Mahasiswa Harus Kembali ke Pejuang Islam, Kesederhanaan Lafran Pane Jadi Teladan

Prof Drs H Lafran Pane menjadi salah satu tokoh yang akan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, kemarin (9/11) di Jakarta.

Seperti apa sosok Lafran Pane? Lafran Pane, meninggal pada 24 Januari 1994 silam. Ia dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Brontokusuman, Mergangsan, Yogyakarta.

Bacaan Lainnya

Dalam perjalanan pendidikannya, Lafran sempat di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Dia yang kemudian aktif menjadi dosen dalam kariernya, merupakan tokoh pendiri dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Lafran dikenal dengan sosok yang sederhana. Baik oleh para mahasiswanya maupun rekan-rekannya yang ada di himpunan. Selasa (7/11) beberapa orang yang sempat merasakan bagaimana keteladanannya, menyempatkan diri untuk berziarah ke makamnya.

Siti Hadiroh, ketua HMI-Wati masa 1968-1969 mengatakan, kesederhanaan Lafran Pane terlihat dalam kesehariannya. Saat menjadi dosen, terbiasa ia menggunakan sepeda onthel atau naik becak dan bus.

Bahkan saat ia sudah menjadi salah satu Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Presiden. ”Saat sudah jadi DPA, tetap naik onthel. Bahkan, beliau tidak punya rumah.

Meninggal di perumahan dosen IKIP (saat ini UNY) di daerah Deresan (Yogya),” kata Siti kepada JawaPos.com saat ziarah.

Mengingat sosok Lafran, keteladanannya merupakan cambuk bagi HMI. Terutama bagi generasi saat ini. ”Bukannya banyak, tapi ada beberapa mahasiswa yang hura-hura, kalau sekarang ke diskotik.

Ya tidak banyak, tapi ada. Kalau ingat sosok Lafran, mahasiswa harus betul-betul kembali ke pejuang Islam,” tegas Siti.

Sosoknya ini, juga dikenang di mata keluarga. Salah satu cucunya yang tinggal di Karangkajen, Yogyakarta, Tofani Arief Budima Pane, 40, mengatakan, beliau adalah kakek yang penyayang.

”Saat ayah saya meninggal, Lafran tidak pernah membedakan ibu saya sebagai menantu,” kata Tofani.

Dari saat kecil, dia tak pernah kehilangan kasih sayangnya. Terkadang, Lafran Pane datang membawakan makanan untuknya.

”Beliau itu sangat punya prinsip. Budaya yang berkarakter, tentang keseserhanaan, kedisiplinan,” tutur dia.

Tofani menyontohkan seperti saat di rumah. Ketika jam makan, baru ada makanan di meja. Bahkan, keluarga harus makan bersama dalam satu meja ketika tiba waktunya.

”Tidak ada yang makan sambil nonton tivi. Sampai sekarang terngiang-ngiang,” ujar Tofani.

Kedisiplinannya juga dibawanya dalam bekerja.

Ketika dia menjadi dosen dan diberi fasilitas sopir. ”Ketika itu urusan pekerjaan, beliau mau dijemput. Kalau tidak, ya tidak mau,” ucap Tofani.

Karakter orang seperti Lafran ini memang sangat langka. Dia jarang memberikan nasihat dengan kalimat panjang. Namun dari tingkah laku keteladanannya.

”Tidak banyak nasihat, tapi keteladanannya. Tidak juga pendiam atau terlalu ramai. Biasa saja, bukan orang yang mau ngobrol dengan hal-hal yang tidak berguna. Berbobot,” aku Tofani.

Diberikannya anugerah sebagai Pahlawan Nasional cukup membuat keluarga yang ada di Yogyakarta merasa senang. Bangga, namun tidak berlebihan. ”Tanpa gelar nasional sudah menjadi pahlawan bagi kita (keluarga),” katanya.

Euforia pun tidak terlalu terlihat. Bahkan, keluarga di Yogya tidak ada rencara untuk melakukan suatu acara syukuran atas gelar ini. (dho/JPC)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *