Perempuan dan Persoalan Demokrasi

Ulfa Puspita Maharani
Ulfa Puspita Maharani

Oleh : Ulfa Puspita Maharani

*Staf Sumber Daya Manusia, Organisasi dan Diklat Pada Bawaslu Kabupaten Sukabumi

Bacaan Lainnya

PEREMPUAN dan Demokrasi, suatu perjalanan panjang yang saya ketahui, hingga di negeri ini keterwakilan perempuan dapat terwujud secara konkret.

Saya mengingat bacaan-bacaan tentang pejuang emansipasi wanita, seperti yang tak asing lagi bagi kita yaitu R.A. Kartini yang berjuang sangat keras agar kaum perempuan bisa mendapatkan hak yang setara, hingga 14 April kita anugerahkan sebagai Hari Kartini.

Tak lupa juga tentang Raden Dewi Sartika yang mendirikan Sakola Istri pada 16 Januari 1904 sebagai sekolah khusus untuk kaum perempuan, disaat kaum perempuan sulit berkembang karena belenggu patriarki dan feodalisme.

Begitu pula dalam demokrasi di Indonesia, perjalanan panjang para pejuang-pejuang emansipasi akhirnya melahirkan hasil yaitu terbitnya Undang-Undang No. 68 tahun 1958 tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita.

Yang didalamnya diatur tentang perwujudan kesamaan kedudukan tanpa diskriminasi, jaminan persamaan hak untuk memilih dan dipilih, jaminan partisipasi dalam perumusan kebijakan, kesempatan menampati posisi jabatan birokrasi, hingga jaminan partisipasi dalam organisasi sosial politik.

Hal ini didukung pula oleh perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang memuat pasal 28 H ayat (2) yang berisi “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Landasan tersebut menjadi sebuah dasar yang kuat bagi semua golongan warga negara untuk terbebas dari diskriminatif, budaya patriarki, termasuk dalam aspek politik.

Perubahan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 melahirkan Undang-Undang No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.

Dimana aturan ini menyatakan “Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.

Dari tahun ketahun akhirnya kebijakan-kebijakan afirmatif terhadap perempuan dalam bidang politik semakain disempurnakan.

Seperti Ketika terbit UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang didalamnya memuat pasal 6 ayat (5) yang menyatakan “Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)”.

Didalam kelembagaan partai politikpun, kebijakan-kebijakan afrimatif untuk kaum permpuan mulai disempurnakan, dengan terbitnya Undang-Undang No. 02 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang pada pasal 2 memuat tentang “Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Juga pada pasal 20 yang memuat tentang “kepengurusan Partai Politik tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing”.

Kebijakan-kebijakan tentang perempuan sebagai Affirmativ Action juga melahirkan ketentuan seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2008 pada pasal 8 ayat (1) huruf d yang menyatakan bahwa “Partai politik dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”.

Diperkuat pada pasal 53 yang menyatakan bahwa “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Juga disempurnakan pada pasal 55 ayat (2) yang menyatakan “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”.

Yang berarti jika suatu partai politik menetapkan nomor urut bakal calon 1 hingga 3 maka salah satu diantaranya harus seorang bakal calon perempuan. Bakal calon perempuan harus ditempatkan pada nomor urut 1, 2 atau 3, tidak boleh dibawah nomor urut tersebut, hal ini juga berlaku pada nomor urut selanjutnya misalnya nomor urut 4 hingga 7, maka perempuan harus ditempatkan pada nomor urut 4, 5 atau 6, bukan di nomor 7.

Pemerintah juga menegaskan kepada partai politik agar menjalankan affirmativ action dengan menambahkan aturan pada undang-undang ini yang tertuang dalam pasal 66 ayat (2)  yang menyatakan “KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional”.

Dari waktu ke waktu dimana aturan-aturan mulai disempurnakan mengikuti perkembangan zaman hingga diterbitkan UU no. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang sampai saat ini masih berlaku, keterwakilan perempuan minimal 30% tetap digaungkan, tertuang pada pasal 245 yang menyebutkan bahwa “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen)”.

Bisa kita lihat begitu seriusnya pemerintah dalam mewujudkan  kesetaraan tanpa diskriminatif khusus bagi kaum perempuan.

Hingga menghasilkan begitu banyak perempuan-perempuan hebat yang menduduki jabatan-jabatan penting di republik Indonesia ini. Dan keterlibatan perempuan dalam menduduki kursi legislatif terus meningkat setiap masanya.

Namun apakah perjuangan ini sudah selesai? Tentu belum. Masih banyak persoalan-persoalan yang kaum perempuan hadapi. Sedih memang disaat pendidikan politik belum sepenuhnya menjamah seluruh lapisan kaum perempuan.

Hingga adanya issue bahwa keterlibatan perempuan di daftar pencalonan dianggap hanya sebagai pemenuhan syarat partai politik demi lolosnya partai politik tersebut menjadi peserta pemilu.

Pada 17 April 2023. KPU menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 10 Tahun 2023. Aturan yang menurut saya mengancam keterwakilan perempuan dalam bursa legislatif di negeri ini. Bagai mana tidak, pasal 8 ayat (2) huruf b dalam aturan ini, mengatur bahwa :

Dalam hal penghitungan 30% (tiga puluh persen) jumlah Bakal Calon perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai :

  1. Kurang dari 50 (lima puluh), hasil penghitungan dilakukan pembulatan kebawah; atau
  2. 50 (lima puluh) atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan keatas.

Tentunya aturan ini secara nyata bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi yaitu pasal 245 UU No. 7 tahun 2017. Aturan ini berdampak pada 30% keterwakilan perempuan dan ini merupakan kemunduran bagi demokrasi untuk kaum perempuan.

Aturan ini pun melanggar norma pada pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Dimana pasal ini memberikan perlakuan khusus bagi kaum perempuan untuk mencapai kesetaraan.

Kita contohkan apabila suatu dapil memiliki bakal calon 4 orang, maka perhitungan keterwakilan perempuan 30% itu menghasilkan pecahan desmial  1,2.

Apabila kita menggunakan perhitungan pada UU No. 7 tahun 2017 partai politik harus mengajukan dua orang bakal calon perempuan. Namun dengan adanya pasal 8 ayat (2) huruf b PKPU No. 10 tahun 2023 ini maka berlaku pecahan desimal dengan angka kurang dari 50 dibelakang koma dilakukan perhitungan pembulatan kebawah.

Maka dari 4 orang jumlah bakal calon keseluruhan, keterwakilan perempuan hanya diwajibkan satu orang. Padahal satu banding empat bakal calon setara dengan 25%. Hal yang sama terjadi pada daftar caleg yang berjumlah 7, 8, dan 11.

Maka bisa kita bayangkan ada berapa ribu perempuan yang haknya akan terdampak dari aturan ini, mengingat dalam pemilu 2024 Indonesia memiliki 84 Dapil dan 580 Kursi untuk DPR,  301 Dapil  dan 2.372 Kursi untuk DPRD Provinsi, serta 2.325 Dapil dan 17.510 Kursi untuk DPRD Kabupaten/Kota.

Ini sungguh merupakan kemunduran bagi demokrasi perempuan dan merupakan cerminan rendahnya dukungan afirmasi perempuan di parlemen, KPU perpotensi membonsai keterwakilan perempuan dalam pencalonan legislatif.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *