Biksuni Pertama Indonesia Kandidat Doktor

Setelah penahbisan, semangat belajar Thitacarini semakin menggebu-gebu. Tak perlu waktu lama untuk dia menyelesaikan studi S-2. Cukup dua tahun hingga akhirnya dia berhasil meraih gelar master of arts (MA). Tidak hanya tepat waktu, Thitacarini juga menjadi satu-satunya mahasiswa dalam sejarah universitas Buddhis tertua di dunia itu yang berhasil meraih medali perak (summa cum laude) diploma S-2 dan medali emas (summa cum laude) master S-2 secara berturut-turut. ”Kebetulan, ketika diploma dan master di Sri Lanka, saya menjadi satu-satunya mahasiswa yang berturut-turut meraih medali perak dan emas,” jelas Thitacarini.

Berbeda dengan kuliah S-2 di Indonesia, di Sri Lanka beberapa mahasiswa diwajibkan mengikuti diploma S-2 sebelum benar-benar beranjak mengambil gelar master. Lulusan terbaik diploma S-2 diganjar medali perak, adapun master S-2 mendapat medali emas. Setelah tamat S-2, Thitacarini melanjutkan perjalanan hidupnya ke Myanmar. Di sana dia memperdalam ilmu meditasi selama setahun. Setelah itu, dia kembali bergelut dengan buku-buku. Dia mengambil jenjang pendidikan yang lebih tinggi di kampus yang sama.

Kini, dengan dukungan sang guru Nyanasuryanadi dan Kementerian Agama yang mengeluarkan program 100 doktor, dia menjadi biksuni kandidat doktor pertama di Indonesia. Sekali ujian lagi, Thitacarini akan resmi menyandang gelar PhD. Thitacarini sebenarnya tidak membutuhkan gelar-gelar akademis itu. Namun, untuk membantu pendidikan agama Buddha di Indonesia, dia rela berjuang dan menghabiskan waktunya untuk terus belajar. ”Jujur saja, untuk latihan ke-bhikkhuni-an, kita nggak butuh sekolah akademis setinggi itu (S-3, Red). Tapi, kalau kita lihat di lapangan, pendidikan Buddhis sangat tertinggal jauh,” kata Thitacarini.

Thitacarini berharap level kesetaraan pendidikan ilmu Buddha di Indonesia bisa sama dengan agama lain dan tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri untuk belajar. ”Saya berharap suatu saat ada universitas Buddhis yang besar seperti punya saudara-saudara kita dari agama lain,” ujar koordinator penelitian dan pengembangan Sangha Agung Indonesia itu.

Jumat lalu (23/11) langit mendung Jakarta mengiringi Thitacarini menjemput impiannya. Dari Bandara Soekarno-Hatta, dia terbang menuju Kolombo, Sri Lanka, untuk menuntaskan sidang akhir disertasinya.

 

(*/c11/oni)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *