Ekspedisi Gerakan Anak Negeri (GAN) ke Gili Iyang, Pulau Awet Muda di Sumenep (3-Habis)

Gerakan Anak Negeri (GAN) ke Gili Iyang

Jangan Kapok Ya, Semoga Berkunjung Lagi ke Gili Iyang

Rangkuman singkatnya, Gili Iyang memiliki tiga keajaiban. Manusia berusia lebih dari satu abad. Kadar oksigen tertinggi di Indonesia. Dan, panorama alam yang indah dan eksotis.

Laporan: RAHMAD YANADI, Pemred Radar Sukabumi

Bacaan Lainnya

TULISAN ini sesungguhnya tak cukup mendeskripsikan kehebatan Gili Iyang. Sebuah pulau yang berlokasi di Kecamatan Dungkek, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur. Atau, gampangnya, di Pulau Madura. Karena banyak fakta yang membuat kepala geleng-geleng ketika mengetahuinya. Tentu yang utama, label sebagai Pulau Oksigen.

“Di sini, juga punya tempat wisata yang menarik untuk dikunjungi, Salah satunya Batu Canggah,” kata Sekretaris Desa Banra’As di Gili Iyang, Haji Fathorohman Rosyid kepada Radar Sukabumi, yang terlibat dalam Ekspedisi Gerakan Anak Negeri (GAN).

Selamat datang di Batu Canggah tertulis di pintu masuk menyambut tim Ekspedisi. Batu Canggah yang berada di Desa di Bancamara ini merupakan sebuah objek wisata alam yang berada tepat di bagian bawah dari sebuah bukit karst yang menjorok ke Laut Jawa di utara Gili Iyang.

“Masyarakat di sini menyebutnya sebagai Betoh Cangge atau batu yang menyangga tebing,” jelas Mat Hawan yang akrab disapa Pak Uwan saat mengantar tim ekspedisi.

Nah, saat menuruni tangga semen yang baru dibangun dari anggaran Pemprov Jawa Timur sebesar Rp 400 juta tersebut, tampak rongga menyerupai lorong sepanjang sekitar 200 meter langsung menghadap ke laut lepas. Lorong bentuknya melengkung mirip gulungan ombak ini seperti disangga oleh sebuah batu setinggi sekitar lima meter berdiameter sekitar dua meter mirip, seperti pilar besar pada bangunan gedung.

“Mungkin batu canggah ini bagian dari letusan gunung di bawah laut pada jutaan tahun lalu. Karena batuan pada lorong seperti aliran lava gunung api.

Karena abrasi air laut sehingga muncullah lorong tebing seperti ini,” jelasnya.

Dan, ada cerita menarik di Batu Canggah, kata Pak Uwan, tepatnya pada tahun 1985, kapal perang yang mengangkut ratusan prajurit TNI pernah kandas tepat di Batu Canggah.

“Katanya sih dari jarak jauh, Batu Canggah ini seperti ada cahaya, seperti menara mercusuar, makanya kapal perang milik TNI itu diarahkan ke sini,” jelasnya.

Bahkan, saking kencangnya laju kapal tersebut, lambung kapal berada di atas batu karang dan ujung kapal atau haluan kapal masuk ke lorong Batu Canggah. Dan, evakuasi kapal perang milik TNI itu memakan waktu lebih dari satu bulan.

“Makanya waktu itu jadi tontonan warga di sini, dan Gili Iyang ini jadi tempat wisata dadakan ratusan tentara,” tambahnya.

Uwan menambahkan, dirinya hampir setiap hari melihat beberapa kapal besar dan helikopter milik TNI dikerahkan untuk menarik kapal TNI yang kandas tersebut. Namun, bergeser pun tidak.

“Itu dilakukan berulang kali, tapi kapalnya tetap tidak bergeser. Percaya atau tidak, akhirnya setelah dibantu oleh para sesepuh, dengan ritual dan doa, kapal itu baru bisa bergeser dan keluar dari sini,” kata Uwan.

Sekadar diketahui, sejak dirilisnya Gili Iyang sebagai Pulau Oksigen, bantuan demi bantuan datang dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Sumenep. Dan, bantuan untuk mengembangkan pulau menjadi objek daya tarik wisata di Madura. Diantaranya pembangunan jalan sepanjang 10 kilometer, pembangunan rumah panggung atau Homestay O2, Pembangunan ikon O2 dan pembangunan dermaga.

“Selain Batu Canggah, yang dikelola oleh Bumdes, masih ada lagi Pantai Ropet, dan ada juga fosil ikan paus purba, Goa Mahakarya yang memiliki pemandangan yang luar biasa indah. Tapi ya begitu, pengelolaannya belum rapi, karena terkait anggaran,” ungkap Fathorohman.

Meskipun ada homestay atau rumah singgah, tapi tak selalu selaras dengan okupansinya. Tidak banyak wisatawan yang menginap. Artinya, keseringannya datang, lalu pulang lagi.

“Jangan kapok ya, Semoga berkunjung lagi ke Gili Iyang,” harap Fathorohman.

Gerakan-Anak-Negeri-(GAN)-ke-Gili-IyangGili Iyang, Si Pulau Oksigen, dihuni oleh sekira 9.000 jiwa. Sedangkan di Desa Banra’As, memiliki jumlah warga sebanyak 4 ribuan jiwa. Yang terdiri dari jumlah KK sebanyak 3.000 KK. Jumlah ini disebut tersebar di enam kedusunan dan 32 RT.

Fathorohman mengatakan, warga Gili Iyang itu pekerjaannya jadi petani dan nelayan. Namun, seperti warga Madura lainnya, yakni banyak warga Gili Iyang yang merantau ke daerah lain atau kota-kota besar untuk mengais rejeki. Ada yang jadi bisnis besi bekas atau rongsok, buka warung sate, soto atau berjualan sembako dan lainnya.

“Makanya dari hasil usaha di rantau itu, mereka menabung atau membangun rumah di sini. Kalau dilihat banyak rumah yang bagus-bagus, tapi isinya tidak ada. Ramainya di Gili Iyang itu sebelum bulan puasa, atau ada hajatan pernikahan. Itu yang merantau, pulang kampung. Datang berbondong-bondong. Makanya, jumlah penduduk sekarang ini setengahnya,” tutur Fathorohman yang mempunyai tiga warung sembako di pulau Bali tersebut.

Fathorohman mengatakan semua penduduk di pulau Gili Iyang beragama Muslim. Tercatat ada delapan masjid besar. Sedangkan untuk sekolah, tercatat ada lima Seolah Dasar (SD), empat Madrasah Ibtidaiyah (MI), dan satu Sekolah Dasar Islam (SDI).
“Kalau untuk SMP dan SMA ada sekolah persamaan dari Pemerintah Kabupaten Sumenep,” jelasnya.

Dan perlu diketahui juga, di Pulau Gili Iyang tidak ada Tempat Pemakaman Umum atau TPU. Jadi hampir setiap rumah warga, di belakang atau samping rumah warga ada lahan makam keluarga.

Mungkin, karena inilah, demi menjaga makam leluhur dan keluarga yang sudah meninggal, lahan-lahan atau rumah di Gili Iyang bisa dibilang hampir tidak ada yang dijual oleh keturunan yang masih hidup. Lahan-lahan tanah atau rumah warisan tetap dipergunakan dan dijaga oleh keturunan yang masih hidup.

“Ada juga sih yang dijual, tapi ada kesepakatan terkait makam keluarga tidak dijual. Ya, hampir setiap rumah ada pemakaman keluarga. Termasuk saya, di belakang rumah ada lahan pemakaman keluarga, sejak dulu, sejak buyut atau leluhur,” kata Turahman, pemilik warung di depan homestay Bumdes Banra’As.

Nah, setelah puas mengekplor Pulau Gili Iyang atau Pulau Oksigen dari hari Kamis dan Jumat (19-20/10), sebelum tim ekspedisi Gerakan Anak Negeri yang dipimpin CEO Radar Bogor Grup Hazairin Sitepu kembali ke Sumenep, pulau Madura menggunakan Kapal Kayu Pancasona, salah satu peserta tim ekspedisi, Andi Ahmadi yang juga General Manajer Radar Bekasi, memberikan masukan terkait pengelolaan wisata di Gili Iyang.

“Kalau pariwisata di Pulau Gili Iyang dikelola dengan bagus dan profesional, untuk bisa mendatangkan banyak wisatawan, perekonomian berjalan, cuan pun akan datang. Tapi ini dilihat warganya terlihat acuh dan dibilang tidak peduli. Harapan kita, semoga pemerintah setempat secepatnya membenahi dan mengelola potensi ini,” tutup Andi Ahmadi. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *