Journalis Journey Solidarity Overland Trip 5, Menembus Baduy Jero Jelang ‘Puasa’ Kawalu (2-Habis)

Manager EO Radar Sukabumi, Vega Sukma Yudha
Manager EO Radar Sukabumi, Vega Sukma Yudha (kedua dari kanan) saat disambut oleh warga Baduy dalam.

Tak Buta Huruf Meski Tak Pernah Sekolah, Selalu Taat pada Ajaran Lama Sunda Wiwitan

Warga Baduy Jero tersebar di tiga kampung yakni Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik. Ketiga kawasan itu berada di areal hutan Pegunungan Kendeng, Lebak Banten. Budaya ratusan tahun masih mereka pelihara dengan baik. Modernisasi dunia luar yang begitu pesat, tak lantas membuat mereka tergiur untuk keluar dari ajaran lama, Sunda Wiwitan.

VEGA SUKMA YUDHA, Banten

Bacaan Lainnya

PERUT Kosong kami full terisi. Di dalam rumah Sanip, salah seorang local guide warga asli Baduy Jero, kami memilih bercengkrama dan sebagian tiduran setelah makan siang. Hujan bukannya semakin berhenti. Gerimis di Sabtu akhir Januari itu membawa suasana lain bagi kami yang terbiasa hidup di pemukiman modern. Begitu tenang, sepi dan membuat betah.

Tak banyak fasilitas di rumah setiap masyarakat Baduy Jero. Berukuran segi empat, di dalam rumah yang tak berventilisasi itu hanya ada satu kamar tidur dan dapur. Dari pintu utama, kita hanya akan menemui dapur dan beranda dalam yang dibiarkan ngeblong. Sekat segi empat hanya ada di bagian kamar tidur.

Dapurnya pun hanya ada tungku masak. Jangan bayangkan ada kompor, tabung gas atau kitchen set. Jika malam hari, penerangan hanya dibantu lilin tradisional yang dibuat dari minyak keletik dan kapas yang dibakar. Mereka teguh memegang tradisi tak mau semua modernisasi masuk ke kampungnya.

Aturan adat itu dibimbing langsung oleh tiga pu’un yang memimpin masing-masing kampung. Cibeo dipimpin Pu’un Jahadi, Cikertawana dipimpin Pu’un Dalkin, dan Cikeusik dipimpin Pu’un Euman.

Salah satu hal yang bisa dipelajari dari kearifan tradisi masyarakat baduy baik Baduy Luar maupun Baduy Jero adalah bagaimana mereka bisa hidup harmonis berdampingan dengan alam sekitarnya. Suku Sunda yang masih berpegang teguh pada ajaran Sunda Wiwitan dan amanat leluhur ini pun tinggal di tengah-tengah hutan dan rimba, jauh dari hingar-bingar kota dengan segala macam aktivitasnya.

Perkampungan Baduy Jero dikelilingi 60 kampung Baduy Luar yang dipimpin 7 Jaro alias kepala desa. Ciri khas perbatasan antara Baduy Luar dan Baduy Jero adalah jembatan rawayan yang membelah Sungai Ciujung. Jika sudah melintas jembatan rawayan atau jembatan bambu, maka segala aturan adat istiadat mutlak harus dipatuhi, tidak boleh ada lagi alat-alat atau barang-barang elektronik.

Asyik bercengkrama di kawasan Baduy Jero terkadang membuat sebagian dari tim teledor. Urusan puntung rokok saja. Meski tidak sengaja di buang ke tempat yang disediakan, saya melihat Arda dan Asma langsung memungutnya. Kedua remaja Baduy Jero yang menjadi porter kami langsung inisiatif tanpa diperintah. “Teu meuang ngabala didieu mah pamali,” celotehnya.

Salah satu ajaran yang dipegang di sana adalah Wangsit Baduy yang berbunyi, gunung teu menang dilebur, lebak teu menang dirusak, larangan teu menang direumpak, buyut teu menang dirubah, pondok teu menang disambung, nu lain kudu dilainkeun, nu ulah kudu diulahkeun, nu enya kudu dienyakeun, kudu ngadek sacekna, nilas saplasna.

Jika diartikan kurang lebihnya begini Gunung tak boleh dihancurkan, lembah tak boleh dirusak, larangan tak boleh dilanggar, ajaran (leluhur) tak boleh diubah, yang pendek tak boleh disambung, yang lain harus dilainkan, yang jangan harus dijangankan, yang iya harus diiyakan, berbicara tak boleh dikurangkan atau dilebih-lebihkan.

Menjelang Kawalu yang jatuh setiap Januari, Februari dan Maret, kehidupan masyarakat Baduy Jero memang amat dibatasi. Tim atau pendatang tak diiizinkan menginap atau bermalam di sana.

Suasana kampung pun cenderung lebih sepi. Warga di sana memilih berdiam diri di kediamannya masing-masing usai meladang atau berburu.

“Selain ke huma, kami khususnya yang laki-laki dalam masa tertentu pergi berburu. Istilah kami disebutnya Ngalanjak. Mulai pagi sampai sore,” terang Sanip kepada tim JJS.

Dalam Ngalanjak, mereka membekali diri dengan jaring dan golok. Di hutan biasanya mereka berburu bajing, peucang, atau kancil. Bahkan jika beruntung mencek atau rusa bisa menjadi hasil tangkapannya. Dalam puncak Kawalu, bajing biasanya menjadi suguhan utama berbuka puasa. Jadwal puasanya pun berbeda dengan ajaran Islam dan agama samawi lainnya.

Waktu puasa warga di sana ditentukan oleh masing-masing Pu’un. Ada kalanya di satu periode Kawalu mereka berbuka di sore hari atau setelah matahari tergelincir. “Puasa na mah sehari. Hanya pas buka biasanya pu’un yang memberi tahu kepada kami jam na,” papar Sanip.

Jika ritual sebagai ungkapan syukur itu sudah dilakukan, maka acara makan bersama pun dilakukan secara massal. Biasanya, warga Baduy Luar di sekitar Baduy Jero diundang. Lebaran baduy mereka biasa menyebutnya. Sistem kekerabatan dua warga satu rumpun itu memang terjalin erat.

Sebab ada beberapa warga Baduy Luar yang dulunya adalah warga Baduy Jero. Mereka rata-rata memilih keluar sebagai warga Baduy Jero karena kesadaran diri. Sebab kata Sanip, pantangan dan aturan adat warga sepertinya dirinya amatlah ketat. “Daging domba atau kambing saja kami tidak boleh makan. Merokok pun sama. Aturan adat dari karuhun sejak dulu melarang itu,” imbuhnya.

Sanip, Sarip dan saudara-saudaranya adalah potret masyarakat adat Baduy Jero yang menjadi teladan. Mereka dengan disiplin mempertahankan ajaran-ajaran leluhur namun mampu beradaptasi dengan dunia luar. Mereka tak mengenal tulisan. Ajaran-ajaran leluhur Sunda Wiwitan disampaikan secara lisan atau tuturan dan praktik sehari-hari. Anak-anak, remaja, maupun orang dewasa baik Baduy Jero maupun Baduy Luar tidak sekolah formal.

Pos terkait