“Dengan kondisi seperti ini, peternak telur rakyat seperti saya jelas tidak bisa Break Even Point (BEP) alias rugi. Karena kita harus menjaga kualitas dan ini berpengaruh pada cost produksi, seperti pakan yang harus berkualitas,” ungkap alumnus Universitas Gadja Mada ini.
Kerugian yang diderita peternak sekelas Suranto di tengah anjloknya harga telur berkisar Rp2.000 per kilogram sehari. Artinya, jika izin produksi 50.000 kilogram sehari, maka kisaran paling minimun kerugian yakni Rp100 juta sehari. “Bayangkan berapa kerugian yang diderita peternak telur rakyat seperti saya dalam sebulan,” cetusnya.
Untuk itu, Suranto meminta kepada pemerintah agar lebih ketat lagi dalam melakukan pengawasan izin produksi di lapangan. Karena tak menutup kemungkinan adanya oknum alias mafia telur yang bermain sehingga mengakibatkan overproduksi dan turunnya harga telur. Hal kedua, pemerintah juga harus tegas memberikan izin produksi kepada peternak.
“Ya kalau izinnya 100.000 kilogram per hari, ya harus seperti itu. Kalau dia nakal, Kalau perlu izinnya dicabut. Saya kira tidak hanya di Sukabumi ada peternak nakal, di daerah lain juga ada. Termasuk mafia-mafia telurnya. Jadi sekali lagi, pemerintah harus hadir dan tegas dalam melakukan pengawasan. Karena kasihan kami peternak yang jujur,” pungkasnya. (izo)