Teror dan Kegetiran Politik

Oleh: Handi Salam
*Redaktur di Radar Sukabumi

Minggu pagi, 13 Mei 2018 sekitar pukul 7.30 WIB, sejumlah media yang ada Indonesia dan bahkan asing secara serentak menerima kabar terjadinya aksi serangan teror kepada tiga Gereja di Surabaya. Akibat serangan terorisme yang katanya dilakukan satu keluarga ini, sejumlah orang yang tidak berdosa menjadi korban. Jelas dengan adanya kejadian ini bisa menggangu kestabilitasan Indonesia dan mengacaukan sistem politik Indonesia.

Bacaan Lainnya

Meminjam kata seorang ekonom India Amartya Sen (2007), teror sejatinya konflik yang dibingkai identitas religius sebagai respons ketidakadilan. Teror sengaja diciptakan untuk memperoleh simpati dan dukungan dari basis identitas sama. Sementara berdasarkan Schmid dan Joungman (2005) tujuan dari teror tersebut ada tiga tipologi. Pertama, kekerasan di ruang publik untuk menciptakan ketakutan dan fenomena ini strategi penampilan diri. Kedua, agenda menyemai ikatan identitas dengan recruiting dan brainwash (cuci-otak). Dan Tipologi ketiga, ketika semakin matang digunakan sebagai massa meraih kuasa politik dengan tindakan teror sistemik.

Untuk situasi saat ini di Indonesia sangat mungkin dan sudah terbentuk mungkin untuk alasan tipologi pertama dan kedua. Namun, untuk tipologi ketiga menurut saya sulit diwujudkan melihat pengumulan Islam yang belum untuh karena terpecah-pecah dengan beberapa aliran modern dan tradisional. Berdasarkan sejarah bangsa kita, pelaku teror bisa dikategorikan dua faktor, pertama dikarenakan tumbuh alami karena perubahan situasi sosial ekonomi dan sosial politik dan kedua pengaruh firkah jihad-teroris dan berelasi dengan jaringan transnasional Islam.

Didalam buku Grant Wardlaw yang berjudul Political Terrorism (1982), jenis teror dan terorisme memiliki perbedaan. Teror adalah aktivitas kekerasan yang tidak dengan perangkat kerja sistematis. Terorisme merupakan gerakan terstruktur dan teroganisasi serta berkesinambungan untuk mewujudkan tujuan dengan teror sistemik.
Nah, yang jadi pertanyaannya kejadian-kejadian kegetiran mulai dari kerusuhan di Rutan Mako Brimob yang menewaskan lima anggota polisi dan terduga teroris pada beberapa lalu, penembakan empat terduga teroris di Cianjur, hingga kejadian pemboman di Surabaya yang menewaskan puluhan orang merupakan jenis teror apa masuk terorisme. Setidaknya masyarakat sudah tahu dan mengetahui dengan semua kejadian yang terjadi dengan cara mengamati berita-berita di televisi dan media cetak maupun elektronik.

Sejatinya, Islam Asia Tenggara khsusunya di Indonesia dibangun dari pengalaman multikultural yang mengakui etnik dan keagamaan masyarakat. Khazanah toleransi tumbuh subur dan relasi antarkelompok sosial memicu tumbuhnya civic virtue dan civic culture berperan menangkal benturan sosial. Situasi ini menjadi angin segar sebetulnya untuk menumbuhkan intelektualitas dan menyemai karakter damai antar agama.

Namun, celakanya fakta saat ini belum diimbangi dengan tumbuhnya demokrasi berkeadilan. Kesejahtraan masyarakat belum membentuk kemandirian, karena manusia yang mandiri mampu menekan konflik sosial. Ya, penyataan kemiskinan yang menjadi latar utama masyarakat gampang direkrut dan dicuci otaknya dijadikan kombatan teroris menjadi masalah utama. Kebencian muncul dari rasa ketidakadilan pemerintah terhadap kelompok-kelompok yang dianggap berbahaya akan menyuburkan jaringan-jaringan baru.

Jika ingin menangkal terjadinya teror agar tetap tidur, ya itu tadi adalah harus membangun kemandirian manusia harus berjalan baik. Selain itu juga, tentunya adanya dana operasional yang cukup, membangun intelijen yang kompeten, revisi Undang-Undang Terorisme, kemudian tidak asal menangkap dan mengadili manusia secara tidak bersalah, soalnya jika hal itu terus dilakukan maka akan ada sel-sel baru yang tumbuh dari keluarga korban hingga temannya dengan alasan dendam.

Kasus terorisme yang muncul subur sejak runtuhnya jaman Orde Baru atau presiden kedua Republik ini sejatinya adalah kegagalan sistem politik yang tidak memberikan kepuasan kepada setiap kelompok masyarakat yang ada di Indonesia. Ya memang kita tahu bahwa permasalah dan tuntutan masyarakat di Indonesia berbeda-beda dan memiliki kebutuhan yang berbeda, sudah barang pasti kebutuhan itu tidak bisa sepenuhnya dipenuhi pemerintah dan akhirnya sebagian masyarakat menuntut.

Jika sikap pemerintah tidak respon dan bahkan tidak menganggap serius terhadap tuntutan, maka yang terjadi masyarakat yang dalam hal ini masuk dikategorikan kelompok radikal melakukan aksi nekat hingga terjadinya aksi terorisme, korbannya jelas masyarakat yang tidak mengetahui duduk persoalan yang tidak berdosa. Jadi kesimpulannya input dan masukan yang tidak dipenuhi serta tidak dapat perhatian khusus bisa mengakibatkan masyarakat nekat untuk melakukan tindakan teror dan selain itu juga dendam dan rasa dikerdilkan atau dikucilkan oleh pemerintah bisa menjadi satu alasan teror terus dilakukan.

Jelas, maksud dari tulisan saya ini adalah ingin menyampaikan bahwa ada erat hubungannya kegiatan teror dengan sistem perpolitikan di sebuah negara, maka solusinya sebuah negara harus benar-benar mengatur sistem perpolitikan yang cantik dan apik hingga kejadian teror di negri ini bisa ditekan serendah mungkin. Maka dari itu saya sepakat dengan pernyataan ilmuwan politik dari Harvard University Prof. David Easton bahwa didalam sebuah sistem politik, terdapat Input, Output, dan Lingkungan yang memengaruhinya.

Pada akhirnya saya berpendapat secara pribadi, bahwa sebetulnya pak Presiden Jokowi sudah tahu betul dibalik teror-teror yang terjadi saat ini, tapi sebagai politisi beliau sedang tersandera secara politik yang mengharuskan bermain cantik. Benar seperti kata salah satu musisi terkenal Indonesia, bahwa terorisme sejatinya selalu politik, mereka dibiayai oleh elit, dirancang oleh militer dan kemudian yang melakukan eksekusi kelas menengah dan bahwa yang dalam kondisi Frustasi dan kurang edukasi.

Sebetulnya, benar bahwa agama adalah topeng cantik untuk menjaring manusia yang terbutakan ucapan manusia pintar hingga terobsesi mati muda dengan menjadi martir. Dan saya kembali tegaskan, bahwa tindakan ini bukan untuk agama tapi sejatinya para pelaku teror dan terorisme tidak memiliki agama yang utuh. Kalau ada yang bertanya, lalu apa akhir yang didapat dari semua ini, jawabannya sederhana. Kekuasaan tak terbatas atas bangsa yang kaya raya Indonesia Tercinta. Apakah ada keterlibatan Politik Negara Asing dalam kasus ini, saya kira pembaca dan masyarakat bisa menilai sendiri. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *