HGN, Sehari Menghormati Guru

Oleh : Dr. Dudung Nurullah Koswara, M.Pd
(Dewan Pembina PGRI Dan Ketua DPP AKSI)

 

SUNGGUH sangat disayangkan bila masih ada perlakuan perundungan, diskriminatif dan politisasi profesi guru. Guru harus dihargai setiap hari bukan hanya sehari saat perayaan Hari Guru Nasional saja. Guru setiap hari, setiap saat harus dihargai. Apa pun keterbatasannya.

Menangkap pesan Dirjen GTK Iwan Syahril dan Mendikbud Ristek Nadiem Makarim mereka sepakat bahwa satu entitas yang sangat-sangat penting di negeri ini dan harus dimerdekakan adalah guru. Fakatanya bagaimana? Sudahkah merdeka?

Sebagai aktivis organisasi profesi guru dan setiap hari bersama guru, dinamika guru masih banyak menyisakan persoalan. Dalam tulisan sebelumnya Saya katakan ada lima soal besar guru yakni terkait kompetensi, perlindungan, kesejahteraan, sengkarut onprof dan politisasi guru.

Kalau kita mau menggali persoalan guru tentu sangat ruwet, rudet dan jelimet. Dalam Bahasa kerennya kompleksitas. Kompleksitas persoalan guru dari tahun ke tahun masih belum selesai. Upaya terus dilakukan tapi soalan-soalan baru dan soal lama tetap tak beranjak.

Selain soalan di atas ada sejumlah soalan praktis yang terjadi di dunia guru. Mengapa judul tulisan “HGN, Sehari Menghormati Guru”? Karena dalam keseharian guru masih ada saja tindak dan perlakukan tidak menghormati guru. Tindak tidak menghormati guru bisa terjadi di eksternal dan internal dunia guru.

Tidak asing dalam dunia film, sinetron bahkan iklan, profesi guru “dibuli”. Ini bisa jadi karena Si Pembuat (film, sinetron dan iklan) tak punya moral dan etika atau bisa jadi pula karena memang faktanya profesi guru masih demikian sebagaimana gambaran versi mereka.

Bila guru hanya terhormat, dihormati dianggap ada saat HGN saja. Hanya dihormati satu hari saja. Bila demikian maka profesi guru dalam masalah. Apa sebenarnya yang terjadi dengan profesi guru? Mengapa status guru kurang dihormati dan citranya seolah “culun” dalam sebuah tayangan hiburan? Siapa yang salah?

Mari entitas guru untuk “membela” martabat guru. Jangan hanya terhormat sehari saja, selanjutnya biasa-biasa saja. Ada pepatah yang mengatakan “Cermin Tidak Pernah Bohong Saat Memperlihatkan Wajah Kita”. Nah bagaimana agar cermin memperlihatkan wajah kita kinclong atau cakep? Tentu harus diperbaiki wajahnya bukan cerminnya.

Andaikan tidak ada Hari Guru Nasional dan semua guru terus belajar dan meningkatkan harkat martabatnya dengan peningkatan kompetensi, kesejahteraan, perlindungan, guru akan tetap terhormat. Namun andaikan setiap tahun atau setiap bulan ada perayaan hari guru tetapi guru gurunya malas belajar dan beradaptasi pada tuntutan zaman, tetap saja guru akan sulit menaikan martabatnya.

Martabat guru bukan dari perayaan semarak atau mewah Hari Guru Nasional namun kembali pada karakter gurunya sendiri. Sangat beruntung puluhan guru ikut seleksi pemilihan guru berprestasi yang setiap tahun diadakan. Mereka benar-benar beruntung 1 dari 1000 yang bisa andil dalam lomba guru prestasi nasional.

Kemana guru yang lainnya? Apakah mayoritas guru kita berprestasi dan dikagumi murid-muridnya? Atau tidak? Ini harus menjadi “refleksi perayaan, perayaan reflektif” semua guru. Hari Guru Nasional itu penting namun setiap hari guru dirayakan anak didik jauh lebih penting.

Bila setiap hari guru “dirayakan” disambut baik anak didik, dirindukan, asyik menjadi teman mereka, sungguh indah. Menjadi guru itu mudah bagi sarjana pendidikan namun menjadi guru terbaik bagi setiap anak didik tentu tak mudah. Hari Guru Nasional adalah refleksi bagi kita semua, terutama para guru.

Sekolah adalah Rumah Ibadah Pendidikan terbaik. Anak didik, guru, kepala sekolah, komite sekolah dan warga civitas akademi adalah “jama’ah” pendidikan yang punya tanggung jawab mulia, memanusiakan manusia. Manusia itu sejatinya berakhlak mulia dan bermanfaat bagi sesama. Itulah diantara tugas utama guru. Selamat Hari Guru Nasional. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *