Waspadai Penularan Penyakit Filariasis

PENYAKIT filariasis atau elephantiatis (penyakit kaki gajah) merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang sangat perlu untuk diwaspadai penyebarannya, terutama di wilayah Jawa Barat. Penyakit ini merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh ‘cacing filaria’ yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening yang bisa merusak sistem limfe, menimbulkan pembengkakan pada kaki, tangan, glandula mammae, dan scrotum. Bahkan, bisa mengakibatkan cacat seumur hidup dan stigma sosial bagi keluarga penderita.

Di Indonesia filariasis telah tersebar luas hampir di semua provinsi, berdasarkan laporan dari daerah dan hasil survei pada tahun 2000 dimana tercatat sebanyak 6500 kasus kronis di 1553 desa pada 231 kabupaten atau 26 propinsi. Pada tahun 2005 kasus kronis dilaporkan sebanyak 10.237 orang yang tersebar di 373 kabupaten/kota di 33 provinsi.

Bacaan Lainnya

Di Jawa Barat, sejarah pemunculan kembali penyakit filariasis yaitu pada tahun 1994 yang ditemukan di wilayah Tangerang yang termasuk daerah endemik. Dan kurun waktu 1994 hingga 2002, terjadinya kasus manifestasi klinis filariasis dilaporkan di 11 kabupaten dan kota yang dinyatakan daerah endemik filariasis. Dan pada tahun 2004 terjadi penyebaran kasus klinis filariasis di 19 kabupaten/kota, dan 12 diantaranya tergolong endemis.
Untuk itu, masyarakat kita, khususnya masyarakat Jawa Barat harus lebih berhati-hati akan ancaman penyebaran penyakit filariasis, khususnya diwilayah yang memang tergolong endemis.

Bagi seseorang yang terinfeksi penyakit filariasis umumnya terjadi pada usia kanak-kanak, dimana dalam waktu yang cukup lama (bertahun-tahun) mulai dirasakan perkembangannya. Adapun gejala klinis yang dirasakan ketika terinfeksi, diantaranya;

(1) Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat;

(2) Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit;

(3) Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis);

(4) Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah;

(5) Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema)

(6) Pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti).

Penyakit kaki gajah ini umumnya terdeteksi melalui pemeriksaan mikroskopis darah, Sampai saat ini hal tersebut masih dirasakan sulit dilakukan karena microfilaria hanya muncul dan menampilkan diri dalam darah pada waktu malam hari selama beberapa jam saja (nocturnal periodicity).

Selain itu, berbagai metode pemeriksaan juga dilakukan dalam upaya mendiagnosa penyakit kaki gajah. Diantaranya ialah dengan sistem yang dikenal sebagai penjaringan membran, metode konsentrasi knott, dan tehnik pengendapan.

Adapun metode pemeriksaan yang lebih mendekati kearah diagnosa dan diakui oleh WHO yaitu dengan jalan pemeriksaan sistem “Tes kartu”. Hal ini sangatlah sederhana dan peka untuk mendeteksi penyebaran parasit/larva, yakni dengan cara mengambil sample darah sistem tusukan jari ‘droplets’ diwaktu kapan pun, tidak harus dimalam hari.

Filariasis pada dasarnya disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu; Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori. Cacing ini menyerupai benang dan hidup dalam tubuh manusia terutama dalam kelenjar getah bening dan darah. Cacing ini dapat hidup dalam kelenjar getah bening manusia selama 4 – 6 tahun dan dalam tubuh manusia.

Cacing dewasa betina menghasilkan jutaan anak cacing (microfilaria) yang beredar dalam darah terutama malam hari. Penyebarannya diseluruh Indonesia, baik di pedesaan maupun diperkotaan. Dan nyamuk merupakan vektor filariasis, di Indonesia ada 23 spesies nyamuk yang diketahui bertindak sebagai vektor dari genus; mansonia, culex, anopheles, aedes dan armigeres.

Untuk spesies Wuchereria bancrofti perkotaan vektornya adalah culex quinquefasciatus dan Wuchereria bancrofti pedesaan; anopheles, aedes dan armigeres. Sedangkan spesies Brugia malayi, diantaranya; mansonia sp dan An.barbirostris. Dan spesies Brugia timori adalah An.barbirostris. Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu tergantung dari spesies dan tipenya.

Dalam mengeliminasi penyebaran penyakit filariasis ini diharapkan masyarakat bisa menjaga kebersihan lingkungannya terutama dalam upaya pemberantasan sarang nyamuk dan sumber perindukannya. Upaya yang bisa dilakukan yaitu dengan eliminasi vektor dan perbaikan lingkungan, serta menjaga diri (personal proteksi) dari gigitan nyamuk.

Kemudian dengan meminum obat “anti filariasis”, dan pemutusan rantai penularan dengan cara yang paling efektif yaitu dengan pengobatan masal dengan strategi satu kali per tahun selama 5 tahun berturut-turut.
Dengan memutus rantai penularan penyakit filariasis ini diharapkan penyakit filariasis tidak lagi menjadi masalah bagi kesehatan masyarakat. Dan pada tahun 2020, masyarakat Indonesia sudah terbebas dari penyakit filariasis. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *