Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 2)

kang-warsa

Oleh Kang Warsa

Arah dan tujuan pembangunan nasional untuk menyongsong Indonesia Emas 2045 menjadi jargon penting pembangunan Pemerintah Indonesia di masa periode ke 2 kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Artinya, pada dua setengah dekade ke depan, negeri ini telah memasuki 100 tahun sejak Indonesia merdeka.

Bacaan Lainnya

Bagi saya dan generasi X (mereka yang lahir pada tahun 70 dan 80an), generasi emas adalah generasi era 90-an. Jika kita menelaah fenomena sosial pada tahun tersebut kita dapat menyimpulkan ada upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak luar untuk memandulkan generasi emas Indonesia era 90-an, setelah 50 tahun negara ini merdeka.

Siklus 50 tahunan dengan sebutan masa keemasan benar adanya. Kemunculan generasi emas pada tahun 1995 dibuktikan dengan fitur penting dalam kehidupan; pendidikan. Namun, saya tidak akan mengupas terlalu jauh, upaya apa saja yang telah dilakukan oleh pihak luar sebagai ekses dari perang dingin dalam memandulkan generasi emas Indonesia di era 90-an.

Kolom Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an, saya usahakan mengelaborasi sedetail mungkin fakta-fakta lingkungan sosial yang dialami oleh generasi 80-90an di masa keemasannya. Tahun 90-an dapat dikatakan sebagai masa transisi dari generasi tua ke generasi yang lebih segar.

Para remaja yang hidup di masa itu merupakan generasi yang pernah mengalami tempaan dalam hidup, mereka berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Mereka juga pernah mengalami masa kejayaan permainan tradisional anak menjadi bagian dari cerita  hidup dan tidak dapat dipisahkan dengan kedirian mereka.

Setiap permainan anak mereka lakukan sesuai dengan musimnya. Tempaan dalam hidup ini menjadi alasan bagi generasi 80-90an tidak mudah rentan terhadap dera dan persoalan hidup. Mereka tidak dididik oleh orangtuanya dengan sikap manja, ungkapan berdikari yang pernah digaungkan oleh Bung Karno benar-benar menyelusup ke dalam diri generasi 90-an.

Sampai akhir tahun 90-an saja, saya masih menyaksikan para pelajar tingkat SLTP dan SLTA rela berjalan dari kolam renang Prana ke terminal angkutan umum di sebelah barat Ramayana. Hal ini mereka lakukan tentu saja dengan dua alasan; pertama, jalan kaki memang murah.

Dan kedua, uang yang mereka miliki hanya cukup untuk membayar satu kali naik angkutan umum saat pulang. Selebihnya, berjalan kali dari Prana ke terminal juga cukup nyaman mengingat sepanjang jalan Siliwangi, R. Syamsudin, dan Ir H Juanda masih dipenuhi oleh pohon-pohon rindang, membuat teduh, saat berjalan kaki meskipun sinar matahari cukup terik.

Pusat perkotaan terletak di daerah Cikole, Belanda memang telah memproyeksikan wilayah ini sebagai pusat kekuasaan, ekonomi, dan budaya. Sebelum Kecamatan Baros menjadi bagian dari Pemerintah Kota Madya Sukabumi, saya dan orang-orang dari perkampungan Kabupaten Sukabumi sering menyebut daerah pusat dengan julukan “kota”. Pada masa kepemimpinan Wali Kota Zainudin Mulaeybari dan Udin Koswara, wilayah Cikole dan sekitarnya masih cukup sejuk, sepanjang jalan ditumbuhi oleh berbagai pepohonan. Kecuali di pusat perekonomian sepanjang jalan Ahmad Yani.

Namun, kita tentu dapat merasakan perbedaan kondisi suhu jalan Ahmad Yani dulu dengan sekarang. Jumlah kendaraan bermotor belum sebanyak zaman sekarang, kualitas udara pun relatif baik. Ruang-ruang terbuka hijau di Kota Sukabumi -saat itu- memiliki andil besar dalam menstabilkan suhu dan cuaca harian.

Lingkungan yang kondusif, rata-rata suhu harian masih sejuk, tidak mengherankan membawa dampak baik terhadap kehidupan manusia saat itu. Saya sering mengingat apa yang disebutkan oleh seorang sejarawan Inggris, Arnold Toynbee, peradaban manusia selalu lahir di tempat-tempat yang sejuk.

Artinya, untuk menciptakan peradaban yang baik, mau tidak mau, pemerintah saat ini harus mengupayakan kembali membuka ruang-ruang terbuka hijau bagi sebuah kota. Bukan hanya di kota saja, wilayah-wilayah perbatasan dan perkampungan pun saat ini, kita saksikan, telah banyak disulap menjadi areal pemukiman.

Alih fungsi lahan terbuka hijau menjadi areal pemukiman telah mengikis jumlah areal persawahan dan lahan terbuka hijau. Tak mengherankan, kadar karbon yang naik ke atmosfer semakin tinggi dari waktu ke waktu, berdampak terhadap pembentukan gas rumah kaca, berakibat fatal terhadap kenaikan rata-rata suhu harian.

Sampai era 90-an, pemanasan global mungkin hanya sebatas isu, karena bagi orang Sukabumi efek darinya memang tidak benar-benar dirasakan langsung. Walakin, saat ini, efek dari pemanasan global telah kita rasakan, mulai dari cuaca ekstrem hingga perubahan suhu rata-rata harian.

Dampak lainnya, tentu saja terhadap perubahan perilaku manusia modern jika kita merujuk kepada negasi dari pernyataan Toynbee. Ketika peradaban selalu dilahirkan di lingkungan yang sejuk, maka sebaliknya, lingkungan yang panas dan tandus akan melahirkan kebiadaban.

Kentara sekali, sampai pada alinea ini,  saya terlalu membanggakan hal baik pada tahun 80-90an. Sangat wajar, beberapa minggu lalu saya menonton sebuah film dokumenter di salah satu saluran berbayar dengan judul Our Planet. Beberapa dekade lalu, para ahli lingkungan telah memprediksi efek rumah kaca yang telah berlangsung pada pertengahan abad ke-20 dampak besarnya akan dimulai sekitar tahun 2050-an seiring dengan puncak era antroposen.

Prediksi tersebut ternyata maju lebih awal. Era holosen berakhir sekitar tahun 5.000 SM. Berakhirnya era holosen ke era antroposen selama 7.000 tahun ditandai oleh perubahan iklim dan cuaca ekstrem, melelehnya es di kutub utara, dan kenaikan suhu rata-rata harian. Wilayah-wilayah tropis seperti Indonesia bertanggung jawab terhadap situasi ini..

Tanggung jawab dialamatkan kepada kita disebabkan oleh pengimplementasian  regulasi tentang suaka dan perlindungan hutan di negara ini masih belum serius dilakukan. Alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan di Kalimantan telah menimbulkan gas rumah kaca di atmosfer kita. Suhu harian meningkat sejak tahun 2005, dari 19 derajat ke 22 derajat Celcius.

Apakah orang Sukabumi juga bertanggung jawab terhadap hal ini? Tentu saja, alih fungsi lahan pertanian dan terbuka hijau menjadi perumahan dan permukiman tanpa diimbangi oleh regulasi yang tepat telah membawa malapetaka bagi kehidupan manusia sendiri.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *