Kurban

Oleh Kang Warsa

Sakrifasi atau pengorbanan hewan seperti sapi dan kambing sebagai salah satu ibadah di dalam Islam berdasarkan literatur-literatur klasik dilatarbelakangi oleh cerita Nabi Ibrahim dan Ismail. Literatur klasik merupakan penafsiran oleh para sarjana muslim terhadap Al-Quran Surat Ash-shaffat ayat 102 yang bermuara pada perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih Ismail dalam mimpinya. Jumhur ulama menyepakati –meskipun pada perkembangan selanjutnya tidak terjadi sakrifasi atau pengurbanan Ismail– memberi arti kepada kalimat   أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ   melihat di dalam mimpi.

Bacaan Lainnya

Meskipun di dalam ayat tersebut tidak disebutkan secara eksplisit atau jelas anak Ibrahim yang harus disembelih itu siapa, Ishak atau Ismail, umat Islam meyakini kata    يَٰبُنَىَّ , anakku merujuk kepada Ismail. Sebagai basis keyakinan yang dianut oleh umat Islam tentu saja hal ini merupakan hal lumrah dan rasional mengingat perjalanan dan format sejarah peradaban Islam lebih terkoneksi kepada Ibrahim-Hagar-Ismail daripada kepada Ibrahim-Sara-Ishak.

Begitu juga sebaliknya, karena keyakinan Yahudi dan Kristen lebih terkoneksi dengan Ibrahim-Sara-Ishak, umat Kristiani meyakini hal sebaliknya, anak Ibrahim yang akan disembelih adalah Ishak. Secara geneologi, pada perkembangan selanjutnya garis keturunan dari Ishak ini menjadi leluhur 12 suku Yahudi. Sumber catatan primer kristiani menyebutkan:  “Tibalah mereka ke tempat yang Tuhan tunjukkan kepadanya, lalu Abraham mendirikan mezbah di sana, menyusun kayu dan mengikat Ishak, anaknya dan membaringkannya di mezbah itu, di atas kayu. Lalu Abraham mengulurkan tangannya dan mengambil pisau untuk menyembelih anak lelakinya”.

Perbedaan pandangan dan keyakinan tersebut telah menjadi perdebatan serius tiga iman dalam tradisi Semit (Yahudi, Kristen, dan Islam) tentang anak Ibrahim yang akan disembelih. Hal yang seharusnya tidak perlu diperdebatkan karena pada babak berikutnya cerita atau kisah Ibrahim ini tidak diakhiri dengan adegan tragis penyembelihan seorang anak oleh bapaknya. Ibrahim sama sekali tidak menyembelih salah seorang anaknya, entah itu Ismail atau Ishak. Kisah yang dikemukakan dalam bentuk naratif bukan hendak mempersoalkan tekstual atau sekadar konten informasinya melainkan kedalaman pesan yang hendak disampaikan. Para penganut Islam dan Kristen harus menyadari hal ini, faktanya –entah di dalam Al-Quran atau Perjanjian Lama–  sama sekali tidak ditemukan kejadian penyembelihan manusia oleh manusia.

Bahkan, dalam penafsiran Al-Quran terhadap Surat Ash-Shaffat ayat 102 terdapat keberagaman. Jalalain dan Al-Misbah tidak menyebutkan secara eksplisit siapa anak yang akan disembelih oleh Ibrahim tersebut. Kalimat  أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ   kecuali diterjemahkan atau ditafsirkan aku melihat di dalam tidurku (sebagai dharaf zaman, menyatakan waktu) dapat juga diberi makna melalui pendekatan humanis aku memikirkan secara jernih di peraduanku (dharaf makan, menyatakan tempat). Artinya,  Ibrahim sebagai seorang nabi –terlebih di dalam ayat tersebut tidak ditemukan bentuk perintah langsung–  telah memikirkan secara jernih terhadap nazar dan janjinya beberapa waktu lalu sebelum dikaruniai anak: meskipun aku harus menyembelih anakku, akan aku lakukan asal aku dikaruniai anak. Masih rangkaian klausa, ayat ini juga menyebutkan agar anak Ibrahim memikirkan secara jernih ucapan bapaknya. Anak diberi kewenangan untuk merenungkan apa yang dikemukakan oleh bapaknya.

Bangsa-bangsa Semit termasuk di dalamnya Yahudi dan Arab merupakan komunitas masyarakat patriarki sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Dalam domain keluarga, sosok yang disebut bapak memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Dalam diri seorang bapak terkumpul unsur-unsur rama, resi dan ratu, apapun yang diucapkan oleh seorang bapak merupakan sabda yang harus dipatuhi. Jika tidak, khawatir melahirkan hal yang tidak diinginkan atau kawalat. Anak Ibrahim saat itu telah menginjak dewasa (balagha), ia telah memahami sistem sosial saat itu, maka anak tersebut mengeluarkan kalimat tanpa prasyarat apapun: kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.

Ibrahim diyakini oleh tiga agama besar sebagai bapak rohani atau bapak monotheisme kaum beriman. Terlahir dari keluarga dengan status sosial terhormat. Ayah Ibrahim bernama Terah atau Azar sangat dikagumi oleh komunitasnya di Kota Ur. Ibrahim mewarisi semua itu, mulai dari status sosial hingga harta yang berlimpah. Dalam beberapa kisah disebutkan, membagikan sop daging, memberikan daging hewan ternak, dan mengadakan seremonial syukuran dengan menyajikan hidangan telah biasa dilakukan oleh Ibrahim sebelum memiliki anak. Kegemaran berderma dan menjadi seorang filantropis ini menjadi alasan jika Rasul yang diutus sezaman dengan Nimrod ini pernah mengatakan dia akan memberikan hal-hal terbaik untuk manusia, apalagi jika itu perintah Tuhan.

Setiap manusia akan diuji dengan apa yang pernah diucapkannya. Di dalam masyarakat Hindu dikenal dengan sebutan karma. Di saat kita meyakini karma atau akibat, kita memang harus menjaga setiap kata yang kita ucapkan. Kebocoran verbal menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi oleh manusia modern saat ini. Seorang ibu hanya karena anaknya nakal dengan ringan mengucapkan kalimat: kamu itu bandel, seperti siapa sih? Secara tidak langsung, kebocoran verbal ini menyiratkan ketidakinginan orangtua mengakui bahwa anaknya itu memang seperti dirinya. Lebih jauh lagi dapat dikatakan, ucapan ini justru telah menempatkan anak bukan lagi menjadi bagian dari orangtua. Tanpa disadari, kebocoran verbal seperti ini berbuah anomali: anak jauh dengan orangtua atau anak durhaka dalam versi Malin Kundang.

Saatnya tiba, Ibrahim harus betul-betul menepati apa yang pernah diucapkannya. Peran penting tiga tokoh dalam tradisi Islam, Ibrahim-Hagar-Ismail diabadikan dalam pelaksanaan ritual haji dan penyembelihan hewan kurban. Di dalam keyakinan Yahudi dan Kristen, kisah Ibrahim-Sara-Ishak diejawantahkan dalam bentuk keteguhan terhadap iman, kerja dan kuasa Tuhan selalu tampak aneh dan di luar nalar manusia.

Ismail dan Ishak tidak jadi disembelih. Kurban atau sakrifasi manusia telah cukup dilakukan oleh masyarakat-masyarakat yang belum mengenal peradaban. Pembunuhan ritual atau sakrifasi manusia telah berlangsung di zaman besi ketika keyakinan-keyakinan lama mulai berkembang. Di masyarakat Aztec, mengorbankan manusia merupakan bentuk persembahan kepada Dewa. Persembahan dapat dilakukan melalui beberapa cara; perang tanding, memilih lelaki terhormat sebagai sukarelawan, dan melalui perayaan festival. Bagi sebuah masyarakat totem tentu saja ritual tersebut merupakan sebuah kehormatan, tetapi pada perkembangan selanjutnya konsepsi pengorbanan manusia merupakan bentuk kejanggalan apalagi jika ritual tersebut dengan mengatasnamakan perintah dari Tuhan.

Domestikasi dan pemeliharaan binatang ternak oleh manusia menjadi salah satu alasan pengorbanan dialihkan dengan cara menyembelih binatang dalam satu upacara. Karnaval dan festival dunia lama tidak lagi berbau amis darah manusia kecuali diisi oleh bau asap binatang ternak yang dipanggang. Pesta barbeque dunia lama di sebuah masyarakat akan mengingatkan kita pada upacara-upacara tradisi dan budaya masyarakat modern yang mengharuskan hadirnya beragam hidangan makanan. Hal yang ingin ditampilkan adalah rasa suka cita.

Pengorbanan manusia di dalam agama dan keyakinan tidak hilang sepenuhnya melainkan mengalami transformasi dari ritual tahunan menjadi ritual sukarela. Perang tanding antar pemeluk keyakinan dari dulu sampai sekarang sering disemangati oleh kalimat rela mati atas nama Tuhan. Teroris rela menghancurkan dirinya sendiri, mengorbankan diri dengan mengatasnamakan Tuhan, tidak memerdulikan akibat dari sikapnya sangat merugikan pihak lain yang memiliki keyakinan bahwa Tuhan maha welas dan asih tidak mungkin memerintahkan melakukan perbuatan biadab.

Perang Dunia I dan II merupakan salah satu contoh pengorbanan manusia dalam skala besar oleh manusia modern. Holocaust atau pembunuhan massal ras Yahudi oleh Hitler di kamp-kamp konsentrasi Nazi, di sisi lain, dipandang oleh kaum fasis sebagai pengorbanan manusia oleh ras tertinggi (Aria) untuk mengembalikan dunia kepada kemuliaan kehidupan, dunia harus bersih dari ras-ras penyakit.

Orang-orang PKI melakukan pembunuhan kepada para kyai yang mereka pandang sebagai setan desa. PKI memandang tindakannya sebagai sebuah sakrifasi perjuangan kelas. Selanjutnya, pembunuhan besar-besaran kepada orang-orang yang dituduh bergabung dengan PKI pada masa kehancurannya tahun 1965-1966 dipandang oleh Komite Aksi Pengganyangan sebagai cara menyucikan ibu pertiwi dari komunisme.

Perang Dunia I dan II, pembantaian ras Yahudi oleh Nazi, pembunuhan para kyai oleh PKI, pembantaian orang-orang PKI oleh masyarakat, pembunuhan orang-orang Palestina oleh Yahudi, genosida orang-orang Bosnia oleh Slobodan Milosevic di Srebrenica,   memang tidak lagi mengatasnamakan Tuhan secara terang-terangan. Namun di balik semua itu, secara samar-samar Tuhan selalu dipaksa memasuki wilayah-wilayah tersebut.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *