Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 5)

kang-warsa

Oleh Kang Warsa

Kawasan Jalan R. Syamsudin, S.H dan Jalan Ir. H. Juanda memang telah diproyeksikan oleh pemerintah sebagai kawasan perkantoran dan pendidikan. Di tahun 80-an sampai awal 90-an, saya masih kecil. Tentu saja sebagai orang yang menetap di kampung, sangat jarang –baik  diajak oleh orangtua atau sengaja– jalan-jalan di kawasan ini.

Bacaan Lainnya

Walakin, dari kenampakan arsitektur dan beberapa bangunan yang ada saat ini, mulai dari Balai Kota, Gedung DPRD, Sekolah, dan fasilitas publik lainnya menjadi alasan kawasan ini menjadi sentral pemerintahan dan pendidikan. Apalagi jika kita menelusurinya sampai ke era kolonial, sangat kentara sekali Pemerintah Hindia Belanda menjadikan kawasan Cikotengsi (Cikole Tengah Sukabumi) sebagai pusat pemerintahan Kota Praja Sukabumi.

Sampai tahun 90-an, kawasan ini memang layak dijadikan kawasan perkantoran atau pusat pemerintahan dengan beberapa alasan.

Pertama, kawasan perkantoran sebagai pusat pemerintahan mensyaratkan keheningan dan kesejukan, tanpa aktivitas yang tinggi dan hilir-mudik serta lalu-lalang kendaraan bermotor. Sepengetahuan saya, sampai saat itu, Jalan R. Syamsudin, S.H dan Jl Ir. H. Juanda memiliki syarat ketenangan dan kesejukan. Jumlah kendaraan bermotor yang melalui kedua jalan ini masih sangat jarang, kecuali angkutan umum jurusan Bhayangkara.

Kedua, kawasan perkantoran dan pemerintahan mensyaratkan kehadiran unsur-unsur keheningan  tanpa campur tangan kehadiran lapisan sosial pada piramida paling bawah. Dalam sistem sosial Nusantara, nihilnya campur tangan atau rongrongan dari kelompok sosial lain terhadap pemerintah akan menghasilkan regulasi yang ajeg dan benar-benar mengedepankan kebijaksanaan.

Kita dapat membayangkan, di era Hindia Belanda, tak akan pernah kita temui seseorang dari strata paling rendah (Tuccha) dapat seenaknya memasuki halaman Balai Kota. Bagi pemerintah masa itu, tempat vital seperti kantor pemerintahan tidak boleh tersentuh oleh kelompok Tuccha, apalagi sampai diberi keleluasaan memberikan aspirasi terhadap kebijakan pemerintah, maka regulasi yang keluar dari Balai Kota tentu saja akan menjadi ngawur dan lebih mementingkan golongan tertentu saja.

Tuccha adalah penjahat yang tidak boleh diberi keleluasaan dalam merecoki kebijakan pemerintah. Sampai tahun 90-an, kita mungkin pernah membaca dan mendengar cerita “para preman” benar-benar dipersempit ruang geraknya oleh Pemerintah Orde Baru.

Meskipun saat ini, tindakan pemerintah Orde Baru dipandang melanggar Hak Asasi Manusia, walakin tindakan pemerintah saat itu memang sejalan dengan sistem sosial Nusantara Kuno, tidak memberikan keleluasaan kepada para penjahat, kelas Tuccha dalam hal apapun. Alasannya sederhana, bagaimana mungkin sebuah kebijakan menjadi bijak, jika sudah dirasuki oleh keinginan dan hasrat para pemakar?

Ketiga, kawasan perkantoran dan pemerintahan mensyaratkan keterhubungan dengan pendidikan (karesian), dan perwakilan rakyat (karamaan). Lembaga pendidikan di Kotamadya Daerah Tk II Sukabumi pada tahun 80-90-an memang menyebar dan telah merata di setiap kecamatan. Hanya saja di kawasan Jalan R. Syamsudin, S.H dan Jl. Ir. H. Juanda terpaut tiga konsep jagat alit, seturut dengan nilai dan tradisi Sunda; Karatuan (Balai Kota), Karesian (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan), serta Karamaan (DPRD).

Melalui konsep tritangtu ini, kita sebetulnya sudah dapat mengukur kompetensi apa saja yang harus dimiliki oleh orang-orang yang menjalankan tiga lembaga ini. Saya ambil contoh, karena sekarang kita telah memasuki tahun politik, wilayah karamaan (saat ini anggap saja diisi oleh para wakil rakyat), orang-orang yang menempati wilayah ini harus memiliki ciri-ciri seorang rama (tetua).

Seturut dengan Naskah Siksa Kandang Karesian, rama memiliki peran sentral sebagai: “sabda kita pina/h/ka rama”,  wadah atau tempat menitipkan aspirasi kita. Karena wilayah ini sebagai perwakilan rakyat, maka orang-orang yang ada di dalamnya harus memahami dan mampu menafsirkan aspirasi rakyat.

Konsep ini memang terbilang utopia, hanya saja jika kita melanggar tetekon yang semestinya dipegang teguh, yang akan muncul dalam kehidupan adalah kekisruhan. Bahkan, seorang rama itu seharusnya telah memahami terlebih dahulu harapan warga tanpa perlu mereka mendengarkan langsung dari mereka.

Pemerintah Hindia Belanda memahami konsep tritangtu dan sistem sosial masyarakat Sunda yang tangguh dan ajeg, maka mereka menerapkannya dalam sistem sosial kolonial dengan membagi masyarakat ke dalam tiga kelas. Tentu saja, sistem sosial rekayasa Belanda ditujukan agar masyarakat menjadi lebih tertib bukan berdasarkan peran dan fungsi mereka dalam kehidupan, melainkan agar masyarakat kelas III (rakyat jelata) tidak berani mengusik-usik kebijakan mereka.

Sistem sosial Sunda tidak seperti ini melainkan menempatkan manusia pada kelas yang tepat dan sesuai dengan kapasitas keilmuannya. Bandingkan, jika di dalam sistem sosial Sunda orang berilmu menempati kelas sosial pertama, sedangkan di dalam sistem sosial produk Belanda, sepintar dan secerdas apa pun, warga pribumi hanya mampu menempati kelas sosial ke II, itu juga jika mereka mengabdi menjadi ambtenaar di  pemerintahan Hindia Belanda.

Sisa-sisa sistem sosial Sunda dan Nusantara mulai dipraktikkan kembali di masa pemerintahan Orde Baru. Sebagai orang Jawa, Soeharto memang sangat dekat dengan tradisi Jawa. Dalam sistem pemerintahan, Orde Baru banyak mengadopsi sistem sosial Majapahit. Sebagai contoh; penamaan ruangan-ruangan di Gedung DPR hingga lembaga-lembaga strategis nasional mengadopsi apa saja yang berasal dari Majapahit.

Bagi masyarakat Sunda dan masyarakat Indonesia secara umum, mungkin Majapahit-Sentris ala Orde Baru begitu tidak terasa karena bagi rakyat Indonesia pasca-trauma Gerakan 30 September 1965 yang mereka harapkan adalah ketentraman, ketertiban, dan ketercukupan pangan. Rakyat tidak terlalu memperdulikan alasan selain tiga hal mendasar ini.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *