Ningsih Tinampi dan Kisah-Kisah Kesabaran Berbulan-bulan

200 PASIEN PER HARI: Ningsih Tinampi (kiri) di tempat praktiknya di Desa Karangjati, Kabupaten Pasuruan (6/2). FOTO: RIZAL F. SYATORI/JAWA POS RADAR BROMO

Antrean terapi ala Ningsih Tinampi begitu panjang. Tapi, orang-orang dari berbagai kota, bahkan dari berbagai negara, tak berhenti datang.

I’IED R. RIFADIN- RIZAL F. SYATORI, Pasuruan

Bacaan Lainnya

SEPERTI hari-hari sebelumnya, pagi itu Ismail Bahrudin harus segera bangun. Membereskan peralatan tidur. Lalu, beranjak meninggalkan ruangan bersama sang anak, Irwansah, yang sebenarnya masih mengantuk.

Mereka mesti bergegas karena tidak tinggal di kamar sendiri. Melainkan di sebuah ruang tunggu yang tengah direnovasi. ”Nggak enak sama pasien lain. Takut mengganggu,” kata Ismail kepada Jawa Pos sembari duduk santai menemani Irwansah bermain gawai di sebuah warung yang sedang tutup. ”Dinyaman-nyamanin aja. Demi anak,” lanjutnya.

Selasa (11/2) pagi dua pekan lalu di Desa Karangjati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, itu, ada ratusan orang yang punya alasan serupa dengan Ismail. Demi anak, demi istri, demi suami, demi ibu, demi bapak. Menghabiskan berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan di sana demi orang-orang tercinta.

Hanya agar bisa bertemu Ningsih Tinampi. Menjalani terapi untuk mendapatkan kesembuhan dari berbagai keluhan yang umumnya nonmedis.

Antrean pasien terapi ala ibu lima anak itu saat ini memang sangat panjang. Jika mendaftar sekarang, baru bisa ditangani nyaris hampir dua tahun mendatang. Daftar tunggunya mencapai 21 bulan.

Erikson Rumapea, salah seorang calon pasien asal Jakarta Utara, misalnya. Dia mendaftar Selasa dua pekan lalu itu. Tapi, baru mendapat jatah terapi pada Oktober 2021. ”Pulang dulu aja lah kalau gitu,” ucap pria pedagang tersebut.

Joko Santoso termasuk yang gagal bertemu perempuan 44 tahun tersebut di hari itu. Pria asal Waru, Sidoarjo, Jawa Timur, tersebut datang membawa seorang kenalan yang ingin berobat.

”Tapi, sampai di sini ternyata sudah penuh begini,” kata Joko yang akhirnya, seperti Erikson, memutuskan pulang.

Ada yang seperti Erikson dan Joko. Tapi, banyak sekali pula yang seperti Ismail. Maka, banyak sekali pula kisah-kisah kesabaran bertebaran di tempat pengobatan di kampung yang masuk wilayah Kecamatan Pandaan tersebut: memilih bertahan, berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.

Sebenarnya, sejak terapi Ningsih ramai di YouTube dan didatangi banyak orang, penduduk sekitar membuka rumah mereka untuk menyewakan kamar bagi para pengantre tersebut. Harganya rata-rata Rp 50 ribu sampai Rp 75 ribu semalam.

Ningsih juga menyewakan beberapa kamar homestay. Harganya Rp 200 ribu sampai Rp 250 ribu semalam. Namun, tak semua calon pasien punya uang saku mencukupi. ”Uang dari mana saya. Ada simpanan, tapi buat tiket kapal pulang,” ucap Ismail yang datang dari Waiwerang, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, tersebut.

Ismail sudah datang ke tempat berobat Ningsih pada September tahun lalu. Untuk mencari pengobatan buat sang anak yang berusia 10 tahun itu yang disebutnya terlalu aktif. Tidak bisa diam. Dan, terkadang suka marah-marah sendiri.

Dia bercerita, pernah suatu ketika Irwansah tiba-tiba lari dari dalam rumah menuju jalan raya. Lantas, menabrakkan diri ke sebuah sepeda motor yang melintas. ”Itu terjadi sampai dua kali,” katanya.

Ayah dan anak itu akhirnya baru dapat giliran dilayani Ningsih pada akhir Januari lalu. Setelah diterapi sekali, Ismail dan Irwansah diminta datang lagi untuk kontrol.

Karena itu, sampai Selasa dua pekan dia masih berada di tempat Ningsih. ”Sebenarnya (jatah) kontrol bulan delapan (Agustus) nanti. Tapi, saya minta tolong ke Bu Ningsih untuk dimajukan karena kami dari jauh. Akhirnya bisa,” ucap Ismail.

Karena keterbatasan dana, selama menunggu antrean empat bulan terakhir, Ismail dan anaknya tinggal di ruang tunggu yang sedang direnovasi tadi. Dan, mereka harus berbagi tempat dengan ratusan pasien lain yang silih berganti datang.

Video-video Ningsih di YouTube yang ditonton lebih dari 357 juta kali dan memiliki 2,35 juta subscriber telah membawa orang-orang dari berbagai tempat jauh di Indonesia ke kampung di Pasuruan tersebut. Bahkan, ada pula yang dari Malaysia dan Singapura.

Tiap hari rata-rata Ningsih sebenarnya bisa melayani sekitar 200 pasien. Mulai pagi pukul 07.00 sampai petang sekitar pukul 16.00 atau 17.00. Bahkan, kadang juga sampai malam. Tapi, tetap saja jumlah mereka yang datang tiap hari berkali-kali lipat banyaknya.

Ada jalur lain sebenarnya bagi mereka yang tidak cukup sabar menunggu. Melalui jalur terapi privasi. Semacam membayar lebih mahal agar bisa memotong antrean.

Biayanya Rp 1,5 juta. Lima kali lipat lebih mahal dari jalur reguler yang ongkosnya Rp 300 ribu. Tapi, jalur itu pun untuk sementara ditutup. Mengapa? Karena peminatnya juga membeludak.

Ningsih juga kerap mendahulukan pasien yang dia anggap dalam keadaan darurat. Tak jarang juga dia sering menggratiskan terapi untuk pasien yang tidak mampu. ”Saya sendiri mengalami itu. Digratisin sama Bu Ningsih,” ucap Jandir Sihaloho, pasien asal Cirebon, Jawa Barat.

Ningsih mengakui, mayoritas pasien yang datang kepadanya memiliki keluhan seperti kesurupan atau mendapat gangguan makhluk gaib. Kalaupun ada yang datang dengan keluhan penyakit medis, dia mengingatkan agar juga pergi ke dokter.

Namun, sering kali pasien mengaku sudah melakukannya dan tetap ingin mencoba terapi miliknya. ”Kalau sudah gitu, masak ya tega saya tolak. Apalagi, datangnya dari jauh,” ucap perempuan asal Dampit, Kabupaten Malang, itu kepada Jawa Pos Radar Bromo.

Setiap pasien yang datang dia terapi dengan doa. Ningsih juga memijat beberapa anggota tubuh pasien seperti kepala, punggung, dada, maupun kaki. Dia melakukannya dengan bantuan botol kecil, bekas kemasan produk penghilang bau badan. ”Percaya atau tidak, praktik pengobatan kami seperti ini adanya,” ucapnya.

Yang mengkritik atau mencibir praktik pengobatan Ningsih mungkin memang ada. Dengan berbagai dalih. Atau menudingnya dengan sejumlah tuduhan.

Tapi, siapa yang berhak mencegah keinginan orang untuk sembuh?

Ketika menyaksikan orang-orang terdekat punya suatu keluhan, telah pula menjalani berbagai model perawatan tapi tak kunjung sembuh, siapa yang tak akan dengan segera menyambar setiap kesempatan bertemu sosok seperti Ningsih Tinampi?

Anda boleh menganggap cerita Ismail, bahwa apa yang dialami sang anak saat ini karena sewaktu hamil dulu istrinya dimasuki ular, tak masuk akal. Tapi, nelayan dari Flores Timur itu tak akan peduli sedikit pun.

Dia, seperti juga orang tua pada umumnya, hanya ingin anaknya sembuh. Dan, siapa yang berhak melarang kalau dia melabuhkan harapan kesembuhan itu kepada Ningsih?

”Saya hanya ingin anak saya tenang seperti anak-anak lainnya,” kata dia di pagi yang hiruk pada Selasa dua pekan lalu itu, di sela-sela ratusan orang lain yang berharap serupa dengannya.(*/c10/ttg)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *