Menggali Budaya Kasukabumian Dalam Membangun Kota Berperadaban (Bag 3)

Oleh: Kang Warsa

Unsur kebudayaan lainnya, meskipun bersifat abstrak, tetapi sangat penting digali untuk melahirkan budaya kasukabumian yaitu sistem kemasyarakatan. Secara natural, iklim sosio kultural orang Sukabumi sangat besar dipengaruhi oleh unsur kebudayaan Sunda. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang berkembang di daerah ini juga kental sekali bercorak Sunda.

Bacaan Lainnya

Sistem kemasyarakatan tradisional

Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial di Sukabumi secara umum terbagi ke dalam dua kategori, tradisional dan kontemporer. Lahirnya dua jenis organisasi kemasyarakatan ini tidak dapat dipisahkan dengan entitas lainnya seperti, perkembangan sejarah, ekonomi, politik, dan teknologi.

Tidak jauh berbeda dengan sistem kemasyarakatan di wilayah bahkan benua manapun, kategorisasi tradisional dan kontemporer terhadap apa saja selalu hadir dalam panggung kehidupan masyarakat.

Jika di Eropa perkembangan modernitas (terputusnya hubungan masa kini dengan masa lalu) dapat dikatakan lebih dahulu terjadi, di negara-negara dunia ketiga karena sampai tahun 1970-an, negara-negara dunia ketiga sering diberi label negara terbelakang, modernitas pun dapat dikatakan terjadi belakangan.

Tetapi dalam perspektif subyektif, jika indikator dan ukuran modernitas tidak ditentukan oleh perkembangan mekanistis dan penemuan alat-alat baru pendukung kehidupan, sebetulnya setiap daerah dapat dikatakan tidak pernah dibatasi oleh sekat-sekat cara hidup tradisional dan modern.

Sistem kemasyarakatan tadisional di Sukabumi masih dapat kita lihat perkembangannya sampai akhir tahun 90-an. Pengaruh atistokrasi Eropa abad pertengahan diinternalisasikan oleh Belanda di negara ini telah membawa pengaruh besar terhadap lahirnya dua jenis masyarakat, kaum menak dan cacah, priyai dan rakyat biasa.

Dalam beberapa kasus, perkembangan sistem kemasyarakatan ini berlangsung tidak hanya terjadi di Nusantara sejak abad ke-18, juga menyebar ke setiap wilayah dengan kekhasan dan cirinya masing-masing.

Di masyarakat Sunda, keluarga inti sangat mengharapkan anggota keluarga mereka, jika besar nanti, kelak menempati kelas sosial kaum menak. Tidak heran sampai penghujung tahun 90-an, seorang ibu biasa memberikan sebutan kepada anak yang disusuinya dengan istilah: si menak, si raden, calon menak, dan sebutannya lainnya.

Menjadi bagian dari kaum menak merupakan harapan setiap orang meskipun pada praktiknya aristokrasi tetap saja ditentukan oleh garis keturunan.

Sistem kemasyarakatan dengan gaya aristokrasi memang memberikan privelese atau keistimewaan kepada kelompok tertentu seperti kaum menak. Dalam pemberian nama saja, setiap anak yang dilahirkan dari garis keturunan kaum menak dibubuhi gelar Raden di awal namanya.

Tetapi harus diperhatikan, dalam hal pemberian nama anak dengan menggunakan kata Raden, untuk Sukabumi, rata-rata ditemui di wilayah perkotaan.

Hal tersebut jarang terjadi di perkampungan sebab masyarakat di perkampungan menyadari kehidupan mereka saat itu sangat jauh dengan cara hidup kaum menak. Keinginan masyarakat perkampungan agar anaknya kelak menjadi menak hanya sebatas harapan.

Indikator status sosial dan sistem kemasyarakatan di perkampungan waktu itu lebih besar dipengaruhi oleh feodalisme, kepemilikan lahan, rumah, dan harta. Seseorang meskipun tidak memiliki garus keturunan kepada kaum menak, karena memiliki lahan sangat luas akan dianggap seorang menak.

Artinya, sistem organisasi sosial antara kaum menak dan cacah lambat laun terkikis oleh feodalisme yang telah membagi masyarakat menjadi dua kelompok besar yang ditentukan oleh kepemilikan lahan dan harta, kaya dan miskin.

Orang kaya sebagai sebuah kesepakatan bersama di masyarakat merujuk kepada orang-orang yang memiliki rumah semi permanen, lantai rumah dibalut teraso atau ubin, memiliki sawah dan ladang sampai berpetak-petak, dan dengan serta-merta mendapatkan promosi sebagai tokoh masyarakat.

Kelompok sosial kedua merupakan orang miskin, berpenghasilan rendah, rumah terbuat dari bambu (bilik. B. Sunda), rumah yang ditempati jenis rumah panggung, profesi yang dijalani sebagai petani, buruh, atau tukang/kuli kasar.

Sistem kemasyarakatan dengan corak aristokrat dan feodal tersebut berkembang cukup lama di Sukabumi dan tentu saja membawa pengaruh signifikan terhadap perkembangan kehidupan selanjutnya.

Ada sebuah pertanyaan, apakah para leluhur Sunda mengembangkan sistem sosial seperti itu? Sistem organisasi kemasyarakatan yang berkembang di Tatar Sunda sebelum era kolonialisme bahkan bertolak belakang dengan kondisi setelah kolonialisme.

Kerajaan-kerajaan di Sunda tidak mengukur status sosial dan organisasi kemasyarakatan dengan cara aristokrat dan feodal. Stratifikasi sosial yang dianut sangat berbeda secara diametral dengan kondisi setelah kerajaan-kerajaan tersebut mengalami kemunduran.

Indikator dan ukuran kelas sosial tertinggi diberikan kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan tinggi bukan diberikan kepada orang-orang yang memiliki harta banyak, tanah luas, dan turunan bangsawan.

Semakin banyak harta dan kapitalisasi yang dimiliki, orang ini justru semakin menempati kelas sosial ketiga atau keempat. Sebaliknya, orang yang memiliki kompetensi keilmuan seperti para pandita, resi, dan ulama akan menempati piramida puncak kelas sosial.

Lahirnya kelas sosial tersebut tentu saja disertai oleh aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar. Seorang pandita dan resi, dengan keilmuannya tidak diperkenankan memiliki rumah atau harta privat. Kelompok ini telah diyakini oleh masyarakat sebagai manusia-manusia yang sudah tidak lagi mengejar duniawi.

Fokus aktivitasnya yaitu memberikan pencerahan kepada masyarakat, membimbing masyarakat dengan ilmu yang dimilikinya. Jika pihak kerajaan memberikan fasilitas seperti pembangunan padepokan, hal tersebut hanya merupakan tempat untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat.

Kelompok sosial kedua ditempati oleh pihak kerajaan. Sebagai kaum ksatria, mereka hanya menerima upah dari kerajaan, dilarang memperkaya diri sendiri, mengabdi secara totalitas kepada kerajaan. Abdi-abdi kerajaan ini tidak diperkenankan membahas persoalan apa pun, apalagi tentang keyakinan.

Fasilitas untuk keluarga mereka ditanggung sepenuhnya oleh negara. Dengan sistem sosial kemasyarakatan seperti ini, dalam sejarah manapun kita tidak akan pernah menemukan kasus besar dan skandal yang merugikan harta kerajaan.

Seluruh unsur masyarakat hidup sejahtera. Ungkapan gemar ripah loh jinawi, tentrem tata raharja dibahasakan oleh masyarakat Sunda karena nenek moyang atau leluhur mereka memang pernah mengalaminya, bukan sebatas slogan belaka.

Kondisi di atas tentu saja akan sangat jauh berbeda dengan sistem kemasyarakatan kontemporer.

Sistem kemasyarakatan kontemporer

Sistem kemasyarakatan kontemporer dipengaruhi oleh rekonquista dan merkantilisme Eropa setelah abad pertengahan. Rekonquista dan merkantilisme yang terjadi di Eropa sangat jelas membidik aspek-aspek sumber daya alam, penguasaan sumber-sumber strategis, dan menumpuk kekayaan sebesar-besarnya.

Bangsa-bangsa Eropa mengarungi samudera menuju tempat-tempat terjauh dilatarbelakangi oleh merkantilisme, menemukan harta-harta tersembunyi di wilayah non Eropa.

Setelalah Eropa dilanda kecamuk perang saudara, perang agama, melawan wabah hitam, satu abad kemudian orang-orang miskin Eropa banyak yang tiba-tiba menjadi OKB (orang kaya baru) disebabkan oleh beberapa hal:

  • Pertama, mereka tiba-tiba dapat memiliki lahan berpuluh-puluh hektar karena saudara-saudara atau masyarakat lainnya meninggal karena wabah hitam, sementara dirinya selamat dari wabah hitam. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi saat seorang miskin tiba-tiba menjadi kaya mendadak?
  • Kedua, mereka menjadi kaya di daerah-daerah baru dengan merebut tanah-tanah milik penduduk asli, misalnya orang-orang Inggris yang membangun koloni di Amerika milik bangsa Indian, orang-orang Spanyol membuat koloni di wilayah Amerika Latin.

Kondisi yang terjadi di Eropa tentu saja dibawa oleh orang-orang Eropa ke wilayah-wilayah jajahan mereka. Mereka mempelajari budaya lokal sekaligus menginternalisasikan jenis budaya baru yang tidak memiliki chemistri dengan penduduk asli.

Pascakeruntuhan kerajaan-kerajaan di Nusantara, sistem sosial kemasyarakatan berubah terbalik, jika pada masa kerajaan, orang asing dan pendatang menempati kelas sosial mleccha berubah menempati kelas sosial tertinggi.

Aristokrasi Eropa yang dikembangkan di tatar Sunda melahirkan sebutan kaum menak atau priyayi, mereka ditempatkan pada kelas kedua dalam hierarki sosial. Dan cacah atau rakyat biasa ditempatkan pada urutan terakhir. Indikatornya bukan lagi ilmu yang dimiliki oleh manusia melainkan harta, tanah, dan kedudukan.

Setelah orang-orang Eropa hengkang, aristokrasi tetap dipegang oleh masyarakat kita. Kaum menak dan para ambteenar dapat menjadi orang-orang yang sangat kaya.

Lahan garapan, perkebunan, rumah dan pemukiman Belanda sudah tentu akan jatuh kepada para ambteenar, kaum menak, dan warga negara asing yang memiliki akses dengan kelompok pertama. Peralihan kepemilikan lahan dan bangunan terjadi dapat saja tanpa sepengetahuan masyarakat luas.

Sistem kemasyarakatan yang harus dibangun

Mengembalikan kembali sistem kemasyarakatan tradisional seperti di masa kerajaan sangat tidak mungkin, mengkelaskan masyarakat menjadi tiga kelas sosial seperti di zaman kolonial juga merupakan satu kekonyolan. Lantas sistem kemasyarakatan seperti apa yang harus dibangun dan dikembangkan di Sukabumi?

Tujuan manusia di manapun saat mereka melahirkan sistem kemasyarakatan pada dasarnya diniatkan agar terjadi harmonisasi dalam kehidupan.

Hal lainnya, keheterogenan dan kompleksitas di masyarakat merupakan sebuah keniscayaan. Individu atau seseorang sebagai bagian dari masyarakat memiliki hasrat ingin berkuasa, menjadi orang kaya, menjadi orang berilmu tinggi juga merupakan ciri utama manusia dan harus diakui memang wajar terjadi pada manusia.

Sistem kemasyarakatan yang harus dibangun di Sukabumi adalah formula yang dapat mengambil setiap saripati kebaikan dari sistem-sistem sebelumnya.

Masyarakat harus mengakui secara jujur bahwa orang berilmu memang harus dihormati, tetapi sebagai manusia yang telah berilmu juga dituntut untuk tetap memiliki sikap tawadhu, santun, dan berilmu padi agar tidak terjadi kebodohan, pembodohan, dan keangkuhan dalam kehidupan.

Siapa pun berhak mengejar cita-cita, memiliki harta dan kapital yang besar, menduduki jabatan tertinggi, menjadi penguasa. Masyarakat memiliki kewajiban menghormati manusia-manusia seperti ini jika harta dan jabatannya diraih dengan jalan dan cara benar.

Orang-orang kaya, pengusaha, penguasa, dan pemegang jabatan pun memiliki kewajiban memuliakan orang yang belum beruntung karena keuntungan perusahaan dan uang gaji bersumber dari mereka.

Jika contoh-contoh yang dikemukakan di atas sulit dilakukan maka yang terjadi pun akan bertolak belakang dengan kodrat alamiah manusia.

Di dalam kehidupan akan timbul sikap saling curiga, orang kaya yang pelit, orang miskin yang malas, rakyat yang recok, penguasa sekaligus pendusta, tokoh agama yang kemaruk, pedagang curang, dan potensi-potensi kekejian lainnya.

Banyak kejadian yang terjadi di luar harapan dan keinginan, keanehan peristiwa akhir-akhir ini tidak disebabkan oleh kebencian Tuhan kepada manusia kecuali oleh sikap sebagian besar dari kita yang tidak pernah berpikir jernih dan mengambil hikmah dari sejarah dan cerita-cerita kebaikan di masa lalu.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *