Langkah MA Sudah Tepat, Terkait Pembatalan Kenaikan Iuran BPJS

Anggota Komisi V DPRD Jawa Barat, M Jaenudin
Anggota Komisi V DPRD Jawa Barat, M Jaenudin beserta anggota lainnya saat meminta penjelasan kepada pihak BPJS Kesehatan terkait rencana kenaikan iuran yang naik 100 persen.

SUKABUMI – Pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan memang masih mendapat beragam tanggapan dari berbagai pihak. Tapi kebanyakan masyarakat menyambut baik putusan tersebut.

Bahkan, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat, M Jaenudin pun mendukung penuh pembatalan kenaikan iuran BPJS tersebut. Karena menurutnya, kenaikan iuran itu jelas-jelas menambah beban rakyat. “Itu merupakan keputusan tepat (pembatalan kenaikan iuran BPJS),” tegasnya kepada Radar Sukabumi, Selasa (10/3),

Bacaan Lainnya

Menurut politisi PDI Perjuangan ini, ada cara lain yang bisa dilakukan BPJS untuk menutupi kekurangan anggaran. Salah satunya, dengan keterbukaan administrasi di setiap rumah sakit terhadap manifes pasiennya.

“Saya meminta BPJS lebih baik berbenah di internalnya. Perbaiki sistem pengelolaannya. Karena tak sedikit laporan yang masuk, banyak kecurangan yang terjadi dalam pelaporan biaya pasien BPJS di rumah sakit,” paparnya.

Selain itu, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) juga menyambut baik putusan yang dikeluarkan Mahkamah Agung mengenai pembatalan itu, namun juga memberikan sejumlah catatan.

Kuasa hukum KPCDI, Rusdiyanto memahami bahwa kenaikan iuran itu diberlakukan sebelumnya sebagai usaha mengatasi defisit. BPJS Kesehatan kerap mengalami defisit dan nominalnya selalu bertambah setiap tahun. Tetapi, dengan kenaikan iuran sampai seratus persen, Rusdiyanto berpendapat tidak logis jika hanya untuk menutupi defisit. Bakal ada keuntungan di situ.

“Di sisi lain memang ada momentum BPJS selalu defisit dan sekarang hampir Rp 15 triliun, itu diharapkan dengan menaikkan iuran bisa menutupi defisitnya, pasti ada keuntungan. Kamj meramalkan akan seperti itu,” ujar Rusdiyanto, Selasa (10/3).

Kenaikan juga tidak dibarengi dengan asas transparansi. Menurut Rusdi, tidak ada informasi yang jelas yang disampaikan ke masyarakat mengenai perhitungan kenaikan tersebut, berapa sebenarnya kenaikan yang dibutuhkan untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan.

Dia mencoba membandingkan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang meskipun sempat diprotes, tetapi ada perhitungan dan alasan yang bisa diterima masyarakat.

Ketika bicara soal BBM, masyarakat masih bisa menggunakan alternatif lain seperti kendaraan umum. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk layanan kesehatan.

“Masyarakat tidak punya pilihan lain karena sifatnya ini wajib, masyarakat butuh fasilitas kesehatan, kalau tidak sanggup bayar akan kena denda, akan kesulitan mendapatkan akses kesehatan,” lanjutnya.

Jika kondisi keuangan BPJS Kesehatan terus defisit, lanjut dia, maka seharusnya ada evaluasi dan audit keuangan dari pihak yang berwenang. Rusdi menyebutnya dengan kemungkinan adanya mismanajemen yang akhirnya membebani masyarakat peserta BPJS Kesehatan, khususnya pasien.

“Kita melihat bagaimana BPJS bisa merugi dengan memberi kesempatan lembaga auditor untuk mengecek keuangan dia,” tegasnya.(deb/lyn/dee)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *