Kisah Inspiratif Susi, Guru TK di Kupang, NTT

Menjadi guru memang panggilan hatinya. Setelah lulus SMA, Susi sempat mengajar di Subang, kampung halamannya. Kemudian, Susi ikut Didin Wahyudin, suaminya, yang menjadi guru PNS di Kupang. ”Suami yang mendorong untuk kuliah di Universitas Terbuka,” tutur ibu dua anak itu.

Berkat pengabdiannya, tahun lalu Susi mendapat anugerah sebagai guru TK berprestasi tingkat nasional dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Susi tidak menyangka bahwa dirinya bisa meraih penghargaan tersebut. Awalnya, dia hanya coba-coba.

Susi mengikuti seleksi mulai tingkat kota. Dia jadi juara. Begitu juga di tingkat provinsi. Akhirnya, Susi berangkat ke Jakarta. ”Saya hanya ingin ke Jakarta biar ketemu guru se-Indonesia. Pasti ada ide mengajar yang bisa saya contoh,” tutur dia.

Dia membikin karya tulis tentang pentingnya melatih kreativitas anak lewat menggambar. Karya tulis yang berdasar pengalaman sehari-hari itu menjadi kuncinya menjadi guru berprestasi. Dia melihat bahwa anak usia TK suka menggambar. Kegiatan tersebut berbeda dengan baca-tulis-hitung (calistung). Aktivitas menggambar, menurut Susi, bisa melatih motorik halus anak. Terutama saat anak diajari cara memegang pensil warna, krayon, atau alat warna lain.

Tidak hanya ke Jakarta, berkat pengabdian tulusnya, Susi mendapat hadiah ke Denmark. Ada 32 guru dan tenaga pendidik lain yang diberangkatkan ke negara itu. Susi dan rombongan berangkat pada 27 Oktober lalu. Mereka tinggal di sana hingga 12 November. Susi merasa beruntung karena mendapatkan banyak ide untuk kegiatan mengajarnya. ”Di sana, sama rata antara guru dan siswa. Guru memotivasi untuk berinovasi,” terang dia.

Murid-murid TK di Denmark diajari untuk memulai pelajaran dari satu kasus. Mereka lalu dibiarkan untuk menyelesaikan sendiri masalah tersebut. ”Pendidikan anak usia dini itu didesain dengan bermain,” ujarnya.
Karena itu, situasi dalam kelas dibuat menyenangkan. ”Ketika murid di Denmark itu ditanya apakah senang belajar, pasti 90 persen menjawab senang,” jelas dia. Hal itu bermula dari guru. Guru sudah seharusnya menjadi fasilitator.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *