Agustusan dari Masa ke Masa

Oleh Kang Warsa

Seminggu lalu saya diberi kesempatan oleh salah seorang sahabat untuk memaparkan atau lebih tepatnya mengisahkan kemeriahan “Agustusan” di perkampungan ketika saya masih kecil. Pemaparan kisah atau cerita ini ditayangkan langsung dan daring melalui media sosial Istagram dan Facebook.

Bacaan Lainnya

Program yang digagas oleh Bumi Creative Institute memiliki tajuk “Ngaji Bareng Arsip dan Sejarah Sukabumi” sudah tentu memiliki tujuan membedah dan membongkar kembali ingatan masa lalu dan dinamika kehidupan masyarakat agar diketahui oleh dua generasi yang tidak mengalami peristiwa saat itu, yaitu generasi Y dan alpha-zero di masa kini.

Termasuk salah satunya mengembalikan kembali ingatan generasi Baby Boomers dan x yang pernah mengalami langsung bagaimana mereka mengisi hari kemerdekaan dengan berbagai perayaan, acara, dan kemeriahan (kariaan, dalam terma Sunda).

Bulan Agustus, sejak tahun 1945 memang identik dengan perayaan dan peringatan. Selama satu dekade sejak negara ini merdeka dapat saja kita memberi asumsi, peringatan hari kemerdekaan dari tahun 1945-1955 tidak semeriah dengan beberapa dekade setelahnya.

Satu dekade pertama sejak kemerdekaan Indonesia disebut oleh Bung Karno sendiri sebagai masa revolusi fisik, atau lebih tepat disebut sebagai masa formatif dan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di masa formatif ini sudah tentu kehidupan bernegara lazim diwarnai oleh pergolakan politik, pemikiran, hingga ideologi.

Agresi Militer Belanda, proklamasi Darul Islam atau Negara Kurnia Allah oleh S.M Kartosuwiryo, pemberontakan PKI di Madiun, dan pemberontakan lainnya yang bersifat separatisme di setiap wilayah, kesemuanya ini merupakan fakta sejarah yang terjadi di masa awal pembentukan NKRI.

Di masa formatif tersebut, kemeriahan dan perayaan hari kemerdekaan dilakukan oleh bangsa Indonesia –tentu saja- dengan suasana khidmat, dipenuhi oleh renungan, akan bagaimana, seperti apa, dan dibawa ke arah mana negara yang baru terbentuk dan baru beberapa tahun merdeka ini?

Bahkan beberapa faksi dan kelompok tertentu masih mempertanyakan hingga masih terus menggungat bentuk negara, kemerdekaan, hingga dasar negara ini. Partai-partai politik dan kekuatan politik bersaing secara ketat, meskipun fair namun kerap menunjukkan pandangan primordial ideologis masing-masing.

Jika pada awal abad ke-20, bangsa ini berusaha menemukan format kebangsaan dan persatuan sampai dikumandangkan Sumpah Pemuda, di masa formatif awal kemerdekaan bangsa ini justru berjibaku memamerkan kembali taring dan taji kelompok mereka sendiri-sendiri.

Skalanya tidak sekadar di ranah politik praktis, juga telah mengakar secara kuat hingga ke entitas paling krusial dan syarat mutlak kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa: suku dan etnis.

Dekade kedua kemerdekaan merupakan fase pengokohan kebangsaan dan kenegaraan kita. Pemberontakan dan separatisme mulai terkikis, kembali kepada UUD 1945, berakhirnya negara serikat, dan penyelenggaraan pesta demokrasi terbaik pada tahun 1955 merupakan fase pendewasaan bagi bangsa ini.

Bangsa ini dapat dengan mudah bersatu dan dipersatukan oleh semangat juang atau kumandang Allahu Akbar dan Merdeka atau Mati di saat menghadapi penjajah dari luar, namun untuk bersatu dan dipersatukan dalam naungan NKRI mustahil dapat dilakukan hanya dengan kumandang dua kalimat sakral tadi.

Pada dekade kedua kemerdekaan, bangsa ini berjibaku dengan diri mereka sendiri, perang melawan kolonialisme meskipun dipandang besar tapi tidak lebih besar jika dibandingkan dengan perang melawan diri atau bangsa sendiri.

Di dekade kedua setelah kemerdekaan, konflik dan pertentangan semakin mengkrucut dan runcing; nasionalis-religius-komunis. Penggabungan ketiga ideologi ini oleh Bung Karno dalam bingkai Nasakom sebetulnya bertujuan agar ketiga komponen tersebut dapat berjalan bersama dan bisa dikendalikan dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun, pertikaian dan konflik horisontal tidak hanya terjadi di dalam kelompok politik praktis saja, hal yang sama dialami juga di internal masing-masing pihak, pertikaian di dalam internal tubuh militer saja terjadi saat itu.

Kesulitan mendamaikan tiga elemen ideologi dalam bingkai Nasakom menjadi alasan Bung Karno untuk segera mengakhirinya dengan pendekatan yang lebih keras: demokrasi terpimpin, penggabungan antara demokrasi dengan tirani.

Tampilan negara menjadi bermuka dua, satu sisi memperlihatkan kesejukkan dan kemerdekaan dalam kerangka demokrasi, namun di sisi lain menampilkan rupa buruk tirani yang dapat saja dengan mudah seseorang dijebloskan ke dalam jeruji besi hanya karena menyuarakan pandangan yang tidak sejalan dengan pemerintah.

Saat Bung Karno mengumandangkan perang terhadap nekolim (neo kolonialisme dan imperialisme) ini berarti seluruh unsur kehidupan; seni, budaya, politik, dan pandangan hidup yang berasal dari Barat harus dimusnahkan di bumi Indonesia.

Buku, kaset, piringan hitam, atau apa saja yang berhubungan erat dengan Barat dimusnahkan dengan cara dibakar.

Kecurigaan bangsa ini terhadap kelompok nekolim dan Barat menjadi jendela masuk Partai Komunis Indonesia untuk membahasakan ide-ide segar sosialisme, konsep kerakyatan, keadilan bersama, dan kesejahteraan kepada masyarakat.

Pendidikan politik yang dilakukan oleh PKI selama sepuluh tahun sejak 1955 sampai 1965 sangat efektif sekaligus menjadi kuburan bagi mereka sendiri ketika partai berhaluan komunis ini tidak mampu melawan satu disain dan rekayasa politik yang sangat kompleks dan dijalankan oleh mesin global.

Di dekade kedua kemerdekaan, perayaan dan peringatan serta pesta-pesta rakyat justru sering berlangsung di dalam internal setiap partai.

Peringatan ulang tahun partai politik lazim lebih meriah, diisi oleh; parade kader, arak-arakan simbol partai, dan pamer kekuatan (show of force) kerap mewarnai peringatan hari lahir setiap partai.

Agustusan dan kemeriahannya hanya dipandang sebagai hari kemerdekaan semata yang hanya cukup diisi dengan pelaksanaan upacara, pengibaran merah putih, dan penyambutan secara sederhana.

Kemeriahan hari kemerdekaan Indonesia mulai terlihat lebih luas di era kekuasaan Orde Baru. Dekade ketiga hingga kelima sejak proklamasi dikumandangkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta dipandang oleh pemerintah saat itu sebagai era tinggal landas atau dengan bahasa lain merupakan era bagaimana konsep-konsep langit dikembalikan ke bumi.

Kekuatan militer sangat mendominasi setiap peran kehidupan. Ideologi-ideologi tidak bersaing lagi dengan sengit seperti yang pernah terjadi di masa formatif negara ini. Hanya tersisa dua ideologi: nasionalis dan agama (kelompok Islam politis).

Bung Karo mencoba menerapkan demokrasi terpimpin di akhir kepemimpinannya, sementara itu Orde Baru berusaha menerapkan demokrasi-terpimpin jilid dua yang lebih terstruktur dan masif.

Bung Karno menciptakan musuh imajiner dengan sebutan nekolim kepada lawan politiknya, sementara Suharto menciptakan musuh bersama bagi negara yaitu komunisme atau ekstrim kiri dan islamisme atau ekstrim kanan. Hal baik yang terjadi selama Orde Baru, terlepas dari kegagalan Suharto dalam mengendalikan keserakahan kroni dan patron-kliennya, adalah terwujudnya ketertiban sosial. Suharto telah berhasil mewujudkan “amukti palapa” Gajah Mada.

Kelompok Islam politis memandang kebijakan Orde Baru seperti ini merupakan upaya pemerintah untuk mengembalikan kembali negara pada era keemasan Majapahit. Kosa-kata dan istilah-istilah mentereng yang pernah digunakan oleh Majapahit benar-benar diadopsi oleh Orde Baru, misalnya: Palapa, Bhayangkara, Nuswantara, Adipura, Kalpataru, dan lainnya.

Bagi kelompok Islam politis, meskipun Suharto menganut Islam tetapi dipandang memusuhi formalisme mereka. Di dekade kedua Orde Baru, setiap kelompok telah benar-benar dapat dibungkam, semangat tata tintrim, kerta raharja, gemah ripah, loh jinawi telah dipraktikkan oleh Orde Baru dalam kehidupan secara politis. Yang penting rakyat makmur, hidup tertib, aman, merupakan format bahasa saat itu.

Masyarakat mulai bergeliat, hari kemerdekaan diisi dengan berbagai acara, pementasan, hiburan, dan perlombaan, sudah tentu jika telah mendapat restu dari aparat setempat. Perayaan hari kemerdekaan tidak sekadar diisi dengan pelaksanaan upacara pengibaran dan penurunan bendera saja, juga diisi dengan keceriaan dan kemeriahan.

Permohonan dan permintaan izin diberlakukan oleh pemerintah bagi masyarakat yang ingin memeriahkan acara puncak agustusan. Izin tertulis harus didapat oleh masyarakat, harus mendapatkan tandatangan dari kepala desa, camat, kepolisian, koramil, hingga ditembuskan kepada bagian sospol di tingkat pemerintah kota atau kabupaten.

Hal ini harus ditempuh agar perayaan kemerdekaan berjalan mulus dan tidak dibubarkan paksa oleh aparat keamanan. Tetapi masyarakat tidak terlalu memerdulikan kesemua itu, persoalan birokrasi cukup diselesaikan oleh para tokoh masyarakat mulai dari RT, RW, dan LKDM merekalah para ksatria kampung yang dapat membuka akses hubungan dengan para ksatria yang lebih tinggi.

Di hari kemerdekaan dan bulan Agustus, yang penting mereka bisa berbahagia, mengikuti karnaval, balap karung, panjat pinang, makan kerupuk, catur, dan berpartisipasi memasang umbul-umbul serta gapura kemerdekaan.

Jenis masyarakat gameinschaft yang terikat dengan kedekatan hubungan tempat tinggal, kekerabatan, dan kebangsaan tercermin dalam sikap paguyuban masyarakat di bulan Agustus. Masyarakat telah mengecat atau mengapur pagar dan rumah mereka di awal Agustus, biasanya pagar rumah dicat dua warna, merah dan putih, suasana seperti ini jelas sekali akan mengingatkan siapapun terhadap kebiasaan masyarakat Nusantara di era kejayaan Majapahit ketika masyarakat kedatangan tamu agung dari kerajaan.

Selain melakukan pengecatan atau pengapuran rumah, masyarakat juga bahu-membahu membersihkan kampung halaman mereka. Mereka sadar, kemerdekaan harus diisi dengan suasana bersih, lahir dan batin.

Dekade keenam dan ketujuh kemerdekaan Indonesia berlangsung di era reformasi. Bagi sebagian kalangan, era ini merupakan zaman menjelang Indonesia meraih era keemasan. Jenis masyarakat telah berubah dari gamenschaft ke gesselschaft, hubungan masyarakat tidak lagi terikat atas kesamaan tempat tinggal dan kekerabatan namun telah direkatkan oleh kepentingan atau pragmatis mereka.

Patembayan memiliki ciri: ikatan di dalam memudar, kelompok-kelompok yang terbentuk menjadi lebih cair dan dibentuk atas dasar kesamaan profesi, pandangan hidup, ideologi, dan primodialisme. Bukan hal aneh jika orang-orang yang berpandangan politik berbeda dapat bertengkar atau berkonflik meskipun masih satu keluarga, ikatan kekerabatan mengalami patembayan.

Kemeriahan agustusan semakin jelas dan nampak dengan berbagai varian, jenis, dan bentuk baru. Tidak sekadar dilakukan oleh kelompok masyarakat satu kampung, juga diselenggarakan oleh beragam komunitas dan organisasi kemasyarakatan.

Setiap orang dan kelompok ingin memiliki peran dalam memeriahkan kemerdekaan Indonesia. Orde reformasi berbeda dengan Orde Baru, untuk memeriahkan hari kemerdekaan Indonesia, masyarakat tingkal memijit tombol “ayo lakukan”, tanpa perlu meminta izin dan permohonan bertele-tele hingga harus melewati serangkaian meja birokrasi yang panjang dan berbelit, kecuali di era pandemi Covid-19 ini, izin dan permohonan harus ditempuh untuk memutus penularan virus.

Harus diakui, di hari kemerdekaan Indonesia ke-75, di dekade ketujuh Indonesia Merdeka, perayaan agustusan tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya.

Bukan berarti semangat pemerintah dan masyarakat dalam merayakan kemerdekaan negara ini semakin lemah, hal ini justru menunjukkan betapa kemerdekaan yang sudah dijalani selama tujuh dekade ini kerap diwarnai oleh kemeriahan di bagian permukaannya saja. Pandemi telah menyadarkan bangsa ini bahwa kemerdekaan harus nampak dan mewujud di dalam jiwa dan raga.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *