Mengkritisi Para Pengkritik DPD RI

Drs. Muhammad Yamin, M.H.

Oleh : Drs. Muhammad Yamin, M.H.

DEWAN Perwakilan Daerah (DPD) RI adalah institusi politik yang lahir pasca reformasi. Reformasi 1998 yang di pelopori mahasiswa, yang kemudian telah menyadarkan seluruh elemen bangsa, bahwa UUD 1945 perlu disempurnakan untuk menjamin kedaulatan rakyat serta tuntutan perkembangan demokrasi modern.

Dalam rangka pembaharuan konstitusi itu, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pembentukan DPD ini dilakukan melalui perubahan ketiga UUD 1945 pada bulan November 2001.

Keberadaan DPD telah membangkitkan harapan masyarakat di daerah bahwa kepentingan daerah dan masalah-masalah yang dihadapi daerah dapat diangkat dan diperjuangkan di tingkat nasional. Bahwa kebijakan-kebijakan publik baik di tingkat nasional maupun daerah tidak merugikan dan bahkan berpihak kepada kepentingan daerah dan kepentingan rakyat di seluruh tanah air, dalam usaha memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Sejak itu sistem perwakilan dan parlemen di Indonesia berubah dari sistem unikameral menjadi sistem bikameral. Sistim kamar kedua bertumpu pada keinginan memberi ruang “checks and balances”serta saling mengisi secara kreatif antara dua lembaga parlemen. Sekilas mirip dengan model perwakilan sistem dua kamar murni (strong bicameralism) seperti di Amerika dengan “House of Representative” (DPR) dan Senat atau Dewan Negara dan Dewan Rakyat di Malaysia. Jika itu yang diterapkan, DPD memiliki hak legislasi, pengawasan dan anggaran yang cukup bertenaga sebagai counterpart DPR.

DPD diharapkan menjadi salah satu kamar dari sistem parlemen dua kamar dalam format baru perwakilan politik Indonesia. DPD adalah parlemen yang mewakili wilayah atau daerah dalam hal ini provinsi. Tetapi, struktur ini tidak sepenuhnya mencerminkan sistem bikameral. DPD yang semestinya salah satu kamar dari sistem dua kamar, tidak mempunyai kekuasaan yang memadai.

Mengacu pada Pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen, Hal-hal pokok yang menjadi kelemahan DPD secara ringkas bisa rumuskan sebagai berikut; 1. Kewenangan legislasi DPD hanya sebatas mengusulkan dan membahas tetapi tidak ikut dalam pengambilan keputusan; 2. Dalam hal pengawasan pelaksanaan undang-undang, kewenangan DPD hanya sebatas memberikan masukan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan; 3. Tak ada ketentuan yang mengatur DPD untuk memiliki hak meminta keterangan dari pejabat negara, pejabat pemerintah dan lainnya seperti hak dimiliki DPR.
Dengan demikian, tidak terlihat adanya perimbangan kekuasan yang memungkinkan adanya proses “checks and balances” dari DPD bila dibandingkan dengan DPR. Sulit bagi DPD mengimbangi kewenangan yang dimiliki DPR sebagai sesama lembaga tinggi negara dalam sistim dua kamar, yang dalam sistim demokrasi modern yang berasaskan konstitusi, DPD sebagaimana halnya DPR seharusnya memiliki peran, fungsi dan kewenangan yang memadai.

Dampak langsungnya adalah sulitnya bagi anggota DPD untuk dapat mempertanggung jawabkan kinerja nya baik secara moral maupun politik kepada pemilih dan daerah pemilihannya. Padahal dari segi pola pemilihan, anggota DPD dipilih lebih demokratis, karena dipilih secara langsung oleh rakyat, tanpa melalui saluran partai politik. Artinya, anggota DPD bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat tanpa di batasi oleh Partai Politik sebagaimana halnya anggota DPR dimana terdapat Partai Politik diantara anggota DPR dengan pemilih.

Parlemen Indonesia Bikameral Atau Trikameral?

Dalam perkembangan tuntutan demokrasi modern, lembaga perwakilan lebih dari satu kamar menjadi pilihan paling rasional dan dipilih banyak negara.

Penelitian yang dilakukan oleh IDEA hasilnya menunjukkan bahwa dari 54 negara demokratis yang diteliti terdapat 22 negara yang menganut sistem perwakilan unikameral, sedangkan sebanyak 32 negara memilih sistem bikameral.

Hasil penelitian IDEA itu juga menunjukan bahwa hampir semua negara demokratis yang memiliki wilayah yang luas memilih sistim majelis dua kamar, kecuali Mozambique. Meskipun banyak negara tersebut tidak berbentuk negara federasi, dengan kata lain hampir semua negara kesatuan seperti Indonesia, memilih menggunakan sistim majelis lebih dari satu kamar (Multikameral).

Dalam konteks parlemen di Indonesia, tidak bisa juga dikatakan menganut Trikameral atau tiga kamar. Karena MPR lebih berperan sebagai Power House atau joint session, dimana keanggotaannya sesuai undang-undang terdiri dari seluruh anggota dari kamar ke satu (DPR) dan kamar kedua (DPD). Jadi sistim majelis perwakilan di Indonesia tetaplah sistim dua kamar (DPR dan DPD) dengan MPR diperankan sebagai power house (Majelis Tertinggi).

Pilihan membentuk lembaga perwakilan dengan dua kamar atau lebih, dalam praktek di dasarkan pada tiga argumentasi. Yaitu, pertama, kewenangan yang berbeda; Kedua, keanggotaan yang berbeda; Ketiga, struktur kelembagaan.

Kewenangan kamar pertama dengan kamar kedua dibedakan dari segi kehkususan masing-masing kamar, misal nya urusan luar negeri menjadi kekhususan kamar pertama (DPR) sementara perimbangan keuangan daerah menjadi kekhususan kamar kedua (DPD).

Dari segi keanggotaan, kamar pertama di pilih secara langsung yang pencalonannya melalui dan harus menjadi anggota partai politik. Sedangkan anggota kamar kedua dibedakan dari anggota kamar pertama dengan keanggotaan dipilih secara langsung melalui alon perseorangan non anggota partai politik yang mewakili provinsi yang ada di Indonesia.

Secara struktur kelembagaan juga terdapat perbedaan. Diantaranya bahwa Kamar pertama yang mencerminkan representasi rakyat banyak-tanpa mengindahkan kedaerahan-cenderung didesain lebih besar. Kemudian, kamar kedua yang relatif lebih kecil daripada kamar pertama mengusung perwakilan daerah.

Penguatan DPD

DPD memiliki kelemahan terkait Fungsi legislasi yang dimiliki masih terbatas yaitu mengajukan dan membahas rancangan undang-undang tertentu saja dan itupun tidak ikut dalam pengambilan keputusan. Demikian juga dalam fungsi penganggaran, dan fungsi pengawasan.

Untuk mewujudkan sistim dua kamar yang ideal dan epektif, maka harus ada upaya penguatan dan peningkatan kapasitas DPD. Setidaknya terdaat dua hal yang harus di tinjau ulang: 1 Dibidang legislasi DPD harus mempunyai kewenangan yang sama dengan DPR dalam membahas RUU; 2. Dalam bidang pengawasan, kewenganan pengawasan DPD harus mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan DPR.

Gagasan adanya amandemen ke-5 terhadap Undang- Undang Dasar 1945 kedepan terkait dengan fungsi dan kewenangan DPD, menjadi penting agar DPD dapat mewujudkan harapan masyarakat dan daerah.
Akan tetapi, penguatan DPD melalui amandemen ini sangat bergantung pada political will seluruh partai politik yang ada. Sebab perimbangan jumlah keanggotaan DPR yang nota bene berasal dari partai politikm jauh lebih besar di banding angoota DPD, 575 Anggota DPR RI berbanding 136 Anggota DPD RI.

Bila partai politik memiliki komitmen kuat untuk memperkuat demokrasi, mendukung keberlanjutan masyarakat di daerah dalam upaya menguatkan NKRI, maka gagasan amandemen ke-5 untuk memperkuat DPD bisa segera terwujud.

Dalam hal tugas dan kerja-kerja DPD, meski saat ini dianggap memiliki kelemahan karena keterbatasan kewenangan dalam hal fungsi-fungsi legislasi, tidak berarti kehadirannya tidak memiliki makna atau bahkan terkesan menganggur, sama sekali tidak!

DPD memiliki hak untuk mengajukan rancangan undang-undang, meskipun tidak memiliki kewenangan untuk ikut menetapkan undang-undang. DPD juga diharuskan mengiventarisir Masalah-masalah yang ada di daerah untuk diteruskan ke pemerintah pusat. Anggota DPD memiliki hak dan kewenangan untuk mengundang kepala daerah, baik Gubernur, Walikota atau Bupati untuk membahas dan mensupervisi masalah-masalah di daerah.

Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya DPD juga memiliki kewenangan diantaranya melalui keterlibatan Anggota DPD dalam pengurusan dana transfer daerah yang nilainya mencapai Rp811,7 triliun pada tahun anggaran 2023. Juga dana bagi hasil yang selama ini kurang mendapat perhatian anggota DPD. Selain juga kewenangan keterlibatan dalam pengurusan dana bagi hasil, dan dana perimbangan daerah.

Eksistensi DPD adalah amanah konstitusi dan menjadi bagian dari sistem ketatanegaraan Indonesia. Keberadaan DPD niscaya memberikan harapan baru demi semakin baiknya tata kelola pemerintahan dan semakin terwakilkannya suara rakyat (daerah) di Parlemen.

Urgensi keberadaan DPD juga dimaksudkan untuk memperkuat integrasi nasional dan memperkuat demokrasi khususnya yang berkaitan dengan daerah. Salah satu ide dasar penguatan DPD adalah untuk mengurangi seminimal mungkin resiko tirani parlemen. Ide DPD sebagai kamar kedua juga untuk mengawasi pemerintah dan mencegah ambisi korupsi yang mungkin timbul dari kekuasaan terpusat pada satu kekuasaan lembaga negara.

Oleh karena itulah DPD yang juga merupakan bagian dari pilar demokrasi bangsa, seharusnya diupayakan untuk menambah dan memperkuat kewenangannya dan bukan malah dibubarkan. Kewenangan DPD harus diperkuat sebab DPD itu mewakili kepentingan daerah yang pada akhirnya untuk memperkuat kesatua nasional, dan bukannya di lemahkan atau bahkan di bullying.

Wallahu’alam Bisshawab.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *