Rempang, Kampung Tua dan Pohon Kelapa

Hazairin-Sitepu
Hazairin Sitepu

Rempang dalam Editorial (1)
Oleh Hazairin Sitepu

Angin memang tidak bertiup kencang di Rempang tetapi pohon-pohon seperti tampak meliuk. Ombak pun tidak mendebur keras di Sembulang tetapi pantai seperti terasa diterjang badai dan gelombang pasang. Begitulah kira-kira gambaran suasana hati orang-orang Melayu di Pulau Rempang.

Bacaan Lainnya

Tokoh-tokoh dan masyarakat Melayu sejak 7 September memang melakukan perlawanan kepada pemerintah akibat sengketa agraria atas tanah Pula Rempang. Dan, bentrokan pun terjadi.

Pemerintah lalu mengerahkan kekuatan bersenjata: polisi dan TNI, untuk menghadapi masyarakat yang melakukan perlawanan itu. Sekolah dan murid-murid pun ditembaki, dengan peluru gas airmata. Tokoh-tokoh yang memimpin perlawanan itu pun ditangkap. Rempang mencekam.

Pemerintah, dalam perencanaan investasi jangka panjang, memberikan konsesi kepada Xinyi Glass Holdings Ltd atas 2.000 hektoare dari kurang-lebih 17.000 hektoare lahan Pulau Rempang. Masa konsesi 80 tahun. Lalu investor dari Tiongok itu bekerja sama PT Makmur Elok Graha akan membangun Rempang Eco City. Itu masalahnya.

Protes dan perlawanan tidak hanya karena Rempang kelak berubah fungsi, tetapi 16 Kampung Tua Melayu yang tidak ingin dibuldoser. Lalu, masyarakat yang mau digusur itu entah ke mana akan direlokasi. Sampai akhir pekan ketiga September, masyarakat Rempang masih bertahan dengan sikap tidak ingin direlokasi.

Saya dua hari pergi ke beberapa tempat di Pula Rempang. Bertanya dan diskusi dengan beberapa tokoh. Saya juga datang ke Posko pendaftaran nama orang-orang yang bersedia direlokasi. Pun pergi ke daerah yang (direncanakan) menjadi tempat relokasi lebih dari tujuh ribu orang Pulau Rempang itu.

Dari sembila orang yang saya tanya secara terpisah di empat tempat, semuanya menyatakan tidak bersedia direlokasi. Mereka adalah petani, nelayan dan pedagang yang menetap di Kelurahan Sembulang dan Rempang Cate.

Empat alasan mengapa tidak bersedia direlokasi. Alasan-alasan ini diperoleh dari hasil diskusi.

Pertama, Rempang sudah menjadi tempat turun-temurun sejak nenek-kakek moyang. “Saya ini generasi keenam,” kata Jufri.

Kedua, belum ada ikatan perjanjian tentang tempat relokasi. Akan direlokasi ke mana. Mau tinggal di mana. “Kita tidak pernah tau apakah sudah ada rumah buat kami tinggal nanti,” kata seorang penduduk di Sembulang.

Ketiga, belum ada perjanjian dan ikatan kompensasi tentang kerugian harta-benda. Misalnya, rumah dihargai berapa. Lahan kebun dihargai berapa. Satu pohon kelapa dihargai berapa, satu pohon pisang dihargai berapa, satu pohon mangga dihargai berapa, dll.

Keempat, belum ada kesepakatan tentang nasib kampung-kampung tua Melayu di Rempang. Apakah kampung-kampung itu digusur juga seperti menggusur rumah penduduk nantinya. Jika digusur juga, maka mereka menganggap sama dengan menggusur eksistensi dan identitas masyarakat Melayu.

Saya datang ke Posko pendaftaran di Kantor Kecamatan Galang di Sembulang. Lebih dari 30 menit di situ tidak satu pun orang yang datang mendaftar. Sejak dibuka pagi hari sampai selepas salat Jumat, baru ada tiga orang yang datang menuliskan nama dan alamatnya. “Mereka datang bertanya-tanya,” kata seorang petugas.

Petugas ini mengatakan, dari kurang-lebih 700 kepala keluarga (KK) di wilayah kerja Posko di kantor kecamatan itu, baru 200 KK yang mendaftar. “Mereka menyatakan siap direlokasi,” katanya.

Tetapi menurut seorang warga di Rempang Cate, orang-orang yang namanya terdaftar itu sebenarnya hanya datang bertanya-tanya akan dapat konpensasi apa. “Belum tentu mereka bersedia direlokasi,” kata pemilik usaha jasa bengkel itu.

Rasa waswas banyak orang di Rempang antara lain karena takut ditangkap. “Tokoh sekelas Bang Long saja ditangkap, apa lagi saya,” kata seorang pemuda Rempang. Polisi memang menangkap 43 tokoh ketika berdemo menentang relokasi Rempang. Bang Long salah satunya. Tokoh Melayu ini bernama lengkap Datok Iswandi bin M. Yakub.

Lalu tenggat pemerintah 28 September masyarakat Rempang direlokasi benar-benar sudah final?

Lalu jika masih sebagian besar belum menyatakan bersedia, apakah tetap dibuldoser?

Setelah dibuldoser diangkut ke mana?

Dua pantun ini mungkin saja menggambarkan suasana hati orang-orang Rempang:

Kalau parang katakan parang, parang menebas pandan duri. Kalau kampung tua diambil orang, seperti menumpang di tanah sendiri.
Pergi masuk ke dalam hutan, ambek kayu membuat gasing. Tana kita tanah bertuan, sekarang kita mulai terasing (pantun ini saya kutip dari akun TikTok @Melayu Kepulauan Riau).

Empat alasan tadi dapat menjadi dasar berunding antara masyarakat Rempang dengan pemerintah. Masayarakat adalah rakyat yang memiliki hak atas segala apa yang mereka miliki selama ini. Pemerintah, atas dasar hukum, memang memiliki wewenang mengatur. Tetapi ketika mengatur, tidak mengorbankan hak-hak rakyatnya. Dan satu hak yang paling mendasar adalah rasa aman. (**)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *