Latih Konsistensi Berbagi, Tolong Orang-orang Bernasib Malang

Perjuangan pengobatan bocah penderita hemofilia, mengetuk pintu hati Ahmad Masruri. Dari situ ia tersadar, untuk membantu seseorang tidaklah hanya sekali selesai. Namun perlu konsistensi.

ACHMAD ULIL ALBAB, Cluwak

Senyum hangat dan tawa lepas menyambut kedatangan wartawan koran ini usai turun dari sepeda motor.

Pagi itu Masruri-sapaan akrabnya- mengenakan kaos kerah lengan pendek, berpadu dengan sarung yang sengaja ia kenakan sedikit cingkrang, beberapa senti di atas mata kaki.

Masruri lantas mempersilakan duduk kemudian berkisah. Sekitar enam bulan lalu ia tersentuh dengan seorang bocah penderita hemofilia di Gesengan-Cluwak.

”Pengobatannya mahal. Selain mahal, tempatnya jauh dan pengobatannya harus rutin. Untuk rumah sakit yang representatif dan spesialis, adanya di Jogja. Baru biaya transportasinya sudah satu masalah sendiri. Belum pengobatannya,” Masruri mengungkapkan gelisahnya.

Selain itu, lanjut Masruri, latar belakang keluarga si bocah itu sangat miskin. Benar-benar miskin. Rumahnya reot, kumuh, dan sangat jelek.

”Bahkan mohon maaf, seperti kandang ayam saja. Sebab itu saya berkeyakinan orang model seperti ini mesti wajib dibantu,” imbuh pria yang juga seniman lukis dan penulis buku metafisika ini.

Dari situ kemudian Masruri tergerak untuk membuat sebuah wadah sosial. Lalu tersebutlah kata dalam Bahasa Jawa “Selawe”, yang dalam Bahasa Indonesia berarti dua puluh lima. Konsepnya sedekah yang tidak banyak, namun istiqamah dengan mengirimkan uang sebesar 25 ribu rupiah.

”Konsepnya sedekah tidak perlu banyak-banyak. Namun tetap istiqamah, artinya terus menerus dilakukan. Dari situ kami atur tiap bulan donatur mengirimkan uangnya sebesar Rp 25 ribu ke nomor rekening yang dikhususkan,” jelas pria asli Desa Sirahan ini.

Usai tercetus nama Selawe, lanjut Masruri, kemudian dibentuklah sebuah struktural Komunitas Selawe dengan sederhana. Hanya ada ketua, bendahara, serta anggota.

Itu pun hanya untuk memeroleh legalitas dari Kemenkumham sebagai sebuah organisasi.

”Saya lalu mencari teman-teman yang memang terpercaya, sebab mengelola dana ini bukan orang sembarangan.

Lalu dapatlah Aminudin seorang pegawai di Kecamatan Donorojo yang dipercaya menjadi bendahara. Di desa dia terkenal orang yang terpandang baik.

Kemudian anggota ada Ainur Rofiq kepala MTs Darul Falah, dan Sutiyono Kepala Desa Sirahan. Saya memang mencari partner ini yang benar-benar reputasinya di masyarakat sudah terpercaya,” jelas Masruri.

Masruri mengisahkan, awal tercetusnya ide Selawe itu ia langsung membuat status di facebook. Ia menjelaskan tentang selawe dan konsepnya itu.

Tak lama banyak teman yang merespon.

Awal dibuka penerimaan sedekah, langsung ada yang ingin mengirim uang dengan jumlah besar, satu juta sekali transfer.

”Melihat hal itu lalu saya tegur saja, mbok ya jangan banyak-banyak nanti bosan lhoo,” kata Masruri kepada salah satu temannya dari Jakarta yang over semangat itu.

Memang benar, sedekah itu tak harus banyak-banyak. Lebih baik malah sedikit tetapi konsisten.

”Dan benar. Bulan pertama pembukaan sedekah di komunitas selawe, 23 juta rupiah berhasil dikumpulkan. Namun di bulan berikutnya menurun. Dari situ kemudian saya menghimbau untuk para donatur agar tak usah banyak-banyak, yang penting bisa istiqamah,” Masruri menambahkan.

Tetapi meskipun sedekah yang dianjurkan 25 ribu saja, masih tetap ada yang menyumbang sejumlah Rp 100 hingga 500 ribu rupiah sekali transfer.

Uang hasil sedekah ini 100 persen disumbangkan.

Tak sepeserpun diperuntukkan bagi komunitas, apalagi para pengurus secara pribadi.

”Kebanyakan uang ini kami buat untuk membantu orang-orang tua. Janda tua miskin. Serta kami buat untuk membantu orang-orang yang sedang sakit. Seperti penderita hemofilia yang tiga bulan sekali harus kontrol di Yogyakarta. Kami memerhatikan itu,” tutup Masruri.(ks/him/top/JPR)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *