Perempuan dan Persoalan Demokrasi

Ulfa Puspita Maharani
Ulfa Puspita Maharani

Aturan ini jelas melanggar konstitusi dan melanggar undang-undang pemilu tahun 2017. Hal ini pun menjadi perhatian yang luar biasa bagi para aktivis perempuan dan organisasi-organisasi perempuan. Banyak sekali penolakan-penolakan yang digaungkan oleh para aktivis perempuan guna mengembalikan hak perempuan sesuai dengan konstitusi.

Bacaan Lainnya

Perjuangan para aktivis perempuan akhirnya membuahkan hasil. Pada Selasa 9 Mei 2023, KPU bersama Bawaslu juga DKPP mengadakan rapat koordinasi bersama di kantor DKPP RI. Ketiga lembaga penyelenggara pemilu itu bersepakat untuk merevisi ketentuan pada pasal 8 ayat (2) PKPU No. 10 Tahun 2023 yang semula :

Dalam hal penghitungan 30% (tiga puluh persen) jumlah Bakal Calon perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai :

  1. Kurang dari 50 (lima puluh), hasil penghitungan dilakukan pembulatan kebawah; atau
  2. 50 (lima puluh) atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan keatas.

 Menjadi :

Dalam hal penghitungan 30% (tiga puluh persen) jumlah Bakal Calon Perempuan di setiap Dapil menghasilkan pecahan, dilakukan pembulatan ke atas

          Namun rilis perubahan ini tidak serta merta langsung diberlakukan, karena rilis perubahan ini harus pula di setujui oleh pemerintah dan DPR. Dan faktanya hingga hari ini rilis perubahan tersebut belum disahkan.

Hal ini membuat para aktivis perempuan geram. Organisasi-organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan yang didalamnya terdiri dari 23 organisasi yaitu, Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI), Maju Perempuan Indonesia (MPI), Kaukus Perempuan Indonesia (KPI), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR), Puskapol UI, Kalyanamitra, Institut Perempuan, KOPRI PB PMII, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, JALA PRT, Prodi Kajian Gender UI, Cakra Wikara Indonesia (CWI), CEDAW Working Grup Indonesia, International NGD Forum on Indonesia Development (INFID), KOHATI PB HMI, FORHATI Nasional, Pusako FH Unand, Election Corner UGM, Pusat Studi Kepemiluan Unsrat, Network for Democracy and Electoral Intregrity (NETGRIT), dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), terus menyuarakan dan menuntut agar KPU segera merevisi pasal 8 ayat (2) huruf b PKPU No. 8 tahun 2023.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI bersama Kementrian Dalam Negeri menghasilkan keputusan yang mana Komisi II DPR RI meminta KPU untuk tetap konsisten melaksanakan ketentuan PKPU No. 8 Tahun 2023. Sungguh sebuah kemunduran.

Data yang dikeluarkan oleh World Economic Forum tahun 2022 menunjukan kesenjangan gander di Indonesia menempati urutan ke 92 dari 146 negara. Jauh tertinggal oleh Singapore yang menempati urutan ke 49, Timor-Leste pada urutan 56, dan Philipine pada urutan ke 19.

Padahal upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender sudah sangat lama di perjuangkan hingga dikeluarkannya kebijakan afirmasi.

Para aktivis perempuan mengancam akan mengajukan gugatan uji materil atas PKPU No. 10 tahun 2023 ke Mahkamah Agung. Tidak ada pilihan lain bagi KPU kecuali mengubah peraturan yang telah ia berlakukan.

Karena bukan hanya keterwakilan perempuan yang dikorupsi. Namun amanat reformasi dan nilai-nilai demokarsi akan dicedrai, karena PKPU No. 10 tahun 2023 merupakan legalisasi atas pelanggaran undang-undang dan substansi UUD.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *