Paradigma Kader Militan Dan Prasangka Stigma Sosial

Robby M. Muharam Yayasan Ukhuwah Nurul Amal (YUNA)
Robby M. Muharam Yayasan Ukhuwah Nurul Amal (YUNA)

Oleh : Robby M. Muharam
Yayasan Ukhuwah Nurul Amal (YUNA)

Perkembangan dunia yang kini semakin pesat, kecanggihan teknologi, dan kecanggihan pemikiran manusia, mengakibatkan persaingan dalam berbagai bidang. Hal ini tentu saja menuntut setiap kader melakukan lompatan/transformasi paradigma.

Bacaan Lainnya

Jika selama ini kader hanya berpikir bagaimana agar bisa hidup, dan itu saja cukup, maka sekarang bukan lagi masalah bertahan hidup tetapi tuntutan kader sekarang adalah bagaimana organisasi yang digelutinya memenangkan persaingan yang terjadi.

Dalam era persaingan saat ini, jika tidak memiliki kelebihan, maka akan tersingkirkan dan terbuang. Tentu saja itu bukanlah suatu organisasi. Perlu adanya upaya real dalam menyikapi persaingan tersebut, yaitu dengan membentuk kader-kader yang memiliki jiwa kreatif dan inovatif yang tinggi. Jiwa kreatif seperti yang telah dijelaskan diawal berkaitan dengan hasil kecerdasan manusia dalam mendaya cipta.

Semakin kreatif kader dalam hal mempublikasikan kegiatan-kegiatannya, mempublikasikan produk-produknya, merekrut kader mudanya, maka akan semakin besar peluang memenangkan persaingan terutama dengan organisasi yang notabenenya nonislam. Organisasi yang memenangkan, sudah tentu dapat menjadi eksis dan terkenal, yang implikasinya dapat memudahkan organisasi tersebut merekrut kader yang lebih baik lagi ke depannya.

Selanjutnya coba pahami siapa Kader ?. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, kader adalah orang ternama (= pengurus) dalam sebuah organisasi, baik sipil maupun militer. Jadi secara umum dapat diartikan kader itu sebagai sebutan bagi pengurus organisasi.

Kata selanjutnya yang dipakai adalah kata militan. Militan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional termasuk kata adjektifa (kata yang menjelaskan nomina atau pronomina) memiliki pengertian bersemangat tinggi; penuh gairah. Dijelaskan pula kata militansi yang termasuk kata nomina memiliki pengertian Ketangguhan dalam berjuang, menghadapi kesulitan, berperang.

Seperti yang telah diketahui, militan, intelek, dan kreatif saja belum cukup bagi kader yang berkomitmen pada kemenangan organisasinya. Kader juga perlu memiliki jiwa inovatif. Penerapannya dapat dilakukan pada pembuatan program kerja yang menarik minat sasaran organisasinya (dalam organisasi islam, dikenal dengan sasaran dakwah).

Kader yang inovatif akan memberikan aliran udara segar bagi para penghuni organisasi, yang bisa meniupkan topan semangat dan keceriaan dalam berbuat kebaikan. Selain itu, kegiatan-kegiatan yang masih baru dan fresh yang ditujukan pada sasaran organisasi, membuat sasaran akan semakin tertarik dan bersemangat mengikuti organisasi tersebut. Sehingga pengrekrutan kader selanjutnya akan semakin mudah dan memiliki peluang besar.

Seperti yang telah diketahui bahwasanya umur jabatan kader di setiap organisasi tidak lama, adanya tenggat masa jabatan yang menandakan berakhirnya amanah yang diembannya dalam organisasi itu, maka sudah seharusnya kader-kader tersebut mempersiapkan para penerus yang akan menggantikan mereka. Tentu bukan perkara mudah dalam memilih kader baru yang compatible.

Oleh karena itu perlunya sifat yang terakhir yang harus dimiliki kader yaitu generatif. Makna generatif itu sendiri adalah mampu menurunkan tambuk kepemimpinan pada generasi selanjutnya. Sifat generatif yang melekat pada diri kader akan sangat membantu kader untuk memberikan ilmu dan pengalaman pada generasi kader selanjutnya, begitupun prosesnya akan terus berulang hingga Allah tetapkan hari akhir dunia, yang menandakan tidak ada lagi aktivitas manusia di muka bumi.

Dunia organisasi, hanyalah cuplikan kecil kehidupan sekelompok manusia yang menjalankan amanah, ada begitu banyak cuplikan lain dalam persendian hidup manusia. Ada begitu banyak organisasi bentuk lain di dunia ini, bahkan bentuk itu terdapat pada unit terkecil diri kita sendiri, yang dinamakan kepemimpinan dan pengorganisasian diri sendiri.

Dan banyak hal yang asti akan dihadapi bagi kader-kader militan, mengingat sikap kader militan akan berhadapan dengan realitas yang berbeda antara keyakinan kebenaran dogma organisasi dengan realitas sosial dan beresiko akan menerima stigma sosial.

Prasangka Stigma Sosial.

Dalam psikologi sosial ada yang namanya “stigma sosial”, sebuah ciri negatif yang melekat pada seseorang kemudian ditolak keberadaannya di lingkungannya.

Arti “stigma” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Sedangkan arti “sosial” yaitu berkenaan dengan masyarakat.

Jadi, arti “stigma sosial” adalah penolakan keberadaan seseorang atau kelompok pada lingkungan tertentu karena sudah dianggap tercela.

Apabila seseorang sudah terkena stigma sosial, maka secara pribadi sudah sangat dirugikan. Sangat sulit menghapus stigma yang telanjur melekat. Bahkan, dampak stempel stigma sering berujung pada pengucilan di lingkungannya.

Prasangka: stigma berupa anggapan masyarakat terhadap seseorang yang dianggap tercela padahal belum tentu kebenarannya. Sikap prasangka merupakan sikap yang cenderung emosional, tidak rasional. Model stigma ini biasanya hanya ngomongin orang tersebut dari sisi negatifnya saja.

Menurut Jalaluddin Rachmat dalam buku Psikologi Komunikasi, prasangka adalah sikap negatif terhadap anggota kelompok tertentu yang semata-mata keanggotaan mereka dalam kelompok tertentu. Akibat berprasangka maka hubungan dengan yang lain terganggu, terjadi ketegangan terus-menerus.

Gordon W. Allport dalam buku The Nature of Prejudice memerinci ada lima perspektif terjadinya prasangka, yaitu

(1) prasangka antara senior dan yunior. Kaum senior merasa berhak menindas, menekan, menyalahkan, dan berprasangka buruk terhadap kaum yunior yang lebih muda.

(2) prasangka timbul akibat situasi dan kondisi saat ini yang tidak kondusif.

(3) prasangka yang disebabkan seseorang yang sedang frustrasi.

(4) prasangka yang timbul karena seseorang memandang secara berbeda pada lingkungan dan sekitarnya.

(5) prasangka ditujukan kepada objek prasangka, bukan orang yang berprasangka.

Selain itu, adaprasangka rasial: timbulnya prasangka diskriminatif terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan. Menurut Krech, Crutcfield, dan Ballachey (1965) prasangka rasial sering ditemukan pada orang-orang yang sakit mental. Bahkan, sebagian ada yang mengalani pathological hostility (penyakit permusuhan). Stereotip: stigma yang berbentuk penilaian secara umum kepada seseorang atau sekelompok orang hanya dilihat dari penampilan dan latar belakangnya saja.

Cara pandang stereotip seperti ini bisa menimbulkan prasangka positif dan negatif, tetapi umumnya negatif. Bahkan, bisa jadi menimbulkan sikap diskriminasi.

Psikologi Umum bahwa sebagai manusia cenderung membagi dunia ini dalam dua kategori: “kita” dan “mereka”, dan menilai berdasarkan informasi umum yang dianggap benar, generalisasi. Misalnya, laki laki berpikir logis, perempuan emosional, orang Cina pandai berdagang, orang Prancis gemar minum anggur, dsb.

Kemudian melihat orang bermata sipit, pasti orang China. Kalau melihat orang berkulit hitam, pasti orang negro. Orang Minang pintar berdagang. Diskriminasi: stigma berupa perlakuan yang tidak seimbang dan tidak adil terhadap perorangan atau kelompok berdasarkan ras, suku, agama, golongan. Hal ini biasanya dilakukan oleh kelas dominan terhadap minoritas. Diskriminasi biasanya diawali dengan prasangka. Dengan prasangka seolah timbul perbedaan antara “kita” dan “kalian”.

Memang tidak mudah menyingkirkan stigma yang telanjur melekat. Manusia cenderung melihat sisi buruknya saja. Tetapi ada beberapa cara, mengurangi stigma;

  1. Tunjukkan perubahan sikap sehari hari bahwa Anda telah berubah, tidak seperti yang mereka sangka.
  2. Bertingkah laku baik, sopan.
  3. Jangan pedulikan mereka yang bersikap sinis.
  4. Ungkapkan keinginan Anda ingin berubah pada teman atau orang sekitar Anda. Dengan demikian mereka tahu bahwa Anda ingin berubah.
  5. Kalau karena cacat tubuh atau sakit penyakit, yakinkan bahwa ini bukan kehendak dirinya.
  6. Tidak ada manusia yang sempurna.
  7. Jangan dendam pada orang yang semula jahat pada Anda.
  8. Ikut kegiatan sosial seperti di lingkungan RT agar mereka melihat Anda sudah berubah.
  9. Biarkan saja mereka yang tetap tidak suka pada Anda. Tinggalkan saja.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *