Pandemi Covid-19 Mulai Membuat Jenuh

Oleh: Kang Warsa

Berita-berita terkait pandemi Covid-19 yang disiarkan secara terus-menerus oleh media elektronik, dijadikan headline dan tajuk utama setiap surat kabar, lambat laun telah membuat jenuh masyarakat. Sampai sekarang, pembaca surat kabar, media daring, dan penonton televisi mulai mencerna isi berita tentang pandemi Covid-19 sambil lalu saja. Paling tidak, masyarakat sekadar ingin mengetahui informasi terkini penambahan kasus positif, pasien sembuh, dan pasien meninggal akibat virus korona.

Bacaan Lainnya

Kejenuhan ini sebetulnya mulai dirasakan juga oleh insan pers, tenaga kesehatan, dan orang-orang yang bergerak di sektor lainnya. Dengan bahasa sederhana, “hal-hal yang berbau informasi pandemi Covid-19, apalagi berita-berita bohong yang dijadikan gorengan politik selama pandemi telah begitu menyebalkan bagi sebagian besar masyarakat”. Menyikapi hal ini, desain pemberitaan oleh media juga mau tidak mau harus dapat memberikan jawaban terhadap kondisi mental masyarakat yang mulai bosan dengan konten-konten tentang pandemi.

Psikologi masyarakat benar-benar merasakan serangan bertubi-tubi oleh pemberitaan pandemi selama hampir tiga bulan sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020. Sikap antusias, merasa perduli dengan pemberitaan penyebaran virus korona lambat laun berubah menjadi rasa jenuh. Saat ini, masyarakat sangat membutuhkan informasi-informasi pemulihan dan narasi-narasi positif terkait pandemi.

Pergeseran isu

Topik pembahasan di media sosial sudah pasti terus-menerus mengalami perubahan. Di masa awal kasus  Covid-19 di Indonesia, tema-tema media sosial dimeriahkan oleh status dan cuitan yang menyoroti strategi dan kebijakan pemerintah dalam menangani penyebaran virus korona. Satu bulan kemudian, konten-konten di media sosial mulai bergeser pada rasa khawatir penularan virus akan terus berlanjut, dampak pandemi terhadap setiap bidang kehidupan, dan sejumlah isu belajar dari rumah.

Rasa bosan dialami oleh mayoritas warga, bukan hanya di Indonesia, juga di seluruh dunia yang telah terdampak oleh pandemi Covid-19. Tidak hanya dalam pemberitaan saja, rasa bosan juga dialami oleh aktivitas pada sektor lain, misalnya di dunia pendidikan.

Di awal pandemi, pengalihan kegiatan pembelajaran dari sekolah ke rumah karena merupakan  hal baru dipandang sebagai tantangan oleh para tenaga pendidik. Penggunaan fasilitas-fasilitas yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan mulai dilakukan untuk membantu proses belajar dari rumah.

Selama satu sampai dua minggu tenaga pendidik, siswa, dan orangtua memperlihatkan antusiasme dan benar-benar merasa nyaman dengan cara baru dalam proses pembelajaran. Para siswa yang memiliki gawai begitu bersemangat mengikuti setiap arahan dari para tenaga didik. Soal-soal yang diberikan kepada para siswa dengan serta merta dijawab, atensi dan perhatian orangtua terhadap cara belajar siswa tidak kalah antusiasnya. Tanpa bimbingan dari orangtua, proses belajar dari rumah dikhawatirkan tidak berjalan dengan baik.

Belajar dari rumah di awal pandemi Covid-19 menjadi tantangan baru bagi sekolah-sekolah di daerah-daerah tertentu yang belum dapat mengakses internet entah disebabkan oleh piranti operator yang belum maksimal juga disebabkan oleh tidak semua siswa telah memiliki gawai untuk belajar secara daring. Tidak sedikit guru harus mengunjungi ke rumah siswa, satu persatu didatangi diberi bimbingan agar para siswa tidak tertinggal materi pelajaran dari siswa lain yang dapat mengikuti proses pembelajaran daring.

Rasa jenuh mulai dirasakan oleh para orangtua secara langsung. Mereka mulai menyadari bahwa membimbing anaknya sendiri dalam proses belajar dari rumah merupakan hal yang berat. Seorang ibu tiba-tiba harus kembali memiliki seorang anak yang mirip dengan anak balita, harus diawasi gerak-geriknya selama kegiatan belajar dari rumah. Orangtua juga secara perlahan mulai sadar terhadap beratnya tugas seorang guru dalam membimbing anak-anaknya. Kesadaran seperti ini seharusnya menjadi alasan jika para guru memberikan hukuman kepada siswa harus dipandang hal wajar dan manusiawi.

Salah satu orangtua siswa pernah berkata kepada saya: “Kapan sekolah masuk lagi sih, Pak?” Pertanyaan ini disebabkan oleh alasan rasa jenuh orangtua dalam mengawasi anaknya belajar dari rumah setiap hari. Para siswa juga berpikir demikian, mereka lebih senang diawasi dan dibimbing oleh guru di sekolah daripada oleh orangtua mereka, bagaimana pun juga peran guru memang berada di ranah ini, mendidik anak-anak.

Sampai saat ini, saya belum pernah mendengar keluhan dari siswa merasa bosan pergi ke sekolah selama 6-9  tahun. Jika pun mereka menunjukkan sikap tidak baik di sekolah, hal ini tidak disebabkan oleh rasa bosan mereka di sekolah, melainkan lebih dipengaruhi oleh strategi sekolah yang kurang mampu menumbuhkan rasa penasaran dalam diri peserta didik.

Para peserta didik juga mulai menunjukkan sikap bosan belajar dari rumah. Di beberapa grup media obrolan sekolah, mereka tidak dapat menyembunyikan rasa kangen kembali ke sekolah, belajar bertatap muka langsung dengan para guru dinilai lebih enak daripada belajar melalui gawai secara daring.

Mereka rindu berjumpa dengan teman-teman satu kelas, satu sekolah. Tidak dapat dielak, di antara mereka ada yang terang-terangan mengungkapkan kalimat. “Ibu, Bapak, kapan sekolah masuk?” Mereka merindukan kegiatan-kegiatan harian di sekolah, rindu mengikuti ekstrakurikuler, dan aktivitas lainnya di sekolah. Sebab bagi para siswa, di dalam alam bawah sadar mereka telah tertanam memori: berkegiatan di sekolah lebih merdeka daripada melakukannya di rumah. Watak azali orangtua di rumah memang cenderung lebih protektif daripada memberikan keleluasaan sambil mengarahkan anak-anaknya.

Rasa bosan bukan hanya dialami oleh orangtua dan peserta didik, juga dirasakan langsung oleh para guru. Para guru sebenarnya bukan tidak siap melekukan cara baru dalam proses pembelajaran. Penggunaan berbagai aplikasi selain beragam pilihan juga sudah sangat mudah pengoperasiannya. Dalam proses pembelajaran, capaian yang diraih bukan semata-mata materi dan konten pembelajaran telah tersampaikan kepada peserta didik, walakin lebih dari itu. Hubungan mutual antara guru, siswa, dan lingkungan sekolah merupakan satu keniscayaan proses belajar dikatakan benar-benar normal.

Kita bisa membandingkannya dengan kehidupan di dunia tasawuf: seseorang yang berusaha mencari jalan spiritual pun tetap memerlukan seorang mursyid yang tepat. Pengalaman spiritual tidak dapat diretas secara mandiri apalagi pengalaman profan dan natural, ia sangat memerlukan ikatan interpersonal individu dengan individu dalam bingkai interaksi sosial.

Tetapi apa boleh buat, rasa bosan itu harus dilawan, setiap orang tetap dituntut mematuhi protokol kesehatan maksimum. Tanda tanya besar dipertanyakan oleh orang-orang tentang kerumunan orang-orang di pasar dan pusat perbelanjaan menjelang lebaran.

Tagar #indonesiaterserah merupakan ungkapan kekecewaan dari para tenaga medis yang berjuang di barisan depan melawan virus korona sementara sikap “masa bodoh” diperlihatkan oleh masyrakat dan sejumlah kebijakan kompromistis dari pemerintah. Artinya, semua pihak sedang mengalami kebingungan menghadapi pandemi Covid-19. Ketidakpastian kapan pandemi usai harus dilawan dengan sikap-sikap pasti dari semua pihak.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *