Biksuni Pertama Indonesia Kandidat Doktor

Ayahnya seorang pedagang barang elektronik, sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga yang pernah berkecimpung di bidang salon kecantikan di Bengkalis. Pada 2005 keluarga Thitacarini mendapat cobaan. Kakek yang sangat dia sayangi meninggal dunia. Selama tujuh hari setelah meninggalnya sang kakek, keluarga Thitacarini mengadakan doa bersama yang dipimpin seorang biksu. Sejak itulah Thitacarini bersama keluarga semakin tekun mendalami ilmu agama Buddha.

Setelah menamatkan SMA di Bengkalis, dia melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha (STIAB) Smaratungga di Ampel, Boyolali, Jawa Tengah. Saat itu pula dia menjadi samaneri (calon biksuni). Namanya resmi berganti dari Julia Surya menjadi Thitacarini yang berarti keteguhan dalam menjalani kehidupan.

Tepat pada tahun keempat, Thitacarini menyelesaikan studinya. Dia menyandang predikat cum laude sarjana agama Buddha dengan indeks prestasi 3,87. Tak perlu waktu lama, samaneri Thitacarini meneruskan kuliah S-2 di Universitas Kelaniya, Sri Lanka. Dia mendapat dukungan beasiswa dari umat Buddha Singapura, Majelis Buddhayana Indonesia, dan Perempuan Buddhis Indonesia. Thitacarini yang tidak memiliki kenalan siapa-siapa di Sri Lanka dipertemukan dengan sesama samaneri dari Hongkong, Visuddhicari, yang juga akan ditahbiskan sebagai biksuni.

Untuk menjadi biksuni, seseorang harus memiliki akses untuk menemui perwakilan otoritas atau sangha biksuni setempat. Biksuni harus ditahbiskan oleh seorang biksuni (tidak boleh biksu). Sangha Agung Indonesia (Sagin) saat itu belum memiliki seorang pun biksuni yang ditahbiskan dengan tradisi therawada. Karena itu, belum ada yang bisa memimpin prosesi upasampada atau menahbiskan seorang samaneri menjadi biksuni.

Akhirnya, karma baik memayungi langkah Thitacarini. Penantian lama untuk menjadi biksuni tiba. Pada 12 Mei 2012 di Dekanduwala Dharma Center, Sri Lanka, Thitacarini bersama seniornya Dhammacarini dan Visuddhicari ditahbiskan menjadi biksuni. Saat itu usia Thitacarini masih 26 tahun. Perasaan bangga dan gembira dirasakan Thitacarini. Cita-citanya tercapai. Bak kisah bahagia Tenzin Gyatso, Dalai Lama ke-14 yang baru bisa memasuki wilayahnya setelah lebih dari lima dekade. ”Saya sangat bahagia karena cita-cita saya untuk menjalani kehidupan sebagai seorang biksuni bisa tercapai,” ujar Thitacarini.

Thitacarini tercatat sebagai biksuni pertama dari tradisi theravada Sangha Agung Indonesia. Mengutip situs dhammawheel.com, hanya ada sekitar 1.000 biksuni di seluruh dunia, angka yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan biksu yang berjumlah lebih dari 500.000 orang. Di Indonesia ada tiga kelompok biksuni. Yakni, kelompok Sangha Agung Indonesia, Persaudaraan Bhikkhuni Theravada Indonesia, dan biksuni independen yang tidak terafiliasi dengan organisasi mana pun. Sepengetahuan Thitacarini, saat ini hanya ada 13 biksuni di Indonesia. Itu sekitar 1 persen saja dari jumlah biksuni di seluruh dunia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *