Alasan Dewan Pers pertanyakan RUU Penyiaran

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu memberikan keterangan selepas konferensi pers terkait RUU Penyiaran di Jakarta, Selasa (14/5/2024). (Dewan Pers)
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu memberikan keterangan selepas konferensi pers terkait RUU Penyiaran di Jakarta, Selasa (14/5/2024). (Dewan Pers)

BANDUNGDewan Pers mempertanyakan urgensi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran, sementara Presiden Joko Widodo sangat menghormati pers, bahkan mengeluarkan Perpres 32 tahun 2024 agar perusahaan platform memberikan dukungan pada hasil karya jurnalistik yang berkualitas.

“Itu artinya pemerintah itu menghormati karya jurnalistik berkualitas. Lah kenapa, di draf RUU Penyiaran ini melarang media menyiarkan jurnalistik investigatif. Jurnalistik investigatif itu adalah mahkota dari kerja kerja jurnalistik,” kata Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu di Bandung, Kamis.

Bacaan Lainnya

Lebih lanjut, Ninik mengungkapkan bahwa RUU Penyiaran yang saat ini tengah digodok oleh Badan Legislasi DPR RI, dinilai sebagai upaya kesekian kalinya dalam memberangus kebebasan pers di Indonesia.

“Ini upaya memberangus pers kita dan dinilai akan membahayakan demokrasi, dan semangat reformasi di Indonesia, ketika hak warga negara untuk mengetahui dan berbicara sangat dibelenggu,” ujarnya.

Upaya memberangus pers Indonesia, kata Ninik, bukan kali pertama terjadi, di mana hal yang sama dilakukan saat perancangan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

“Ini bukan pertama kali lo. Coba perhatikan, pada 2017 melalui UU Pemilu, lalu melalui UU Cipta Kerja yang melarang penyiaran pemberitaan. Lalu draf UU penyiaran saat ini. Jadi ini bukan pertama kali upaya untuk meminggirkan peran pers dalam pemberitaan berkualitas,” kata Ninik di Bandung, Kamis.

Ia pun menemukan kesinambungan upaya-upaya pemberangusan pers melalui draf-draf undang-undang sebelumnya.

Hal itu dapat terlihat dari UU Pemilu, UU Cipta Kerja, UU KUHP, dan sekarang draf UU Penyiaran. “KUHP baru kita, hanya diakomodasi satu, padahal ada dua pasal, untuk saat ini ada oknum yang sengaja menurut saya, dari otaknya sudah berfikir untuk mengebiri pers kita,” katanya.

Ninik juga mengatakan draf RUU Penyiaran untuk saat ini, sangat berbahaya untuk demokrasi di Indonesia, jika melihat kelahiran UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Kelahiran UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, diawali komitmen pada peletakan hak untuk mengetahui dan hak berbicara di Undang-Undang Dasar.

“Dan itu ada di Undang-undang 40 tahun 1999. Maka ketika ini dikeluarkan dari Undang-undang Penyiaran dan diturunkan dalam pasal yang melarang tadi, maka ini adalah kemunduran karena mengembalikan fungsi pers pada masa orde baru,” katanya.

Ia mengatakan dalam draf revisi tersebut banyak sekali yang memberatkannya, setidaknya ada tiga pasal yang perlu perhatian, yakni Pasal 48, 58, dan 127. Juga Pasal 8 dan 30.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *