Nyala Mimpi Anak Kampung Yang Sempat Mati di Madrasah Kandang Kuda

Murniati juga masa 16 tahun silam, pertama kali dia masuk setelah ditawarkan penggagas sekolah Ainismar (alm). Bahkan, dia mengajar selama hampir 2 tahun tanpa digaji sepeser jua. Padahal, Murniati bukan penduduk Jorong Tabek. Dia bahkan setiap hari berjalan kaki sejauh 2 km dari kediamannya demi mengajar Senin sampai Sabtu.

“Almarhumah (pendiri sekolah) teman seperjuangan di MTS. Kala itu, saya sarjana tapi ngganggur. Nah ditawari ngajar tapi tanpa gaji. Saya pun menyanggupi dan mulai mengajar tahun 2002,” ceritanya.

Murniati mengaku mulai dapat gaji sekitar tahun 2006. Itu pun dengan jumlah yang sangat minim. Gaji tersebut bermula dari bantuan kontrak guru (BKG) senilai Rp 60 ribu per bulan. Namun, hanya bisa cair sekali empat bulan atau enam bulan sekali.

“Kalau dikenang, saya mau menangis. Pak Muchtar dan buk Ainismar (pendiri sekolah) saat itu, sudah jadi guru kontrak. Setiap mereka gajian, saya diberi zakat. Pak Muchtar kasih Rp 50 ribu, almarhumah juga memberi Rp 50 ribu. Alhamdulillah dapat untuk anak-anak. Jarang-jarang dapat uang segitu,” sebut Murniati dengan mata berkaca-kaca.

Pernah juga Murniati mendapat pelatihan PAKEM alias partisipasi, aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan dari Jakarta. Program itu untuk mengajak guru dan murid ikut aktif. Setidaknya, meringankan biaya pembeli kapur. Namun, tidak dengan meminta iuran, karena sekolah bebas dari pungutan.

“Trainernya nyuruh saya bermimpi dari sekarang. Saya jawab, mimpi saja ndak bisa makan,” sebutnya.Lantas, karena Jorong Tabek penghasil tebu, trainer PAKEM menyarankan Murniati untuk meminta dua rumpun tebu kepada masing-masing murid MIS. Tebu itu lalu ditanam di pekarangan sekolah. Nanti saat panen, dikilang sendiri oleh para murid dan guru.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *