Jalan dan Peradaban

Handi-Salam
Handi-Salam

Oleh : Handi Salam

BAIK buruknya jalan adalah miniatur sebuah peradaban, katanya. Saya kagum jalan didaerah jawa. Tepatnya, Di Daerah Istimewa Jogjakarta menuju Jawa Tengah. Jalan itu memberi ruang kendaraan motor dan mobil menyalip di kiri. Padahal, di Jawa Barat dilarang. Rentan Kecelakaan. Tapi disana, warganya sudah terbiasa. Orang asing yang melintas mematuhi aturan itu.

Sedikit sekali lampu penerangan. Tapi, pengendara motor sudah terbiasa. Jarang terdengar Klakson. Pekan kemarin saya melintas. Dulu pernah dan sering, tapi sekarang sudah banyak berubah. Banyak jalur tikus (alternatif) yang hangat. Meski gelap, perjalanan bisa cepat. Jarang ada ‘pak Ogah’ disetiap perempatan. Hukum positif dan hukum sosial seolah menyatu. Itu fikiran saya.

Banyak kesepakatan yang tidak tertulis dijalan itu. Tapi dipatuhi pengendara. Yang saya lihat jarang sekali polisi berjaga untuk menindak pelanggar lalu lintas. Orang turut pada tanda-tanda, wakil-wakil hukum yang tak bisa menilang dan mendenda. Beda dengan Di Sini, polisi malah tidak ditakuti. banyak Trotoar yang tinggi dipanjat sepeda motor. Betapa mahalnya ongkos untuk tertib.

Dengan kebutuhan yang menekan, ketidaktertiban menjadi pilihan karena ruang untuk gerak gegas kian menyempit.
Masalahnya, yang ironis juga meruyak di mana-mana. Pemerintah membangun jalan yang nyaman dan mulus, tapi anak-anak muda memakainya untuk kebut-kebutan. Jalan mulus dan rapi itu pun dirusak kembali dengan kehadiran ‘polisi tidur’. Berputar terus dalam lingkaran setan kekacauan.

Mungkin pemikiran warga Jogja Adopsi dari Jepang. Itu mungkin, karena pernah dijajah selama 3,5 Tahun dari 8 Maret 1942 sampai 17 Agustus 1945. Pun warga indonesia lainnya. Orang Jepang sangat kerasa sekali disana. Salah satu bekas benteng yang juga museumnya tertata rapi. Ya itu benteng Vredeburg. Didalamnya ada budaya perjalanan, termasuk budaya perjalanan bangsa jepang.

Orang Jepang patuh pada marka, tanda, dan aturan di jalan. Lingkaran setan kekacauan bisa diputus. Jalanan, bagi orang Jepang adalah miniatur peradaban.

Orang Jepang sangat identik dengan budaya disiplinnya yang tinggi. Mungkin percis seperti warga Jogjakarta. Mengukuti apa yang Sultannya sampaikan. Mereka dididik sangat keras sejak kecil. Budaya Disiplinnya tinggi. Para pemandu wisata sampai tukang becak tak berani memainkan harga kepada wisatawan. Warga luarpun betah tinggal disana. Ada yang 7 tahun cari nafkah disana. Itu benar, karena saya mendengar sendiri.

Pelancong dari luar daerah dijadikan raja. Ditunjukan tempat yang terbaik. Membuat wisata disana tetap terjaga dan tetap Istimewa. Kedisplinan dibangun dari segala segi.

Seperti di Jepang. Salah satu teman pernah lama di Jepang. Bercerita bagaimana Disiplinya disana.

“Mereka diajarkan disiplin sejak masih kecil. Caranya, orang tuanya ikut disiplin,” ujar teman yang pernah lama tinggal di Jepang sebagai buruh Pabrik.

Disana, yang pertama harus disiplin adalah orang tua. Kemudian ditularkan kepada anaknya. Jika yang menyuruh disiplin tidak disiplin, maka yang disuruhnya enggan disiplin. Contohnya saat antre. Jika orang tuanya Antre, maka anaknya ikut. Tak perlu dikasih tau langsung. Membiasakan dengan praktek sudah baik.

“Disini, bukan tidak mau dipraktikan dan dilakukan. Tapi budaya yang membuat tidak terbiasa, “tandasnya.

Bagi orang yang disiplin melanggar aturan adalah malu. Malu dan takut jauh berbeda. Ketika menjalankan aturan karena takut polisi, jika tidak ada maka dilanggar. Jelas beda dengan malu. Kedisiplinan dimulai sejak kecil. Sekali lagi, tidak hanya mengajarkan, tetapi peran orangtua menjadi penting untuk mencontohkannya.

Budaya kita beda jauh. Hal-hal yang tidak disiplin dicontohkan para pemimpinnya. Korupsi silih berganti. Itupun yang ketahuan, yang tidak bukan korupsi. Rakyat kecilpun ikut-ikutan korupsi. Diberi peluang dan ruang untuk itu. Berapa kepala desa yang tertangkap gara-gara dana desa. Dulu saya pernah menulis ‘Korupsi Masuk Desa’. Tak semua pemimpin kuat iman. Niat main bersih tergoda, disengaja atau dijurumuskan sama saja.

Sekarang, Apdesi yang katanya lembaga para aparat desa ikut memberikan aspirasi 3 Priode. Bukan lagi slogan pembangunan dimulai dari Desa. Sekarang 3 Priode dimulai dari Desa ke Desa. Tapi, mungkinkah bisa mulus. Peradaban kita sedang tidak baik. Setelah harga-harga sedang naik. Harga Minyak dunia turun, BBM tetap naik. Imbasnya Harga-harga naik.

Kabar baiknya, ada Bantuan Langsung Tunai (BLT) lagi. BLT Minyak goreng mulai disebar, BLT untuk Para pekerja juga. Mungkin cukup untuk mengobati luka. Bagaimana yang tidak menerima. Faktanya penyalurannya tidak 100 persen baik dan tepat sasaran. Datanya seringkali kabur. Lagi-lagi oknum, jalan peradaban kita sedang kacau. Masih ada waktu untuk diperbaiki. Tapi jalannya terjal. Semoga masih ada jalan. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *