Journalis Journey Solidarity Overland Trip 5, Menembus Baduy Jero Jelang ‘Puasa’ Kawalu (1)

Journalis Journey Solidarity
Manager EO Radar Sukabumi, Vega Sumka Yudha (kanan) foto bersama sebelum menjelajahi perjalanan menuju Baduy dalam.

Masyarakat Baduy Jero memang dikenal taat akan ajaran leluhur dan kekompakannya. Soal bebersih jalan saja. Itu sifatnya wajib dan bergilir. Tiap pria dewasa di sana mendapat tugas memelihara jalan dari rumput dan tanaman liar dari tetua kampung yang disebut Pu’un.

Jalan menuju Baduy Jero memang lebar. Jika kendaraan boleh diakses ke sana, cukup lah untuk satu mobil berdimensi lebar. Namun, aturan adat selama ratusan tahun melarang itu. “Jangan kan mobil atau motor, sepeda saja tidak boleh. Kami pantrang,” beber Sanip.

Bacaan Lainnya

Beberapa jam berjalan kami memilih beristirahat di sebuah saung. Jika diamati bangunan yang di depannya terdapat leuit itu adalah rumah salah satu warga Baduy Jero.

Kami membuka bekal seadanya. Bahkan, Wilda Topan sang koki rombongan berinisiatif membuka bekal obat-obatan. Anak dari sang empu rumah diketahui mengalami flu batuk.

Meski tergolong tertutup dengan segala macam modernisasi dunia luar, orangtua anak itu justru terlihat tak sungkan menerima pemberian obat dari kami. Mendekati jam makan siang, perjalanan berlanjut turun dan naik bukit huma. Huma adalah padi tadah hujan yang menjadi komoditi utama masyarakat di sana.

Nuansa wingit begitu terasa saat kami tiba di perkampungan Baduy Jero, Cikertawana. Beberapa menit setelah melintas belantara hutan Kendeng, perkampungan itu terdiri dari belasan rumah tinggal. Sepi, menenangkan dan terkesan asing bagi kami yang baru memiliki pengalaman ke tempat itu.

Rumah warga Baduy Jero rata-rata memiliki ukuran dan bentuk yang sama. Semuanya terbuat dari bambu dan kayu beratap hateup atau rumbia.

Tak ada listrik atau perangkat modern. Semua terasa seperti kembali ke perkampungan masyarakat yang hidup ratusan tahun yang lalu. Jalan kampung disusun dari batu-batu alam. Hujan gerimis menambah kesan ‘lain’ melintas kampung tersebut.

Beberapa warga yang kami temui hanya bisa menatap tajam. Tak ada basa-basi. Maklum menjelang bulan Kawalu, masyarakat Baduy Jero memilih membatasi diri dengan kedatangan orang luar.

Jam 11.30 WIB kami akhirnya tiba di Cibeo. Kawasan Baduy Jero terjauh tapi teramai di banding dua kampung lainnya. Nuansanya tak jauh beda dari kampung sebelumnya. Hanya di sini, rumah-rumah warga terlihat saling berdekatan.

Ada aliran selokan berair jernih di sekitar jalan yang kami lintasi. Kami memilih berisitirahat untuk makan siang di kediaman Sanip. Segala bekal logistik perut kami percayakan kepada Wilda Topan dan Panji Setiadi.

Dua jurnalis televisi itu memang ‘ahli’ soal mengolah penganan sedari JJS trip 1 dimulai tahun lalu. Keluarga Sanip juga ikut membantu memasak.

Menunggu masakan tersaji, Sarip dan Sarmin sibuk sendiri. Ya, keduanya menyiapkan kadu Baduy. Kadu dalam bahasa Sunda adalah durian. Biasanya mereka panen buah beraroma khas ini di akhir dan tiap awal tahun. Tak ada nama beken untuk durian tersebut. “Orang dieu mah nyebut na cukup kadu Baduy saja,” kata Sarmin.

Delapan durian disuguhkan pada tim yang terdiri dari 12 personil. Buah itu mereka tanam dari masing-masing pohon yang tumbuh di belantara hutan sekitar kampung baduy. Jika dicicipi, tekstur daging Kadu Baduy tergolong legit. Berwarna putih kekuning-kuningan, bentuk durian itu rata-rata sebesar kepala orang dewasa.

Tak besar-besar amat dan tak pula kecil-kecil. Bentuk buah nya mirip durian matahari. Tidak terlalu kuning tidak juga terlalu putih seperti durian susu. Lelahnya kami dua jam lebih menempuh perjalanan di tengah gerimis seakan sirna dengan gurih dan legitnya si raja buah ini.

“Tidak sia-sia kita jauh-jauh jalan kalau akhirnya makan si legit ini,” seloroh Darwin Sandy, juru bicara JJS yang juga jurnalis JP News ini.

Masyarakat Baduy Jero sebagian memperoleh pendapatannya dari menjual durian. Di musim panen, biasanya mereka menunggu atau membawanya ke tengkulak yang biasanya datang dari wilayah Baduy Luar atau luar Baduy.

Harga yang ditawarkan pun relatif murah. Dari 20 ribu paling mahal 40 ribuan. Soal harga pun bisa lebih murah jika dibeli di kawasan perkampungan adat. Artinya, sambil mengenal kearifan budaya mereka, kita bisa mendapat bonus. Kadu oh kadu. Legit dan gurihmu selalu bikin rindu. (*)

Pos terkait