Kompetisi Inovasi Responsif dan Adaptif

Oleh : Asep Hikmat

(Kabag Organisasi Pemkab Sukabumi, dan Dosen di PTS di Sukabumi)

Bacaan Lainnya

 

“Saya selalu menekankan bahwa dalam situasi krisis, kita harus mampu merubah frekuensi kita dari frekuensi yang normal ke frekuensi yang extra ordinary, cara kerja yang rutinitas menjadi cara kerja yang inovatif dan selalu mencari smart shortcut” .

Itu adalah pernyataan Presiden Joko Widodo ketika memberi sambutan  dalam kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan publik beberapa waktu lalu.

Ada dua kata yang yang dapat menjadi rujukan yakni ‘cara kerja inovatif dan smart shortcut’ yang harus diterjemahkan ke dalam kata lain, salah satunya yang menjadi tema besar KIJB tahun ini yakni mewujudkan inovasi pelayanan publik yang responsif dan adaptif.

Perhelatan Kompetisi Inovasi Jawa Barat (KIJB) tahun 2021 dengan tema : “Mewujudkan Inovasi yang Responsif dan Adaptif” saat ini prosesnya sedang berjalan, dan menjadi salah satu ajang bergengsi bagi perangkat daerah pemerintah  provinsi, kabupaten dan kota di Jawa Barat.

Berbekal predikat sebagai peringkat ke-3 penerima penghargaan Kompetisi Inovasi Pelayan Publik (KIPP) tingkat nasional yakni 27 buah pada tahun 2018 – 2020, dan juga peringkat ke-7 Nasional sebagai Provinsi  “Sangat Inovatif” (nilai 6.879); maka KIJB dapat dikatakan ‘candradimuka’nya inovasi pelayanan publik oleh pemerintah daerah di Jawa Barat, dimana semua jajaran perangkat daerah sebagai garda terdepan yang langsung menyelenggarkan pelayanan dengan masyarakat harus menampilkan kinerja layanan terbaik yang dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.

Untuk mampu menampilkan kinerja layanan terbaik, memang tidak semudah membalikan tangan, ada beberapa faktor atau hambatan penyebab sulitnya berkretivitas dan atau berinovasi yang menurut beberapa pakar harus dikenali, dieliminasi dan diatasi terlebih dahulu.

Pertama;  faktor perceptual atau persepsi yakni pemahaman atau tanggapan seseorang terhadap suatu informasi.

Dalam hal ini ASN sebagai agen pembaharuan dalam pembangunan masyarakat harus terus meningkatkan kepekaan, dan pengetahuannya guna lebih memahami akar masalah dari peristiwa dalam layanan publik yang terjadi sehingga paham pula mencarikan alternatif jalan untuk solusinya.

Kedua; hambatan emotional, dapat diartikan kemampuan merasakan bahwa apa yang menjadi kesulitan, masalah dan keinginan masyarakat, adalah juga pada dasarnya kesulitan, masalah dan keinginan kita yang harus dicarikan solusinya.

Ketiga; hambatan imagination atau dapat berarti kemampuan membayangkan/merenungkan rancangan solusi atas permasalahan yang terjadi berdasarkan analisis akar masalah dengan dukungan fakta dan data.

Keempat; hambatan cultural atau dapat diartikan seperangkat kebiasan seseorang yang berakumulasi  menjadi cara berpikir dan bertindak sehingga menjadi ‘budaya kerja’ karena pengaruh tertentu di mana mereka berinteraksi.

Kelima, Expressive, artinya dapat berupa kemampuan mencurahkan atensi dan perasaaannya untuk mengeksplotasi bahan-bahan solusi atas masalah yang dihadapi.

Keenam, Intelektual, artinya kemampuan berpikir atau bekal pengetahuan yang dimiliki berdasarkan referensi (sumber-sumber data, informasi dan bahan pendukung lainnya).

Ketujuh, environment yakni lingkungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya di mana mereka berinteraksi.

Setelah mampu menghilangkan atau minimal mengeliminasi faktor hambatan tersebut, maka langkah praktis selanjutnya yang dapat dilakukan adalah mengidentifikasi permasalahan atas dasar kebutuhan, keinginan dan harapan publik terhadap suatu pelayanan.

Identifikasi permasalahan ini penting dilakukan karena pada dasarnya akan menjadi spirit dan petunjuk awal  terwujudnya suatu inovasi yang berkualitas dan kompetitif.  Banyak cara dan wahana mengidentifikasi permasaahan ini baik yang  bersumber dari data primer maupun sekunder.

Hasil-hasil penelitian beberapa pihak, diskursus pemerhati inovasi, aduan masyarakat di media, hasil survey dan temuan lembaga tertetu (misal Ombudsman), maupun fenomena yang kita dapatkan sendiri, semuanya harus direspon dan  ditindak lanjuti penyelesaiannya.

Harapan publik terhadap layanan yang better, faster, newer, cheaper dan more simple, harusnya menjadi pemicu dan pemacu penyelenggaran layanan.

Langkah strategis selanjutnya setelah mengeliminasi hambatan, mengidentifikasi permasalahan hingga ke akarnya, adalah merumuskan kebijakan terutama yang lebih operasional dan menjadi landasan bertindak bagi aparatur atau petugas di garis depan dalam penyelenggaraan layanan.

Kebijakan yang berupa berbagai aturan ini penting karena selain sebagai acuan dasar juga dapat digunakan untuk melakukan program reward and punishmen. Selain SDM, faktor sarana prasarana layanan yang memadai juga menjadi bagian dari rumusan kebijakan ini khususnya dalam hal yang bersentuhan penyediaan teknologi informasi sesuai kebutuhan.

Adanya rumusan kebijakan inovasi yang baik dan lengkap, tidak banyak berarti bilamana dalam implementasinya tidak didukung pelaksana yang cakap dan berintegritas.

ASN yang responsif dan adaptif (atau agile), secara linier akan menjadi penentu terwujudnya inovasi yang responsif dan adaptif juga.

Perlu kepekaan menemukenali dan menanggapi suatu masalah dalam layanan publik serta kelincahan (fleksibel) dalam menyesuaikan terhadap kebutuhan dan pencarian solusi masalah publik.

Harapan besarnya, Kompetisi Inovasi Jawa Barat (KIJB) Tahun 2021 dengan berbagai bidang yang dilombakan dapat menjadi bagian konstruktif upaya peningkatan kuaitas layanan publik sebagai salah satu  pengungkit Indeks Reformasi Birokrasi. (*)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *