kepada Lia memang turun. Namun, tidak sampai membuat dia gulung tikar.

Lia masih bisa memproduksi galendo setiap hari. Dia juga masih sanggup membayar upah seorang tetangga yang membantu membuat galendo di pabriknya. Harapan Lia ke depan tidak muluk. Dia hanya ingin galendo tetap ada. Tidak sampai hilang. Dia percaya banyak yang bisa membuat galendo. Namun, yang bersedia memproduksi dalam jumlah banyak bisa dihitung jari.

Dia berkata demikian karena sudah menyaksikan sendiri bagaimana rekan-rekan sesama produsen galendo memilih mundur. Menutup pabrik dan beralih ke usaha lain. Galendo boleh jadi belum masuk daftar makanan yang langka. Namun, bukan perkara mudah pula mencari galendo. Bahkan di kota asalnya.

Di sepanjang jalan menuju dan keluar dari Ciamis, hanya sedikit toko yang menjual galendo. Kami hanya menemukan satu toko. Saat bertanya kepada masyarakat setempat, kami diarahkan ke dua tempat. Salah satunya pabrik milik Lia. Tempat lainnya adalah toko yang sempat diceritakan oleh Lia menjual galendo dengan aneka rasa. ”Di sana juga kadang pesan galendo aslinya dari sini,” ucap Lia.

Sebagai makanan khas, galendo sebenarnya punya potensi besar. Sebab, tidak ada yang terbuang dari bahan baku galendo. Kulit kelapa bisa dipakai sebagai bahan bakar tungku. Batoknya untuk arang. Sementara hasil perasannya jadi minyak kelapa. Khusus dari pabrik Lia, sudah ada pembeli tetap minyak kelapa yang dihasilkan dari produksi galendo. ’’Orang Bandung sama Cianjur yang ambil,” tuturnya.

Selain dijual, sesekali minyak kelapa itu dia pakai. Memproduksi galendo, kata Lia, secara otomatis menghasilkan minyak kelapa. Kedua produk itu sama-sama bisa dijual dan laku di pasaran. Bahkan harga minyak kelapa cukup tinggi.

Fadly Rahman, sejarawan Universitas Padjadjaran, menyampaikan bahwa galendo di Ciamis tidak lepas dari melimpahnya kelapa di daerah tersebut. ”Galendo itu sangat identik dengan wilayah Ciamis, wilayah yang memang secara historis itu memiliki produksi kelapa yang terpenting dan terbesar di Jawa Barat,” imbuhnya.

Sejak masa kolonial, dia menyebut, Ciamis sudah dikenal sebagai penghasil kelapa. Tidak heran, di sana kemudian muncul makanan khas berbahan dasar kelapa.

Fadly menyebut, galendo muncul lantaran masyarakat Ciamis tidak ingin ampas kelapa terbuang sia-sia. Surplus kelapa dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk membuat kudapan baru. ”Ampas kelapa itu yang dimanfaatkan supaya tidak terbuang. Kadang suka dijadikan sebagai teman makan nasi,” jelasnya.

Lama-kelamaan, makanan itu kemudian menjadi identik dengan Ciamis. Hingga menjadi makanan khas. Dan kini jadi warisan budaya tak benda. Dari konsumsi lokal, galendo berkembang dan dikonsumsi oleh lebih banyak orang.

Bahkan, saat Bung Karno menggelar Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung, galendo menjadi salah satu makanan yang dihidangkan kepada seluruh tamu negara. ”Galendo salah satu menu dari banyak kudapan. Karena memang saat itu Soekarno obsesinya adalah menyuguhkan kudapan khas Nusantara,” jelas Fadly.

Galendo termasuk salah satu makanan yang tersaji di atas meja delegasi dari berbagai negara. Dia yakin galendo jadi warisan budaya tak benda bukan tanpa sebab. Menurutnya, pemilihan galendo pasti sudah melalui pertimbangan yang panjang.

Yang jelas, galendo memang sudah menjadi makanan khas di Ciamis. Secara kolektif masyarakat di sana sepakat dengan hal itu. Pun demikian dengan masyarakat Jawa Barat. ”Dan orang sudah mengidentifikasi kalau kita mau jalan-jalan ke Ciamis salah satu oleh-olehnya adalah galendo. Artinya memang ada kedekatan atau kelekatan dengan budaya kuliner lokal,” bebernya.

Sementara, bila melihat dari ketetapan UNESCO, Fadly menyebut, galendo juga sudah memenuhi syarat. Yakni, kelapa sebagai bahan dasar untuk membuat galendo melimpah di Ciamis.

Bahkan jumlahnya berlebih. Karena itu, galendo pantas dijadikan sebagai warisan budaya tak benda. Setelah keputusan itu diambil, yang jadi pekerjaan rumah adalah memastikan galendo tidak langka atau bahkan punah. (*/c17/ttg)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *