Ekspedisi Gerakan Anak Negeri ke Kasepuhan Ciptagelar (4), Padi, Ketika Bintang di Atas Kepala

Hazairin Sitepu
Hazairin Sitepu

Oleh Hazairin Sitepu

Padi boleh ditanam sebanyak-banyaknya. Seluas-luasnya di sawah atau pun di ladang. Tetapi hasil panennya tidak boleh dijual. Juga tidak boleh dibeli. Baik dalam bentuk masih padi atau pun sudah menjadi beras.

Bacaan Lainnya

Beras memang ekonomi utama masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. Ada peternakan sapi, kambing. Ada budidaya ikan air tawar. Tetapi beras adalah induk, pusat, energi, dan kemuliaan ekonomi. Juga kemuliaan kehidupan. Beras atau padi adalah benda sakral.

Jika Anda pergi ke kampung-kampung adat Kasepuhan Ciptagelar di kaki sampai menjelang puncak Gunung Halimun, Sukabumi, Jawa Barat, akan melihat banyak sawah terasering terhampar di lereng-lereng gunung. Indah sekali.

Sawah-sawah petani adat itu, setelah panen, padi-padinya akan memenuhi lumbung-lumbung pangan. Jumlahnya ribuan. Rumah-rumah lumbung itu tersebar di 586 kampung dalam wilayah kasepuhan.

Tetapi padi yang benda sakral itu, hanya boleh ditanam satu kali dalam setahun. Tidak boleh lebih. Itu aturan adat.
Artinya, di seluruh wilayah Kasepuhan Ciptagelar, dalam setahun, hanya ada satu musim tanam. Semua warga kasepuhan patuh kepada aturan adat yang sudah turun-temurun itu. Termasuk abah, pemimpin adat tertinggi.

Ini sangat berbeda dengan petani-petani padi di luar, yang bisa memiliki dua sampai tiga kali musim tanam dalam setahun. Kalau satu hektare sawah bisa 10 ton padi untuk sekali panen, maka dalam setahun petani-petani di luar itu bisa menghasilkan 30 ton. Tiga kali panen.

Mengapa hanya satu musim tanam? Petani-petani Kasepuhan Ciptagelar baru menanam padi setelah ada petunjuk alam. Petunjuk alam itu datangnya hanya sekali dalam setahun.

Ada bintang di langit yang menjadi petunjuk bagi petani Ciptagelar untuk menanam padi. Bintangnya ada dua: Kerti dan Kidang.

Jika posisi bintang Kerti berada di atas kepala, maka itu saatnya menyiapkan perkakas (peralatan-peralatan yang diperlukan untuk menyiapkan lahan dan pada saat menanam). Setelah itu menunggu bintang Kidang. “Dan begitu Kidang berada di atas kita, itu saatnya menanam,” ujar Abah Ugi.

Abah Ugi Sugriana Rakasiwi adalah pemimpin adat tertinggi di Kasepuhan Ciptagelar. Saya mendapat banyak penjelasan dari Abah Ugi tentang mengapa padi begitu dimuliakan. Begitu disakralkan. “Ini adat dari leluhur kita yang sudah turun-temurun,” ujarnya.

Begitu posisi bintang Kidang di atas kepala, maka ritual Ngaset dilakukan. Setelah itu petani pun menanam padi.
Ada lima ritual khusus untuk padi: Ngaset, Mipit, Nganyaran, Ponggokan dan Seren Taon.

Kalau Ngaset upacara untuk menanam padi, maka Mipit itu upacara memanen. Setelah panen, ada upacara Nganyaran. Upacara ini untuk menikmati hasil panen pertama tahun itu.

kampung-kampung adat Kasepuhan Ciptagelar
Kondisi Kampung-kampung adat Kasepuhan Ciptagelar

Ternyata ada sensus juga di Kasepuhan Ciptagelar. Sensus hasil panen padi. Namanya ritual Ponggokan. “Upacara ini untuk menghitung berapa hasil panen tahun ini,” Abah Ugi menjelaskan.

Ritual paling besar adalah Seren Taon. Upacara ini biasanya dihadiri sangat banyak orang dari berbagai daerah. Tidak hanya di Jawa Barat, tetapi juga bahkan dari luar negeri.

Abah Ugi mengatakan, “Semacam tahun baru. Ini upacara peralihan tahun (musim tanam). Untuk memasuki musim tanam tahun berikutnya.”

Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar sangat jauh dari kekurangan pangan. Jauh dari kelaparan. Stok beras/padi mereka melimpah.

Penduduk adat di kasepuhan yang kurang-lebih 30 ribu jiwa itu memiliki lumbung pangan lebih dari 10 ribu. Satu keluarga memiliki lebih dari satu lumbung. Abah Ugi sendiri, selaku pemimpin adat, memiliki 250 lumbung.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *