Sabdo Palon, Naya Genggong dan Semar, Benarkah Mereka Menagih Janji?

kang-warsa

Oleh Kang Warsa 

 

Setiap peradaban memiliki cerita dan kisah masing-masing yang tersaji dalam berbagai genre atau jenis. Cerita dan kisah hanya bagian dari sastra, narasi dan deskripsi fiktif atau dapat saja adaptasi dan campuran dari kehidupan nyata yang telah mengalami penambahan atau pengurangan muatan. 

 

Di samping itu, setiap peradaban juga selalu menyajikan sosok dan tokoh yang dipandang memiliki kekuatan spiritual, mereka sering diposisikan sebagai tokoh imajinatif masa depan, ratu adil, dan mesias yang akan mengembalikan kondisi dari keterpurukan kepada keluhuran martabat bangsa.

 

Kehadiran sosok dan tokoh imajinatif dapat menjadi pemantik bagi suatu kelompok masyarakat untuk maju dan terus berubah ke arah yang lebih baik. Atau, dapat saja kehadiran sosok dan tokoh imajinatif justru menjadi pemicu daya khayal berlebihan, memunculkan imajinasi kemajuan di masa depan, etnosentrisme, dan memosisikan peradaban lain sebagai pihak lawan yang selalu berseberangan dengan kelompoknya. 

 

Wujud ekstrimisme pemikiran hingga melahirkan keyakinan baru bahwa peradaban lain yang datang dari luar alih-alih diterima sebagai bagian dari khasanah kebudayaan malah dipandang sebagai perusak budaya yang telah berkembang di masyarakat.

 

Sebagian kelompok masyarakat di negara ini masih banyak meyakini teori messiah, kelah pada suatu saat nanti akan lahir seorang ratu adil yang akan membawa bangsa ini pada peradaban yang adiluhung. Masyarakat Sunda menaruh harapan kepada seorang “budak angon”, 

 

Sabdo Palon, Naya Genggong, dan Semar diyakini oleh sebagian masyarakat Jawa sebagai pertanda kehadiran ratu adil di saat ketiga sosok imajinatif ini turun tangan menagih janji peradaban. Terlepas dari keyakinan yang dianut oleh sebagian masyarakat, kehadiran sosok-sosok imajinatif ini harus dikaji secara serius melalui penelitian kesejarahan sejak kapan sosok-sosok ini muncul atau dimunculkan secara sengaja, dan atas alasan kepentingan apa hingga sosok imajinatif harus dimunculkan seolah menjelma menjadi sosok pahlawan yang akan lahir di kemudian hari?

 

Perbincangan di beberapa grup kebudayaan, sosok-sosok imajinatif ini sering dihadirkan sebagai sosok nyata dan pernah menjadi bagian dari sejarah bangsa, terutama di masa transisi atau peralihan kekuasaan dalam bingkai politis. Bukan hanya di dunia Timur dan negeri ini, sejak berabad-abad lalu, sebuah bangsa yang mengalami masa-masa sulit dan pahit selalu merindukan sosok yang akan membawa mereka pada perbaikan dan perubahan. 

 

Sebagian masyarakat Sunda merindukan sosok imajinatif “budak angon” sebagai ratu adil di masa yang akan datang. Kehadiran sosok ini termaktub dalam Uga Wangsit Siliwangi, satu naskah yang tiba-tiba dimunculkan mengambil latar belakang saat Pajajaran mengalami keruntuhan. Hanya dalam dua sampai tiga halaman, adegan dramatis, perbincangan antara Siliwangi dan para pasukannya ditempatkan sebagai orang ketiga oleh Si Pengarang. 

 

Kisah imajinatif ini juga menyajikan linimasa kehidupan sosial di negara ini dari era kejayaan leluhur, imperialisme, dan kemunculan pemimpin-pemimpin yang telah jauh dari etika leluhur. Gairah kebangkitan lokalitas yang diperlihatkan oleh masyarakat Sunda tentu akan memandang kisah imajinatif ini sebagai kisah nyata hingga diyakini sebagai fakta sejarah.

 

Tidak jauh berbeda dengan masyarakat Sunda, sebagian orang Jawa menaruh harapan kepada sosok imajinatif seperti Sabdo Palon, Naya Genggong, dan Semar yang akan mengembalikan kembali negeri ini pada kejayaan sebelum Islam menyebar luas di Nusantara. Jika dalam Uga Wangsit Siliwangi sosok imajinatif Budak Angon ini tidak dikonfrontasikan dengan peradaban yang sedang berlangsung, sosok imajinatif masyarakat Jawa tampak dikonfrontasikan dengan keyakinan yang sedang berkembang hingga memunculkan sosok-sosok imajinatif ini memiliki peran sebagai penagih janji peradaban yang telah direbut oleh pihak lain.

 

Sabdo Palon muncul dalam Serat Darmogandul, sebuah sastra yang ditulis sekitar tahun 1900 oleh Kalamwadi menyiratkan sebagai Raja Jin gunung Tidar. Banyak yang mempercayai, sosok imajinatif ini pada suatu saat nanti akan menunaikan tugasnya, menagih janji entah kepada siapa dan akan mengembalikan kembali peradaban leluhur yang terpatok pada masa Majapahit. Hal ini sangat wajar mengingat kisah-kisah yang berkembang di zaman kolonial sering disusupi oleh campur tangan Belanda yang kental dengan politik Devide et Impera atau cara memecah belah bangsa ini. 

 

Jika diperlukan, politik adu domba  disusupkan ke dalam kisah fiktif yang menyatakan keruntuhan Majapahit diakibatkan oleh serangan Raden Fatah dan pasukan Demak. Sangat dramatis, karena hanya dengan menghadirkan emosi lokal inilah masyarakat akan mudah terjebak dan terjatuh pada kedalaman rasa. Fakta yang sebenarnya terjadi, bukan kisah fiktif  penyerangan besar-besaran Demak yang telah membumihanguskan Majapahit di masa lalu, yang terjadi saat Serat Darmogandul ditulis adalah pengerukan dan perampokan secara besar-besaran sumber daya alam negeri ini oleh Belanda.

 

Lantas, untuk apa juga sosok fiktif yang kadung diyakini sebagai messiah ini harus menagih janji peradaban? Sejarah bangsa hanya dapat dicerna oleh nalar yang sehat bukan dibentuk oleh emosi berlebihan. Bangsa kita banyak yang terjebak ke dalam cara pandang tidak obyektif terlebih ketika hal ini menyentuh wilayah budaya. Babak baru peradaban bangsa ini memang selalu diisi oleh pengutuban kelompok yang menempati dua kutub berlawanan. 

 

Pertama, para pecinta kebudayaan yang merasa budaya leluhur mereka telah dirusak oleh ajaran (agama) luar. Kedua, penganut keyakinan ekstrim dengan tampilan sangar seolah-olah sebagai pembawa kebenaran hingga tak segan menyalahkan pihak lain sebagai kelompok sesat.

 

Budaya bangsa dipreteli dengan sebutan-sebutan yang tidak pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh agama sebelumnya, kelompok ekstrimis ini tidak pernah berkompromi dengan kebudayaan yang mereka pandang sesat, khurafat, dan sebagai tindakan musyrik. Mereka menyebut diri sebagai gerakan pemurnian yang merasa sesuai dengan tuntunan agama nyatanya sama sekali belum mampu mengaplikasikan ayat pertama Al-Fatihah tentang welas asih Allah SWT.

 

Kelahiran kelompok ekstrimis yang serakah dengan keyakinan ini telah menjebak para pecinta kebudayaan pada pandangan rigid, bukan hanya memandang Islam dan perkembangannya di masa sekarang, bahkan hingga mengurai sejarah perkembangan dan penyebaran Islam sejak agama ini disebarluaskan di Nusantara oleh para wali songo. 

 

Serat-serat yang disejajarkan dengan naskah kuno padahal diproduksi di masa kolonial kembali dihadirkan oleh kelompok ini yang memandang keruntuhan budaya leluhur disebabkan oleh para penyebar Islam yang memaksakan agar Islam dianut oleh masyarakat. Tanpa mengedepankan sikap jujur, saya pikir kelompok pecinta budaya yang ekstrim ini justru akan tetap terjebak pada prasangka kurang baik dalam memandang sejarah leluhur sendiri.

 

Para penyebar Islam seperti Wali Songo mengedepankan langkah akomodatif dalam menyebarkan Islam kepada masyarakat. Cara ini bukan berarti mereka telah membajak budaya leluhur namun mentransformasikannya ke dalam bentuk baru agar mudah dicerna dan diterima oleh masyarakat. Cara yang telah dilakukan oleh Wali Songo sudah tentu tidak perlu menimbulkan sakit hati dari para pecinta budaya karena Wali Songo tidak pernah mengklaim asimilasi budaya sebagai produk asli mereka

 

Justru, melalui strategi ini telah melahirkan beberapa keyakinan baru misalnya Kejawen dan Wiwitan. Wali Songo tidak pernah menolak terma-terma keagamaan yang sebelumnya telah berkembang di masyarakat seperti puasa, sembahyang, gusti, dan pangeran. Sebaliknya, bukanya di dalam Kejawen juga terma-terma yang sebelumnya ada dalam Islam kemudian digunakan oleh penganut Kejawen seperti, nafsu, gusti Allah,  ruh, alam, dan serat. Terma-terma yang berasal dari Islam sampai saat ini tetap digunakan oleh para penganut Kejawen.

 

Apakah benar keruntuhan Majapahit harus memaksa seorang Naya Genggong penasehat Brawijaya V harus bangkit di zaman modern ini kemudian menagih janji peradaban? Hal ini seharusnya ditafsirkan ulang dan jangan dipandang sebagai kalimat lugas. Kita seharusnya menyadari, kerajaan dan peradabannya tanpa harus diserang oleh pihak lain pun sesuai dengan siklus kehidupan akan menemui ajal atau masa keruntuhannya sendiri. 

Pos terkait